Mughni Muhtaj (ilaa Ma’rifati Ma’aniy Alfadh al-Minhaj) lil-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib asy-Syarbiniy asy-Syafi’i (w. 977 H).
Ziarah kubur hukumnya sunnah, dan ini telah menjadi kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia. Hingga sebagian merutinkannya mengamalkan amalan sunnah ini pada hari-hari yang memiliki keutamaan. Ulama telah menyebutkan afdlaliyah (keutamaan) ziarah hari Jum’at, maupun hari sebelumnya dan hari setelahnya. Adapun ketika memasuk pekuburan disunnahkan mengucapkan salam seperti berikut :
السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى بِكُمْ لَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ
atau
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ
Ucapan “InsyaAllah” pada salam diatas mengandung maksud “lit-tabarruk (untuk ngalap berkah)” atau suatu saat akan dikubur ditempat itu juga atau Insyaallah akan mati dalam keadaan Islam. Hendaknya bacalah al-Qur’an diatas kubur karena ini sunnah dan telah dilakukan oleh para salafush shaleh. Dalam kitab Mughniy Muhtaj disebutkan :
“Dan membaca apa yang dirasa mudah dari al-Qur’an disisi kubur, dan itu sunnah pada area pekuburan, sesungguhnya terdapat pahala bagi orang-orang yang hadir dan mayyit seperti orang yang hadir yang diharapkan untuknya mendapat rahmat. Dan tentang pembahasan pahala bacaan al-Qur’an untuk mayyit, InsyaAllah akan datang bahasannya pada bahasan wasiat. Kemudian (berdoa) untuk mayyit mengiringi bacaan al-Qur’an dengan harapan dikabulkan, karena do’a (orang lain) bermanfaat bagi mayyit, apalagi dilakukan mengiringi bacaan al-Qur’an maka itu lebih dekat untuk dikabulkan. Dan ketika berdo’a menghadap kiblat, namun al-Khurasaniyyun (‘Ulama Khurasan) menganjurkan menghadap wajah mayyit. Mushannif berkata : disunnahkan memperbanyak seperti ziarah dan memperbanyak berdiam di kubur orang-orang kebajikan dan keutamaan (orang-orang shalih)”.[1]
Amalan sunnah ini (yaitu membaca al-Qur’an dikuburan) telah masyhur negeri-negeri kaum Muslimin dan telah menjadi semacam budaya Islami. Oleh karena itu jangan sekali-kali menyamakan budaya yang ada pada kaum Muslimin dengan budaya non-Islam. Dan umat Islam tidak perlu merasa khawatir melakukan ziarah kubur yang disertai membaca al-Qur’an dan berdo’a dikuburan, walaupun seumpama belum mengetahui dalil dengan rinci. Sebab budaya yang berkembang dikalangan kaum Muslimin kalau dikaji akan ketemu landasan atau asas islaminya, berbeda dengan budaya yang berkembang dikalangan non-Islam, tidak pernah memilliki landasan. Seperti itu juga maulid Nabi, shalawatan antara adzan dan iqamah dan lain sebagainya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah sebagaimana tuturkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah didalam al-Adzkar mengatakan :
“Imam asy-Syafi’i dan ashhabnya berkata : disunnahkan agar mereka membaca al-Qur’an disisinya (sisi kubur). Apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’an seluruhnya maka itu hasan (bagus)”. [2]
Menghidangkan Makanan
“disunnahkan bagi tetangga ahlul mayyit dan bagi kerabat-kerabatnya yang jauh walaupun penduduk yang bukan dari negeri mayyit (menyiapkan makanan yang mengeyangkan mereka) yakni ahlul mayyit yang dekat (pada siang dan malam hari) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, telah datang khabar pembunuhan Ja’far : hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sungguh telah datang sesuatu yang menyibukkan mereka”, at-Turmidzi telah menghasankannya dan al-Hakim menshahihkannya. Dan karena yang demikian itu mengandung kebaikan dan kearifan. Al-Isnawiy berkata : ibarat dengan siang dan malam adalah penjelasan apabila kematiannya pada awal malam, maka walaupun mati pada akhir malam maka diqiyaskan agar memasukkan pada malam yang kedua itu juga, terutama apabila mengakhirkan pemakaman di malam itu, dan dianjurkan agar ahlul mayyit dipaksa makan jika membutuhkannya (ketika lapar) agar tidak membuat mereka lemah, karena mungkin saja meninggalkannya ka rena malu atau karena perasaan sedih,.. dan haram ahlul mayyit memberi jamuan kepada wanita yang meratap dan menyebut-menyebut (wallahu a’lam), karena itu membantu kemashiatan, Imam ash-Shabbagh dan yang lainnya telah mengatakannya. Adapun ahlul mayyit mengurusi makanan dan seluruh manusia ( berkumpul) padanya maka itu bid’ah ghairu mustahab, Imam Ahmad dan Ibnu Majah telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata : “kami menganggap berkumpul dikediaman ahlul mayyit dan menghidangkan makanan untuk mereka adalah niyahah”.[3]
Faidah :
- Apabila ada kaum muslimin yang meninggal dunia, maka hendaknya membawakan makanan untuk keluarga mereka, sebab ini sunnah. Alhamdulillah, hal semacam ini telah menjadi kebiasaan masyarakat Islam, biasanya mereka membawa seperti beras, gula, uang dan sebagainya untuk ahlul mayyit.
