Latest Updates

Syaikh Nawawi al-Jawi Pemilik 3 Gelar Agung ; Sayyid Ulama Hijaz, Ahad Fuqaha Wa Hukama al-Muta’akhirin dan Imam ‘Ulama al-Haramain

Syaikh Nawawi al-Jawi Pemilik 3 Gelar Agung ; Sayyid Ulama Hijaz, Ahad Fuqaha Wa Hukama al-Muta’akhirin dan Imam ‘Ulama al-Haramain
Nama lengkap tokoh kita ini adalah Muhammad Nawawi ibn ‘Umar ibn Arbi al-Bantani al-Jawi. Lahir tahun 1230 H-1813 M di Tanara Serang Banten [1]. Di kalangan keluarganya beliau di kenal dengan nama Abu Abd al-Mu’thi. Ayahnya, KH. ‘Umar ibn Arbi, adalah salah seorang ulama terkemuka di daerah Tanara. Dari garis nasab, Syekh Nawawi adalah keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, Cirebon. Dengan demikian dari garis keturunan ayah, syekh Nawawi berasal dari keturunan Rasulullah. Sedangkan ibunya bernama Zubaidah, berasal dari garis keturunan Muhammad Singaraja. Syekh Nawawi merupakan anak pertama dari tujuh orang bersaudara. Enam orang saudaranya adalah Ahmad Syihabuddin, Tamim, Sa’id, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah.

Saat Syekh Nawawi lahir, kesultanan Banten sedang berada di ambang keruntuhan. Raja yang memerintah saat itu Sultan Rafi’uddin (1813 M), diturunkan secara paksa oleh Gubernur Rafles untuk diserahkan kepada Sultan Mahmud Syafi’uddin, dengan alasan tidak dapat mengamankan negara. Pada tahun peralihan kesultanan tersebut (1816 H) di Banten sudah terdapat Bupati yang di angkat oleh Pemerintah Belanda. Bupati pertama bernama Aria Adisenta. Namun, setahun kemudian diadakan pula jabatan Residen yang dijabat oleh orang belanda sendiri. Akibatnya, pada tahun 1832 M, Istana Banten dipindahkan ke Serang oleh Pemerintah Belanda. Inilah akhir kesultanan Banten yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1527 M. Kondisi sosial politik semacam inilah yang melingkupi kehidupan Syekh Nawawi.

Syekh Nawawi tumbuh dalam lingkungan agamis. Sejak umur lima tahun, Ayahnya yang seorang tokoh ulama Tanara, langsung memberikan pelajaran-pelajaran agama dasar kepada beliau. Di samping kecerdasan yang dimiliki, Syekh Nawawi sejak kecil, juga dikenal sebagai sosok yang tekun dan rajin. Beliau juga dikenal sebagai orang yang tawadlu’, zuhud, bertaqwa kepada Allah, di samping keberanian dan ketegasannya.

Pada masa remaja, Syekh Nawawi bersama saudaranya; Tamim dan Ahmad, pernah berguru kepada KH Sahal, salah seorang ulama Banten sangat terkenal saat itu, kemudian belajar pula kepada Raden Yusuf Purwakarta Jawa Barat. Ketika menginjak umur 13 tahun, Syekh Nawawi bersaudara ditinggal wafat ayahnya, hingga walau usia Syekh Nawawi terbilang muda, pucuk pimpinan pondok pesantren sepeninggalan ayahnya digantikan olehnya. Lewat dua tahun kemudian, saat usianya menginjak 15 tahun, tepatnya tahun 1828 M, Syekh Nawawi menunaikan ibadah haji, sekaligus untuk tujuan menuntut ilmu di Mekah.

Tiga tahun menuntut ilmu di Mekah, Syekh Nawawi kemudian pulang ke Indonesia. Namun, tujuan mengembangkan ilmu di kampung halaman tidak semulus perkiraannya. Setiap gerak gerik umat Islam di Indonesia saat itu dibatasi secara ketat oleh kolonial Belanda. Keadaan yang tidak kondusif ini memaksa Syekh Nawawi untuk kembali ke Mekah. Akhirnya pada tahun 1855 H, beliau kembali ke Mekah, di sana beliau kembali belajar sekaligus mengobarkan semangat juang melawan kolonial Belanda.

