Latest Updates

Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan [Bag. II]

Bershaqadah Atas Nama Orang Mati adalah Bermanfaat dan Sampai Pahalanya

Bershadaqah ini pahalanya di berikan kepada yang meninggal dunia (orang mati). Dalam tahlilan, shadaqah ini atas niat baik atau keinginan keluarga al-Marhum (-ah) sendiri yang pahalanya diberikan kepada keluarganya yang meninggal dunia. Sebagai seorang yang berakal, kita akan berfikir betapa beruntungnya memiliki keluarga penyayang hingga bersedia menshaqadahkan hartanya atas nama al-Marhum (-ah). Shadaqah yang diberikan atas nama al-Marhum (ah) adalah sampai dan memberikan manfaat kepada orang yang meninggal dunia, sebagai mana riwayat Imam Muslim pada bab sampainya pahala shadaqah kepada mayyit :


أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
“Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, kemudian ia berkata ; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia (mendadak) namun ia belum sempat berwasiat, dan aku menduga seandainya sempat berkata-kata ia akan bershadaqah, apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bershadaqah atas beliau ?, Nabi kemudian menjawab ; “Iya (maka bershadaqahlah, riwayat lain)”.[1]

Ini adalah hadits yang secara gamblang (sharih) dan shahih menyatakan sampainya pahala shadaqah untuk mayyit. Oleh karena itu Syaikhul Islam al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengomentari ;

“Pengertian dalam hadits ini adalah bahwa shadaqah dari mayyit bermanfaat dan pahalanya sampai kepada mayyit, dan hal itu demian juga dengan ijma’ ulama, sebagaimana juga ulama ber-ijma’ atas sampainya pahala do’a dan membayar hutang berdasarkan nas-nas yang telah warid didalam keseluruhannya, dan sah berhaji atas mayyit apabila haji Islam, dan seperti itu juga ketika berwasiat haji sunnah berdasarkan pendapat yang ashah (lebih sah), dan Ulama berikhtilaf tentang pahala orang yang meninggal dunia namun memiliki tanggungan puasa, pendapat yang rajih (lebih unggul) memperbolehkannya (berpuasa atas namanya) berdasarkan hadits-hadits shahih tentang hal itu”. [2]

Bahkan ulama telah berijma’ atas sampainya pahala shadaqah kepada mayyit. Sangat disayangkan perkataan orang-orang awak, ahli bid’ah dan ahli bicara yang menyangkal sampainya pahala shadaqah kepada mayyit, sebab disamping mereka telah menolak ijma’ Ulama, mereka juga telah menentang hadits Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Juga hadits dari Ibnu ‘Abbas ;

أن سعد بن عبادة رضي الله عنهم أخا بني ساعدة توفيت أمه وهو غائب عنها فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن أمي توفيت وأنا غائب عنها فهل ينفعها شيء إن تصدقت به عنها قال نعم قال فإني أشهدك أن حائطي المخراف صدقة عليها
"Sesungguhnya ibu dari Sa’ad bin Ubadah radliyallahu ‘anhum saudara Bani Sa’idah meninggal dunia namun ia tidak ada disana, maka ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhia wa sallam, ia berkata ; “ya Rasulallah sesungguhnya ibuku meninggal dunia dan aku tidak berada disana, maka apakah bermanfaat baginya sesuatu yang aku shadaqahkan untuknya ?, Rasulullah menjawab : “iya”. Dan Sa’ad berkata ; “Sesungguhnya aku persaksikan engkau ya Rasulullah bahwa kebun kurma yang berbuah sebagai shadaqah untuknya”.

Hadits ini juga menunjukkan sampainya pahala shadaqah untuk mayyit. Lebih jauh lagi Syaikhul Islam al-Imam an-Nawawi dalam kitab yang sama mengatakan :

“Barangsiapa yang menghendaki kebaikan untuk ibu bapaknya maka bershadaqahlah untuk keduanya, sesungguhnya pahala shadaqah sampai dan bermanfaat kepada mayyit tanpa ada perselisihan diantara kaum muslimin, dan ini adalah benar. Adapun mengenai yang dikisahkan oleh Qadli dari pada qadli Abul Hasan al-Mawardi al-Bashriy al-Faqih asy-Syafi’i didalam kitabnya (al-Hawiy) tentang sebagian ahli bicara yang menyatakan bahwa mayyit tidak bisa menerima pahala setelah kematiannya, itu adalah pendapat yang bathil secara qath’i dan kekeliruan diantara mereka berdasarkan nas-nas al-Qur’an, as-Sunnah dan kesepakatan (ijma’) umat Islam, maka tidak ada toleransi bagi mereka dan tidak perlu di hiraukan. Mengenai shalat dan puasa, madzhab asy-Syafi’i dan jumhur ‘Ulama adalah pahala keduanya tidak sampai kepada mayyit, kecuali puasa yang wajib atas mayyit maka boleh di qadla’ oleh walinya atau orang lain yang diberikan izin oleh walinya, sesungguhnya dalam masalah ini terdapat dua qaul dalam syafi’iyah dimana yang lebih masyhur dari dua qaul itu adalah tidak sah, namun pendapat yang lebih shahih menurut ‘Ulama ahli tahqiq mutaakhkhirin madzhab Syafi’iyah sesungguhnya itu sah, dan akan aku perjelas masalah ini dalam kitab puasa, InsyaAllah”. [3]

Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshariy mengatakan ;

 “(dan bermanfaat baginya) yaitu bagi mayyit yang berasal dari ahli waris atau selain ahli waris (berupa shadaqah dan do’a) berdasarkan ijma’ dan selainnya. Adapun mengenai firman Allah (dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya) adalah ‘amun makhshush (umum yang telah dikhususkan) dengan hal itu, bahkan dikatakan itu hukumnya telah di hapus (mansukh), sebagaimana bermanfaat bagi mayyit dengan yang demikian, juga bermanfaat bagi orang yang bershadaqah dan orang yang berdo’a”. [4]

Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i terkait do’a dan shadaqah juga menyatakan sampai.

“Adapun do’a dan shadaqah, maka pada yang demikian ulama telah sepakat atas sampainya pahala keduanya, dan telah ada nas-nas dari syariat atas keduanya”. [5]

Didalam Fiqh Sunnah :

“Shadaqah : dan sungguh Imam an-Nawawi telah menceritakan adanya ijma’ ulama atas bermanfaatnya bagi mayyit dan sampainya pahala untuknya sama saja baik dari anaknya atau yang lainnya”.[6]

Catatan Kaki :
[1] Shahih Muslim no. 1672 ( Bab sampainya pahala shadaqah dari mayyit atas dirinya) dan no. 3083 (Bab Bab sampainya pahala shadaqah kepada mayyit), dalam bab ini Imam Muslim mencantum beberapa hadits lainnya yang redaksinya mirip ; Mustakhraj Abi ‘Awanah no. 4701.
[2] Lihat ; Syarah Shahih Muslim (3/444) ;
[3] Lihat ; Syarah Shahih Muslim (1/89-90) ;
[4] Lihat ; Fathul Wahab li-Syaikhil Islam al-Imam Zakariyya al-Anshariy asy-Syafi’I (2/31).
[5] Lihat ; Tafsirul Qur’an al-‘Adzhim li-Ibni Katsir (7/465).
[6] Lihat : Fiqh Sunnah li-Sayyid Sabiq (1/586).

http://www.facebook.com/note.php?note_id=137040013017141

0 Response to "Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan [Bag. II]"

Posting Komentar

Media Islam

Thariqat Sarkubiyah

NU Online