“Disunnahkan (bagi tetangga ahlul mayyit untuk menyiapkan makanan yang mengenyangkan siang dan malam mereka) karena mereka sibuk dengan kesedihan mreeka (dan –disunnahkan- memaksa mereka untuk makan), agar mereka tidak lemah kerena tidak makan, (dan haram menyiapkan makanan untuk wanita yang meratap, wallahu a’lam) karena mendukung atas kema’siatan, dan perkataan “bagi tetangga ahlul mayyit” adalah lebih bagus, sebagaimana (an-Nawawi) berkata didalam ar-Raudlah dari qaul ar-Rafi’i, bagi tetangganya supaya masuk didalamnya (mengurusinya) apabila mayyit berada pada sebuah negeri sedangkan keluarganya berada pada negeri yang lainya dan jauh dari kerabat-kerabatnya, sebagaimana tetangga yang telah dituturkan didalam ar-Raudlah, dan asal pada yang demikian adalah sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika datang khabar pembunuhan Ja’far bin Abdi Thalib pada perang Mu’tah : “hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena sungguh telah tiba sesuatu yang membuat mereka sibuk”, Abu Daud dan yang lainnya meriwayatkannya dan at-Turmidzi menghasankannya. al-Hakim berkata ; shahih sanadnya. Mu’tah dengan mim dibaca dhammah dan hamzahnya disukun adalah sebuah tempat yang terkenal di al-Kark. [1]
Hasyiyah al-Qalyubiy
Hasyiyah al-Qalyubiy
Frasa (bagi tetangga ahlul mayyit) dan sebagaimana untuk diketahui walaupun selain tetangga. Frasa (siang dan malam mereka) yakni siang dan malam walaupun diakhirkan darinya. Syaikhuna ar-Ramli berkata : diantara bid’ah munkarah yang makruh mengerjakannya, sebagaimana didalam ar-Raudlah yaitu apa yang manusia melakukannya seperti yang dinamakan kaffarah, menghidangkan makanan untuk berkumpulnya manusia padanya sebelum atau setelah kematian, dan menyembelih diatas kubur bahkan semua itu haram jika berasal dari harta yang terlarang walaupun dari harta peninggalan, atau dari harta mayyit yang masih memiliki tanggungan hutang, menyebabkan dlalar atau seumpamanya. Wallahu A’lam [2].
Hasyiyah ‘Umairah
Frasa matan (dan bagi tetangga ahlul mayyit) adalah ‘athaf kepada “an yaqifa” [3]
Faidah dari kutipan diatas :
1. Hendaknya bagi umat Islam menyiapkan makanan untuk keluarga ahlul mayyit dan memaksa mereka untuk makan untuk menjaga kondisi (kesehatan) mereka, sebab dalam suasana yang demikian keluarga almarhum biasanya kehilangan selera makan, dan ini hukumnya sunnah. Kita patut bersyukur karena amalan sunnah semacam ini telah menjadi kebiasaan masyarakat Islam, dimana biasanya umat Islam baik tetangga maupun kerabatnya yang jauh datang dengan membawa makanan dan mereka mengurusi keluarga almarhum/mah.
2. Tidak boleh menyiapkan makanan untuk wanita yang meratap (niyahah), hukumnya haram dan niyahah sendiri juga haram. Niyahah adalah berteriak-berteriak menangis disertai menyebut-nyebut kebaikan mayyit, sambil menampar-nampar pipi dan menyobek-nyobek saku baju.
3. Keluaga mayyit (keluarga Almarhum/Almarhumah) tidak perlu mengurusi makan untuk perkumpulan manusia, sebab ini makruh. Penetapan hukum makruh ini karena fokus terhadap illat yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayyit pada saat itu yaitu dikhawatirkan akan menambah kesibukan mereka (membuat mereka repot), menambah kesedihan serta membebani mereka. Hukum makruh ini menjadi mubah jika adanya hajat dari ahlul mayyit. Adapun jika bermaksud (diniatkan) menshadaqahkan harta mereka yang pahalanya untuk mayyit maka ini sunnah, dan pahalanya sampai serta bermanfaat untuk mayyit. Jika memaksudkan demikian, maka nampak bahwa keluarga mayyit tidak merasa sibuk dan terbebani, sebab shadaqah yang mereka keluarkan atas dasar keikhlasan dan tekad mereka sendiri demi anggota keluarganya yang meninggal. Apabila dimaksudkan untuk menghormati tamu –biasanya sekedarnya saja- maka itu mubah. Sedangkan makanan yang dihidangkan adalah halal, dan hendaknya dimakan.