Di Mekah, di satu tempat yang dikenal dengan “Kampung Jawa” Syekh Nawawi belajar kepada beberapa ulama besar yang berasal dari Indonesia. Di antaranya; Syaikh Khatib Sambas (berasal dari Kalimantan Barat) dan Syaikh Abd al-Ghani (berasal dari Bima NTB). Tentunya beliau juga belajar kepada para ulama besar Mekah di masanya, seperti; Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (Mufti Madzhab syafi’i di Mekah), Syaikh Ahmad Dimyathi, Syaikh Abd al-Hamid ad-Daghestani, Syaikh Nahrawi dan lainnya.

Pada gilirannya, hasil tempaan ilmiah “Kampung Jawa” tampil ke permukaan. Di antara yang populer saat itu Syaikh Nawawi al-Jawi dan Syekh Ahmad Khathib al-Minangkabawi. Setelah kurang lebih 30 tahun, Syekh Nawawi tampil menjadi salah seorang ulama terkemuka di Mekah. Kedalaman ilmu beliau menjadikannya sebagai guru besar di Masjid al-Haram. Bahkan beliau memiliki tiga gelar kehormatan prestisius; “Sayyid ‘Ulama al-Hijaz” yang dianugerahkan olah para ulama Mesir, “Ahad Fuqaha Wa Hukama al-Muta’akhirin” dan “Imam ‘Ulama al-Haramain”. Layaknya seorang Syekh dan ulama besar, Syekh Nawawi sangat menguasai berbagai disiplin ilmu agama. Seperti Tauhid, Fikih, Tafsir, Tasawwuf (akhlak), Tarikh, Tata Bahasa dan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya yang dihasilkan beliau yang mencakup berbagai disiplin ilmu tersebut.

Dari hasil perjalanan ilmiahnya, Syekh Nawawi di kemudian hari menjadi sosok laksana lautan ilmu. Tidak mengherankan kemudian banyak ulama besar yang lahir dari tangan beliau, baik para ulama nusantara maupun luar Indonesia. Di antara ulama Indonesia yang kemudian menjadi tokoh-tokoh ulama besar, bahkan menjadi para pejuang bagi kemerdekaan Indonesia adalah; asy-Syaikh al-Akbar, pencetus organisasi gerakan sosial [2] “Nahdlatul Ulama”; KH Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jawa Timur, Syaikh Kholil Bangkalan Madura, KH Asy’ari Bawean, Jawa Timur, yang kemudian dinikahkan dengan puterinya sendiri yang bernama Maryam, KH Najihun Gunung Mauk Tangerang, yang juga dinikahkan dengan cucunya; Salmah binti Ruqayyah, KH Asnawi Caringin Banten, KH Ilyas Kragilan Banten, KH ‘Abdul Gaffar Tirtayasa Banten, dan KH Tubagus Ahmad Bakri Sempur Purwakarta, Jawa Barat. Di antara muridnya yang berasal dari Malaysia adalah K. H. Dawud, Perak.

Tentang jumlah karya-karya Syekh Nawawi terdapat perbedaan pendapat. Satu pendapat menyatakan berjumlah 99 buah karya. Pendapat lain menyatakan 115 buah karya. Terlepas pendapat mana yang lebih kuat, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Syekh Nawawi adalah seorang ulama besar yang sangat produktif.

Karya-karya beliau dapat kita klasifikasi dalam masing-masing disiplin ilmu. Di antaranya sebagai berikut; dalam bidang akidah, dan akhlak di antaranya; Kasyifat as-Saja Syarh Safinat an-Naja ditulis pada tahun 1292 H, Bahjat al-Wasa’il ditulis pada tahun 1292 H, Fath al-Majid Syarh ad-Durr al-Fari fi at-Tauhid ditulis pada tahun 1298 H, Tijan ad-Durari ditulis pada tahun 1301 H, Qami’ at-thughyan Syarh Manzhumat Syu’ab al-Iman, Nur az-Zhalam Syarh Manzhumat ‘Aqidat al-‘Awam, Nasha’ih al-‘Ibad Syarh al-Munabbihat ‘Ala al-Isti’dad li Yaum al-Ma’ad, Salalim al-Fudlala Syarh Manzhumat Hidayat al-Adzkiya, dan lain-lain. Dalam bidang fikih di antaranya; Fath al-Mujib ditulis pada tahun 1276 H, Mirqat Shu’ud at-Tashdiq Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain ditulis tahun 1297 H, ‘Uqud al-Lujjain Fi Bayan Huquq az-Zaujain ditulis pada tahun 1297 H, at-Tausyih ‘Ala Ibn Qasim, dan lainnya. Dalam bidang Ilmu Bahasa dan Kesusasteraan, di antaranya; Lubab al-Bayan, Fath al-Gafir al-Khatiyyah Syarh al-Kaukab al-Jaliyyah, Al-Fushush al-Yaqutiyyah Syarh ar-Raudlah al-Bahiyyah fi al-Abwab at-Tashrifiyyah, dan lain-lain Dalam bidang Sejarah di antaranya; Targhib al-Mustaqim tentang maulid nabi, al-Ibriz ad-Dani tentang sejarah hidup Rasulullah, Fath as-Shamad tentang maulid nabi, dan lain-lai.