- Ulama mengharamkan an-niyahah dan an-nadb, demikian juga menghidangkan makanan untuk wanita yang melakukan keduanya. Oleh karena itu apabila ada yang melakukan hal demikian, maka hendaknya dicegah dan dinasehati dengan halus.
- Ahlul mayyit (keluarga almarhum) tidak perlu mengurusi makanan (jamuan) untuk perkumpulan manusia, sebab itu dikhawatirkan akan menambah kesibukan mereka. Adapun jika hanya sekedarnya saja maka itu tidak apa-apa, siapa tahu ada diantara mereka yang datang kehausan, atau ada diantara mereka yang berasal dari daerah yang tidak dekat, dan lain sebagainya. Juga tidak apa-apa dalam rangka menghormati tamu yang hadir dan menshadaqahkan hartanya.
- Tidak semua bid’ah itu jatuh pada status hukum haram. Hal ini karena bid’ah sendiri itu bukan status hukum. Status hukum dalam Islam ada 5 yaitu wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Makanya, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut seperti yang dilakukan oleh orang jahil melainkan mereka menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, terkait selaras tidaknya dengan Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Atsar. Sehingga nantinya akan terlihat status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah muharramah”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mubahah” jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mustahabbah” dan jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah wajibah”. Oleh karena itu, tidak semua bid’ah itu terkategori sesat, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya sehingga bid’ah yang selaras dengan sunnah maka itu mahmudah (bagus) sebaliknya yang tidak selaras maka itu madzmubah (buruk). Namun walaupun ada bid’ah yang terkategori sebagai bid’ah madzmumah, tetapi jika diklasifikasikan hukumnya, tidak serta merta jatuh pada status hukum haram, namun bisa saja hanya sebatas makruh. Misalnya seperti perkataan ‘ulama : “bid’ah munkarah yang makruh” dan lain sebagainya.
- Adapun terkait istilah “bid’ah ghairu mustahab” maka yang dimaksud antara mubah dan makruh, bukan haram (berdosa). Namun dalam hal diatas, adalah ibarat mushannif mengenai hukum makruh.
Wallahu A'lam.
Oleh : Ats-Tsauriy (Bangkalan).
[1] (2/58)___
ويقرأ) عنده من القرآن ما تيسر، وهو سنة في المقابر فإن الثواب للحاضرين والميت كحاضر يرجى له الرحمة، وفي ثواب القراءة للميت كلام يأتي إن شاء الله تعالى في الوصايا (ويدعو) له عقب القراءة رجاء الإجابة؛ لأن الدعاء ينفع الميت وهو عقب القراءة أقرب إلى الإجابة، وعند الدعاء يستقبل القبلة وإن قال الخراسانيون باستحباب استقبال وجه الميت. قال المصنف: ويستحب الإكثار من الزيارة، وأن يكثر الوقوف عند قبور أهل الخير والفضل
[2]. lihat : al-Adzkar
قال الشافعي والأصحاب: يُستحبّ أن يقرؤوا عنده شيئاً من القرآن، قالوا: فإن ختموا القرآن كلَّه كان حسناً
[3] (2/60)__
و) يسن (لجيران أهله) ولأقاربه الأباعد وإن كان الأهل بغير بلد الميت (تهيئة طعام يشبعهم) أي أهله الأقارب (يومهم وليلتهم) لقوله - صلى الله عليه وسلم - «لما جاء خبر قتل جعفر: اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم» حسنه الترمذي وصححه الحاكم، ولأنه بر ومعروف قال الإسنوي؛ والتعبير باليوم والليلة واضح إذا مات في أوائل الليل، فلو مات في أواخره فقياسه أن يضم إلى ذلك الليلة الثانية أيضا لا سيما إذا تأخر الدفن عن تلك الليلة (ويلح عليهم) ندبا (في الأكل) منه إن احتيج إليه لئلا يضعفوا، فربما تركوه استحياء أو لفرط الحزن، ولا بأس بالقسم إذا عرف الحالف أنهم يبرون قسمه. (ويحرم تهيئته للنائحات) والنادبات (والله أعلم) ؛ لأنها إعانة على معصية قال ابن الصباغ وغيره. أما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فبدعة غير مستحب، روى أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير بن عبد الله قال: كنا نعد الاجتماع على أهل الميت وصنعهم الطعام النياحة
Diposting juga di : http://www.facebook.com/notes/tahlilan-yasinan-selamatan-dibawah-naungan-dan-kebijaksanaan-ahlul-ilmi/mughni-muhtaj-ziarah-baca-quran-di-kuburan-dan-menghidangkan-makanan/139863459401463
0 Response to "Mughni Muhtaj ; Ziarah, Baca Qur'an di Kuburan dan Menghidangkan Makanan"
Posting Komentar