4. Tidak Semua Bid’ah Dihukumi Haram
Walaupun diatas Imam ar-Ramli mengatakan bid’ah namun beliau menghukumi makruh (-awas, jangan dikaburkan dengan memaknai secara lughah yakni “dibenci”, sebab ini sama sama saja mengkaburkan status hukum-). Artinya, tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum haram. Ini karena bid’ah sendiri itu bukan status hukum. Bid’ah adalah sebuah istilah untuk menyebut suatu perkara baru bukan berasal dari Nabi, dan belum ditetapkan status hukumnya. Untuk menetapkan status hukumnya harus melalui pengkajian dan berdasarkan kaidah-kaidah syariat dalam menetap hukum. Status hukum dalam Islam ada 5 yaitu : (1). Wajib/Fardlu, , (2). Sunnah/mandub/mustahab, (3). Mubah/jaiz, (4). Makruh dan (5). Haram.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut seperti yang sebagian orang jahil lakukan, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, seperti itu juga yang dilakukan oleh Imam ar-Ramli, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/mustahab/mandub)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”. Oleh karena itu, tidak semua bid’ah itu terkategori sesat dan dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Contoh-contoh semacam ungkapan diatas begitu banyak dikitab-kitab Ulama
5. Imam ar-Ramli dan Tahlilan
Imam ar-Ramli sebagaimana disebutkan diatas bukan mempersoalkan Tahlilan secara keseluruhan namun jamuan makan untuk berkumpulnya manusia, karena memang adanya illat disana. Tahlilan adalah sebuah majelis kaum Muslimin yang mendo’akan, membacakan dzikir-dzikir dan al-Qur’an untuk mayyit. Semua ini bermanfaat dan pahalanya sampai bagi mayyit. Sedangkan apa yang kadang ada hidangan dalam Tahlilan itu bukan tujuan tahlilan, walaupun kadang ada pada kegiatan Tahlilan, namun itu sebagai shadaqah ahlul mayyit yang pahalanya untuk keluarganya yang meninggal. Sedangkan shadaqah itu sunnah. Seandainya tidak ada pun itu tidak masalah. Hidangan yang biasa diberikan ala kadarnya ini boleh. Imam ar-Ramli jelas-jelas mengatakan untuk berkumpulnya manusia padanya sebelum atau setelah kematian. Sedangkan tahlilan tidak dilakukan sebelum kematian. Jadi, tidak ada kolerasinya antara sekedar berkumpul di rumah keluarga Almarhum dengan pembacaaan do'a, dzikir-dzikir, al-Qur'an, dan yang lainnya dalam Tahlilan.
Lebih jauh lagi, disebutkan disana adalah -الكفارة،- kaffarat (denda/tebusan) yakni denda atau tebusan yang harus dilakukan untuk menutupi dosa. Maka jelas ini berbeda dengan tahlilan.
Wallahu A'lam. []
Oleh : Ats-Tsauriy (Bangkalan).
[1] 1/413 __
2. Tidak boleh menyiapkan makanan untuk wanita yang meratap (niyahah), hukumnya haram dan niyahah sendiri juga haram. Niyahah adalah berteriak-berteriak menangis disertai menyebut-nyebut kebaikan mayyit, sambil menampar-nampar pipi dan menyobek-nyobek saku baju.
3. Keluaga mayyit (keluarga Almarhum/Almarhumah) tidak perlu mengurusi makan untuk perkumpulan manusia, sebab ini makruh. Penetapan hukum makruh ini karena fokus terhadap illat yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayyit pada saat itu yaitu dikhawatirkan akan menambah kesibukan mereka (membuat mereka repot), menambah kesedihan serta membebani mereka. Hukum makruh ini menjadi mubah jika adanya hajat dari ahlul mayyit. Adapun jika bermaksud (diniatkan) menshadaqahkan harta mereka yang pahalanya untuk mayyit maka ini sunnah, dan pahalanya sampai serta bermanfaat untuk mayyit. Jika memaksudkan demikian, maka nampak bahwa keluarga mayyit tidak merasa sibuk dan terbebani, sebab shadaqah yang mereka keluarkan atas dasar keikhlasan dan tekad mereka sendiri demi anggota keluarganya yang meninggal. Apabila dimaksudkan untuk menghormati tamu –biasanya sekedarnya saja- maka itu mubah. Sedangkan makanan yang dihidangkan adalah halal, dan hendaknya dimakan.