Catatan Kaki :
[1] al-Bantani nisbat kepada Banten, al-Jawi nisbat kepada Jawa. Tidak ada data lengkap dan akurat perihal tanggal dan bulan kelahirannya. Dari sini ada perbedaaan mencolok antara Syekh Nawawi dengan Imam an-Nawawi. Yang pertama dikenal dengan al-Jawi atau al-Bantani, biasanya ditulis tanpa alif dan tanpa lam ta’rif, wafat tahun 1315 H. Sementara yang kedua ditulis dengan alif dan lam ta’rif, dinisbatkan kepada Nawa, nama tempat kelahirannya di Mesir, wafat 676 H, adalah seorang ahli Fiqh sekaligus ahli hadits terkemuka, penulis Syarh Shahih Muslim, riyadl as-shalihin, al-Adzkar, dan lainnya, yaitu al-Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi.
[2] Tujuan utama dicetuskan Nahdlatul Ulama adalah untuk mempertahankan ajaran Ahlussunnah; dalam hal ini ajaran Asy’ariyyah Maturidiyyah dalam aqidah dan Syafi’iyyah dalam fiqh. Cikal bakal dari timbulnya gerakan Nahdlatul Ulama adalah dimulai dari dibentuknya “Komite Hijaz” sebagai kontraproduktif terhadap gerakan “Wahhabiyah” di Hijaz (Mekah dan Madinah). Gerakan ekstrim Wahhabiyyah sampai kepada batasan yang tidak dapat ditolerir; di antaranya, usaha mereka dalam menghancurkan peninggalan-peninggalan sejarah umat Islam, termasuk keinginan mereka menghancurkan “al-Qubbah al-Khadlra” yang berada di atas makam Rasulullah, dan bahkan mereka hendak menghancurkan makam Rasulullah sendiri. Inilah yang menyulut terbentuknya Komite Hijaz di atas, termasuk berkumpulnya ulama sunni di Hijaz dari berbagai penjuru dunia saat itu. Komite ini kemudian dibulatkan menjadi organisasi Nahdlatul Ulama.

Oleh : Ust. Muhammad Zakaria Al Faruq Hafidzhullah Ta'alaa

Ijma' Atas Bolehnya Merayakan Maulid Nabi asy-Syarif

Ijma' Atas Bolehnya Merayakan Maulid Nabi asy-Syarif
الإجماع على جواز الإحتفال بالمولد النبوي الشريف
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي بدأ بأخذ العهد لنفسه على أرواح جميع بني آدم في عالم الذَّرِّ وأشهدهم على أنفُسهم واقرَّهم على اعتقاد الربوبية المطلقة له فقال جلّ من قائل: ( وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرّيَّاتِهمِ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا ) ، وثَنَّى بأخذ الميثاق لنبيّنا محمّد صلى الله عليه وسلم على جميع الأنبياء الذين هم صفوة خلقه فقال جلّ من قائل: (وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا ءَاتَيْتُكُم مِّن كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثمّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنصُرُنَّهُ قَالَ َءَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُــو, أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ )
 وصلى الله على سيدنا النبي وسلم عليه وعلى اصحابه وآل بيته تسليماً كثيراً
وبعد,

أعلم رحمنى الله وإياك أن المولد النبوي مشروع وعليه الأدلة من الكتاب  والسنة وإجماع الأمة الإسلامية التي لم ولن تجتمع على ضلالة.
وصدق سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم القائل عن ابن عمر-رضي الله عنه-:
"إن الله لا يجمع هذه الأمة على ضلالة أبداً، وإن يد الله مع الجماعة، فاتبعوا السواد الأعظم، فإن من شذ في النار"
رواه الترمذي (٢٠٩٣)، والحاكم (١/١٩٩-٢٠٠)، وأبو نعيم في الحلية
(٣/٣٧)وابن مندة،من طريق الضياء عن ابن عمر والحديث صحيح بمجموع طرقه
والسواد الأعظم من جل علماء المسلمين دونوا آرائهم الواضحة وطفحت كتبهم بما ينص على جواز الإحتفال بالمولد النبوي الشريف وهذا ما جمعناه بعد أن طفح الجهل من بعض أدعياء العلم في هذا الزمان فكرسوا وقتهم وجهدهم لمحاربة جل علماء الأمة الإسلامية فرموا كل من
احتفل او اجازه بالمبتدع والفاسق والاجر بل زاد بعض الجهال ان هذا من أبواب الشرك والعياذ بالله.
وما جاء في أثر ابن مسعود رضي الله عنه:(ما رآه المسلمون حسناً فهو عند الله حسن وما رآه المسلمون قبيحاً فهو عند الله قبيح). كشف الأستار عن زوائد البزار" ‏(1/81)، و "مجمع الزوائد" ‏(1/177)
قال ابن كثير: "وهذا الأثر فيه حكايةُ إجماعٍ عن الصحابة في تقديم الصديق، والأمر كما قاله ابن مسعودٍ".
وقال الشاطبي في "الاعتصام" (2/655):(إن ظاهره يدل على أن ما رآه المسلمون بجملتهم حسناً؛ فهو حسنٌ، والأمة لا تجتمع على باطلٍ، فاجتماعهم على حسن شيءٍ يدل على حسنه شرعاً؛ لأن الإجماع يتضمن دليلاً شرعياً")

وممن اجازه وراه حسناً جمهور الإمة افسلامية وجل علمائها مثل الإمام السيوطي وحافظ الدنيا في الحديث ابن حجر العسقلاني  والإمام النووي والإمام ابن كثير و إمام القراء الحافظ شمس الدين ابن الجزري  الحافظ شمس الدين بن ناصر الدين الدمشقي الحافظ العراقي الحافظ  السخاوي والكمال الأدفوي و الحافظ ابن حجر الهيثمي والحافظ المجتهد الامام ملا علي قاري و الحافظ ابن الدبيع  وابن طغربك وغيرهم  الكثير والكثير وسنورد اسماء الائمة في الموضوع وما سنورده هو على سبيل المثال لان حصر الائمة والعلماء يصعب على الباحث
 و القوم يتبعون قول الإمام الفكهاني رحمه الله وهو من قال بالتوسل والتبرك تبعاً لاجماع الامة  الإسلامية وغيرها فينكرون عليه هذه وياخذون بقوله الذي شذ فيه عن الإجماع قاتل الله الهوى.
وتراهم يعرضون كلام شيوخهم ابن باز وابن عثيمين والالباني  وكأن هؤلاء هم السلف والخلف فعبدوا مشايخهم وقدسوهم ورفعوا أقوالهم فوق أي قول فهل هذا يعقل أخي الكريم انتبع ابن حجر والنووي  والعراقي وابو شامة والجزري وغيرهم ام نتبع الالباني وابن باز وابن عثيمين
نترك لك الحكم.
فالعلماء المعاصرين جلهم وجمهورهم اباحوا الإحتفال بالمواد ولم يشذ غير فرقة شتت شمل الأمة ورمت علمائها بالشرك والبدع.
 فهل يعقل أن نترك إجماع الأمة ونأخذ بأقوال من شذ؟؟
وهذا البحث الصغير جمعناه من كتب ومواضيع مشايخنا لوجه الله تعالى  ولاحياء هذه الذكرى بالدفاع عن جمهور العلماء وإجماع الأمة..
ولتعلم أخي أن الاحتفال بالمولد النبوي الشريف هو الاحتفال بالإسلام عينه ذلك لأن
النبي صلى الله عليه وسلم هو رمز الإسلام.
يقول الإمام متولي الشعراوي في كتابه "مائدة الفكر الإسلامي" ص 295،
إذا كان بنو البشر فرحون بمجيئه لهذا العالم، وكذلك المخلوقات الجامدة فرحة لمولده وكل النباتات فرحة لمولده وكل الحيوانات فرحة لمولده وكل الجن فرحة لمولده، فلماذا تمنعونا من الفرح بمولده.)
يا أهل الإسلام، يا أمة النبي صلى الله عليه وسلم ، احتفلوا بنبيكم بكل فخر وفرح ويا أهل الفتن
لا تمنعوا أحداً من الاحتفال واتركوا الناس تفعل ما تمليه قلوبها.
إجماع جمهور العلماء وإجماع الأمة على الإحتفال بالمولد النبوي الشريف وكذلك من أقوال الرحالة والمؤرخين وعمل سلاطين المسلمين.