4. Tidak Semua Bid’ah Dihukumi Haram
Walaupun diatas Imam ar-Ramli mengatakan bid’ah namun beliau menghukumi makruh (-awas, jangan dikaburkan dengan memaknai secara lughah yakni “dibenci”, sebab ini sama sama saja mengkaburkan status hukum-). Artinya, tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum haram. Ini karena bid’ah sendiri itu bukan status hukum. Bid’ah adalah sebuah istilah untuk menyebut suatu perkara baru bukan berasal dari Nabi, dan belum ditetapkan status hukumnya. Untuk menetapkan status hukumnya harus melalui pengkajian dan berdasarkan kaidah-kaidah syariat dalam menetap hukum. Status hukum dalam Islam ada 5 yaitu : (1). Wajib/Fardlu, , (2). Sunnah/mandub/mustahab, (3). Mubah/jaiz, (4). Makruh dan (5). Haram.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut seperti yang sebagian orang jahil lakukan, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, seperti itu juga yang dilakukan oleh Imam ar-Ramli, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/mustahab/mandub)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”. Oleh karena itu, tidak semua bid’ah itu terkategori sesat dan dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Contoh-contoh semacam ungkapan diatas begitu banyak dikitab-kitab Ulama
5. Imam ar-Ramli dan Tahlilan
Imam ar-Ramli sebagaimana disebutkan diatas bukan mempersoalkan Tahlilan secara keseluruhan namun jamuan makan untuk berkumpulnya manusia, karena memang adanya illat disana. Tahlilan adalah sebuah majelis kaum Muslimin yang mendo’akan, membacakan dzikir-dzikir dan al-Qur’an untuk mayyit. Semua ini bermanfaat dan pahalanya sampai bagi mayyit. Sedangkan apa yang kadang ada hidangan dalam Tahlilan itu bukan tujuan tahlilan, walaupun kadang ada pada kegiatan Tahlilan, namun itu sebagai shadaqah ahlul mayyit yang pahalanya untuk keluarganya yang meninggal. Sedangkan shadaqah itu sunnah. Seandainya tidak ada pun itu tidak masalah. Hidangan yang biasa diberikan ala kadarnya ini boleh. Imam ar-Ramli jelas-jelas mengatakan untuk berkumpulnya manusia padanya sebelum atau setelah kematian. Sedangkan tahlilan tidak dilakukan sebelum kematian. Jadi, tidak ada kolerasinya antara sekedar berkumpul di rumah keluarga Almarhum dengan pembacaaan do'a, dzikir-dzikir, al-Qur'an, dan yang lainnya dalam Tahlilan.
Lebih jauh lagi, disebutkan disana adalah -الكفارة،- kaffarat (denda/tebusan) yakni denda atau tebusan yang harus dilakukan untuk menutupi dosa. Maka jelas ini berbeda dengan tahlilan.
Wallahu A'lam. []
Oleh : Ats-Tsauriy (Bangkalan).
[1] 1/413 __
و) يسن (لجيران أهله تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم) لشغلهم بالحزن عنه (ويلح عليهم في الأكل) ندبا لئلا يضعفوا بتركه. (ويحرم تهيئته للنائحات، والله أعلم) لأنه إعانة على معصية، وقوله لجيران أهله أحسن كما قال في الروضة من قول الرافعي لجيرانه ليدخل فيه ما لو كان الميت في بلد وأهله في غيره والأباعد من قرابته كالجيران ذكره في الروضة كأصلها، والأصل في ذلك قوله - صلى الله عليه وسلم - لما جاء خبر قتل جعفر بن أبي طالب في غزوة مؤتة «اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم» رواه أبو داود وغيره وحسنه الترمذي، وقال الحاكم: صحيح الإسناد. ومؤتة بضم الميم وسكون الهمزة موضع معروف عند الكرك وقتل جعفر في جمادى سنة ثمان.
[2]___
قوله: (لجيران أهله) وكذا لمعارفه ولو غير جيران. قوله: (يومهم وليلتهم) أي يوما وليلة وإن تأخرت عنه. قال شيخنا الرملي: ومن البدع المنكرة المكروه فعلها. كما في الروضة ما يفعله الناس مما يسمى بالكفارة، ومن صنع طعام للاجتماع عليه قبل الموت أو بعده، ومن الذبح على القبر، بل ذلك كله حرام إن كان من مال محجور ولو من التركة، أو من مال ميت عليه دين وترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك، والله أعلم.
[3]___
قول المتن: (ولجيران أهله تهيئة إلخ) عطف على أن يقف.
Diposting juga di : http://www.facebook.com/notes/tahlilan-yasinan-selamatan-dibawah-naungan-dan-kebijaksanaan-ahlul-ilmi/tahlilan-menurut-al-imam-ar-ramli-asy-syafii-dalam-kitab-hasyiyatani-qalyubiy-wa/140798155974660
0 Response to "Tahlilan Menurut al-Imam ar-Ramli asy-Syafi’i Dalam Kitab Hasyiyatani Qalyubiy wa ‘Umairah ?"
Posting Komentar