1- ابن جبير الرحالة وذكره إلإحتفال بمولد النبي صلى الله عليه وسلم وإجماع اهل مكة المكرمة
من
 أقدم المصادر التي ذكر فيها إقامة احتفال عام لذكرى المولد هي كتاب رحال
(ص. 114 115) لابن جبير (ولد عام 540  هجرية):
قال (يفتح هذا المكان المبارك أي منزل النبي صلى الله عليه وسلم ويدخله جميع الرجال للتبرّك به في كل يوم اثنين من شهر ربيع الأول ففي هذا اليوم وذاك الشهر ولد النبي صلى الله عليه وسلم.)

فكان الإحتفال في شهر ربيع الأول في يوم مولد المصطفى صلى الله عليه وسلم هو عمل المسلمين  قبل قدوم ابن جبير إلى مكة والمدينة و كان يحتفل به أهل السنة في  أرض الله المكرمة وما ذكر عن صاحب إربل الملك المظفر كان أول من اظهر الاحتفال بالمولد وتوسع فيه
وقد دخل ابن جبير مكة في عام 16 شوال 579هـ ومكث أكثر من ثمانية أشهر وغادرها الخميس الثاني والعشرون من ذي الحجة 579هـ متوجهاً إلى المدينة المنورة كما هو مذكور في رحلته و مكث ابن جبير خمسة أيام فقط بالمدينة المنورة وغادرها ضحى يوم السبت الثامن من محرم 580هـ  .

2- الشخ الصالح عمر الملا (المتوفى سنة 570  ) وقاهر الصليبين السلطان نور الدين زنكي والاحتفال بالمولد النبوي الشريف
ومن أوائل من احتفل به من علماء أهل السنة من أهل المشرق الشيخُ الصالحُ عمر المَلاَّ الموصلي المتوفى سنة 570  مع صاحب الموصل وكان السلطان نور الدين من اخص محبيه
 ذكر الحافظ أبو شامة في حوادث سنة 566 من كتاب الروضتين في أخبار الدولتين
(فصل
قال العماد: وكان بالموصل رجل صالح يعرف بعمر الملاَّ، سمى بذلك لأنه كان يملأ تنانير الجص بأجرة يتقوَّت بها، وكل ما عليه من قميص ورداء، وكسوة وكساء، قد ملكه سواه واستعاره، فلا يملك ثوبه ولا إزاره. وكن له شئ فوهبه لأحد مريديه، وهو يتجر لنفسه فيه، فإذا جاءه ضيف قراه ذلك المريد. وكان ذا معرفة بأحكام القرآن والأحاديث النبوية.
كان العلماء والفقهاء، والملوك والأمراء، يزورونه في زاويته، ويتبركون بهمته، ويتيمنَّون ببركته. وله كل سنة دعوة يحتفل بها في أيام مولد رسول الله صلى الله عليه وسلم يحضره فيها صاحب الموصل، ويحضر الشعراء وينشدون مدح رسول الله صلى الله عليه وسلم في المحفل.
وكان نور الدين من أخص محبيه يستشيرونه في حضوره، ويكاتبه في مصالح أموره.) انتهى
وكذا ذكره وكذا ابنُ كثير في حوادث نفس السنة من تاريخه
والشيخ الصالح عمر الملا الموصلى قال فيه الذهبي
وقد كتب الشيخ الزاهد عمر الملاّ الموصلي كتاباً إلى ابن الصابوني هذا يطلب منه الدعاء.
تاريخ الإسلام للذهبي الجزء الحادي والأربعون الصفحة 130

 وكان ذلك تحت إمرة الملك العادل السُّنِّيِّ نور الدين محمود زنْكِي الذي أجمع المؤرخون على ديانته وحسن سيرته، وهو الذي أباد الفاطميين بمصر واستأصلهم وقهر الدولة الرافضية بها وأظهر السنة وبني المدارس بحلب وحمص ودمشق وبعلبك وبنى المساجد والجوامع ودار الحديث، كما نصّ على ذلك الذهبي في سير أعلام النبلاء ج 20 ص 532- 535.

وقد ذكر ابن كثير في تاريخه عن السلطان نور الدين
(: أنّه كان يقوم في أحكامه بالمَعدلَةِ الحسنة وإتّباع الشرع المطهّر وأنّه أظهر ببلاده السنّة وأمات البدعة وأنّه كان كثير المطالعة للكتب الدينية متّبعًا للآثار النبوية صحيح الاعتقاد قمع المناكير وأهلها ورفع العلم والشرع.)
ابن كثير في تاريخه ج12 ص 278

وقال عنه ابن الأثير في تاريخه ج9 ص125:
 طالعت سِيَرَ الملوك المتقدمين فلم أر فيها بعد الخلفاء الراشدين وعمر بن عبد العزيز أحسن من سيرته, قال: وكان يعظم الشريعة ويقف عند أحكامها.)انتهى
فاي كلام بعد ذلك أخي المسلم انظر وتأمل
وذلك يعني أن أول من احتفل به من الملوك السُّنِّيينَ واحتفل به في مكة والمدينةة والموصل واربل وغيرها بعيداً عن الفاطميين فذلك مسلَّمٌ له وإن كان يعني بذلك أول من أحتفل به مطلقا أو من احتفل به من علماء المسلمين فقد ورد في فتاوي الأزهر ج8 ص 255: عن المفتي الشيخ عطية صقر: أنّه كان يُحتفَل به بمصر فيما قبل سنة 488 .
 وتقدم أيضا أنّ الشيخ عمر المَلاَّ كان يحتفل به بالموصل قبل وفاته في سنة 570,
وتقدم إحتفال أهل مكة قبل دخول ابن جبير
 وكُوكْبُرِي هذا إنما كان يحتفل به في مدينة إرْبَلْ بعد أن ولاَّه عليها صلاح الدين الأيوبي سنة 586 أي بعد وفاة الشيخ عمرا لمَلاَّ بستة عشر سنة.

3- الملك الصالح السني المظفر  أبو سعيد كوكبري والإحتفال بالمولد النبوي الشريف (549هـ- 630هـ)
قال ابن كثير في البداية والنهاية
الملك المظفر أبو سعيد كوكبري
(ابن زين الدين علي بن تبكتكين أحد الاجواد والسادات الكبراء والملوك الامجاد له آثار حسنة وقد عمر الجامع المظفري بسفح قاسيون وكان قدهم بسياقه الماء إليه من ماء بذيرة فمنعه المعظم من ذلك واعتل بأنه قد يمر على مقابر المسلمين بالسفوح وكان يعمل المولد الشريف في ربيع الاول ويحتفل به احتفالا هائلا وكان مع ذلك شهما شجاعا فاتكا بطلا عاقلا عالما عادلا رحمه الله وأكرم مثواه وقد صنف الشيخ أبو الخطاب ابن دحية له مجلدا في المولد النبوي سماه التنوير في مولد البشير النذير فأجازه على ذلك بألف دينار وقد طالت مدته في الملك في زمان الدولة الصلاحية وقد كان محاصر عكا وإلى هذه السنة محمود السيرة والسريرة قال السبط حكى بعض من حضر سماط المظفر في بعض الموالد كان يمد في ذلك السماط خمسة آلاف راس مشوى وعشرة آلاف دجاجة ومائة ألف زبدية وثلاثين ألف صحن حلوى .) انتهى
البداية والنهاية (13\136)
وقال في عدله وصلاحه وعلمه الإمام الذهبي
 (صَاحِبُ إِرْبِلَ، كُوْكْبُرِي بنُ عَلِيٍّ التُّرُكْمَانِيُّ السُّلْطَانُ الدَّيِّنُ، المَلِك المُعَظَّمُ، مُظَفَّر الدِّيْنِ، أَبُو سَعِيْدٍ كُوْكْبُرِي بن عَلِيِّ بن بكتكين بن مُحَمَّدٍ التُّرُكْمَانِيّ ... وَكَانَ مُحِبّاً لِلصَّدقَة، لَهُ كُلّ يَوْم قنَاطير خُبْز يُفرِّقهَا، وَيَكسو فِي العَامِ خلقاً وَيُعْطِيهُم دِيْنَاراً وَدِيْنَارَيْنِ، وَبَنَى أَرْبَع خَوَانك لِلزَّمْنَى وَالأَضرَّاء، وَكَانَ يَأْتيهِم كُلّ اثْنَيْنِ وَخَمِيْس، وَيَسْأَل كُلّ وَاحِد عَنْ حَالِه، وَيَتفقَّده، وَيُبَاسِطه، وَيَمزح مَعَهُ... وَكَانَ مُتَوَاضِعاً، خَيِّراً، سُنِّيّاً، يُحبّ الفُقَهَاء وَالمُحَدِّثِيْنَ، وَرُبَّمَا أَعْطَى الشُّعَرَاء، وَمَا نُقِلَ أَنَّهُ انْهَزَم فِي حرب).
سير أعلام النبلاء (22\336)
فانظر أخي مالك عادل صالح سني عالم ولم يذكر ما يذكره المعارض من مبتدع زنديق وغيرها فتأمل وتتبع أقوال الائمة وأترك أقوال الادعياء تسلم من الزلل.
بل المظفر أبو سعيد الكوكبري من قواد  جيوش صلاح الدين الايوبي في معركة حطين
 وزوج شقيقته ربيعة...
4- الإمام أبو الخطاب ابن دحية (544هـ- 633هـ)
 ألف للملك المظفر ابو سعيد الكوكبري  في المولد النبوي سماه التنوير في مولد البشير النذير فأجازه على ذلك بألف دينار.
البداية والنهاية (13\136)
سير أعلام النبلاء (22\336)
وفيات الأعيان | ج 1 | ص 437 و 381
ورسالة حسن المقصد للسيوطي | ص 75 و 77 و 80  السيرة الحلبية | ج 1 : ص 83 | 84
" وأبو الخطاب ابن دحية هو الذي قال الإمام الذهبي في ترجمته:
(الشَّيْخُ، العَلاَّمَةُ،  المُحَدِّثُ، الرَّحَّالُ المُتَفَنِّنُ ... رَوَى عَنْهُ: ابْنُ الدُّبَيْثِيِّ. فَقَالَ: كَانَ لَهُ مَعْرِفَةٌ حَسَنَةٌ بِالنَّحْوِ وَاللُّغَةِ، وَأَنَسَةٌ بِالحَدِيْثِ، فَقِيْهاً عَلَى مَذْهَبِ مَالِكٍ).
وقال ابن خَلِّكان في ترجمة الحافظ أبي الخطاب بن دِحية:
 (كان أبو الخطاب  المذكور من أعيان العلماء ومشاهير الفضلاء، متقناً لعلم الحديث النبوي وما
يتعلق به، عارفاً بالنحو واللغة وأيام العرب وأشعارها، واشتغل بطلب الحديث  في أكثر بلاد الأندلس الإسلامية، ولقي بها علماءها ومشايخها).
5- الإمام أبي شامة (599 ـ 665 هـ)
وهو شيخ الإمام الحافظ النووي
قال في كتابه (الباعث على إنكار البدع والحوادث_ص23) ما نصه:
 (( ومن احسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل كل عام في اليوم الموافق لمولده صلى  الله عليه وآله وسلم من الصدقات، والمعروف، وإظهار الزينة والسرور, فإن  ذلك مشعر بمحبته صلى الله عليه وآله وسلم وتعظيمه في قلب فاعل ذلك وشكرا لله تعالى على ما من به من إيجاد رسوله الذي أرسله رحمة للعالمين))
6- الإمام الحافظ ابن الجوزي  المتوفّى سنة 597
حيث قال في المولد الشريف:( إنه أمان في ذلك العام، وبشرى عاجلة بنيل البغية والمرام.)
 المواهب اللدنية | ج 1 ص 27 ، وتاريخ الخميس | ج 1 ص 223 و  روح البيان في تفسير القرءان ج 9 ص 2 و السيرة الحلبية لعلي بن برهان  الدين الحلبي (1/83 - 84)
وذكر أن له مولد ومختلف فيه بين صحة نسبه إليه أو لغيره ويهمنا قوله السابق والمولد المنسوب بأسم مولد باسم العروس، وقد طبع في مصر
 
 7- الإمام العلامة صدر الدين موهوب بن عمر الجزري الشافعي 559هـ-665.
قال: (هذه بدعة لا بأس بها، ولا تكره البدع إلا إذا راغمت السنة، وأما إذا
لم تراغمها فلا تكره، ويثاب الإنسان بحسب قصده)
صدر الدين موهوب
وهو العلامة موهوب بن عمر بن موهوب بن إبراهيم الجزري، الشافعي ( صدر الدين): من قضاة مصر. مولده بالجزيرة (بوطان) سنة (559هـ). قدم الشام وتفقه. وكان فقيها بارعا أصولياً أديباً. تفقه وبرع في المذاهب والأصول والنحو، ودرس وأفتى وتخرج به جماعة، وكان من الفضلاء الزمان. قدم الديار المصرية وولى بها القضاء دون القاهرة. وولي نيابة الحكم عن الشيخ عز الدين بن عبد السلام فلما عزل نفسه استقل بها.
شذرات الذهب: 5/320-321 ، مشاهير الكرد:2/210

8- من علماء المغرب الفقيهان العالمان الأميران أبو العباس ( مات سنة 633) وابنه أبو القاسم (مات سنة 677.) العزفيان السَّبْتِيان

 وهما من الأئمة كما قال صاحب المعيار ج11 ص379. فأما الأول فقد قال عنه ابن حجر في تبصير المنتبه ج1 ص253: كان زاهدًا إمامًا مفنّنًا مُفْتِيًّا ألَّفَ كتاب المولد وجوّده مات سنة 633.

وأمّا الثاني فقد قال عنه الزركلي في الأعلام ج5 ص223: كان فقيها فاضلا, له نظم أكمل الدر المنظم , في مولد النبي المعظّم من تأليف أبيه أبى العباس بن أحمد. مات سنة 677.
ومما جاء في كتابهم  في كتاب الدر المنظم والذي لم ير سبيله إلى النشر:
(
كان الحجاج الأتقياء والمسافرون البارزون يشهدون أنه في يوم المولد في مكة لا يتم بيع ولا شراء كما تنعدم النشاطات ما خلا وفادة الناس إلى هذا الموضع الشريف. وفي هذا اليوم أيضاً تفتح الكعبة وتزار.)
9-الحافظ محمد بن ابي بكر بن عبدالله القيسي الشافعي المعروف بالحافظ ابن
ناصر الدين الدمشقي المولود سنة (777هـ) والمتوفى سنة (842هـ)
قد صنف في المولد النبوي الشريف أجزاء عديدة ذكرها صاحب كشف الظنون ص (319)
ومنها جامع الآثار في مولد النبي المختار ومنها اللفظ الرائق في مولد خير  الخلائق.
قال عنه الحافظ ابن فهد في لحظ الألحاظ ذيل تذكرة الحفاظ: هو إمام مؤرخ له
الذهن الصافي السليم تولى مشيخة اهل دار الحديث بالأشرفية بدمشق)
وألف في ذلك ايضاً ( مورد الصادي في مولد الهادي )
ويقول في ذلك الحافظ شمس الدين محمد الدمشقي :
إذا كان هذا الكافـــــر جـــاء ذمه
بتبـت يداه في الجحيم مخلــدا
أتى أنه في يوم الاثنيـــن دائمــــاً
يخفف عنه للســرور بأحمــدا
فما الظن بالعبد الذي كان عمره
بأحمد مسرورا ومات موحدا
10- الحافظ ابن كثير (700 هـ- 774هـ)
الحافظ ابن كثير: وهو عماد الدين إسماعيل بن عمر بن كثير صاحب التفسير
صنف الإمام ابن كثير مولدا نبويا طبع أخيرا بتحقيق
الدكتور صلاح الدين المنجد.
11- الإمام محمد بن أبي إسحق بن عباد النفزي (733هـ- 805هـ)
، ففي كتاب "المعيار المعرب  والجامع المغرب عن فتاوي أهل إفريقية والأندلس والمغرب (11/278) ما نصه:
(وسئل الولي العارف بالطريقة والحقيقة أبو عبد الله بن عباد رحمه الله ونفع به  عما يقع في مولد النبي صلى الله عليه وسلم من وقود الشمع وغير ذلك لأجل  الفرح والسرور بمولده عليه السلام.
فأجاب: الذي يظهر أنه عيد من أعياد المسلمين، وموسمٌ من مواسمهم، وكل  ما يقتضيه الفرح والسرور بذلك المولد المبارك، من إيقاد الشمع وإمتاع  البصر، وتنزه السمع والنظر، والتزين بما حسن من الثياب، وركوب فاره  الدواب؛ أمر مباح لا ينكر قياساً على غيره من أوقات الفرح، والحكم بأن هذه الأشياء لا تسلم من بدعة في هذا الوقت الذي ظهر فيه سر الوجود، وارتفع فيه علم العهود، وتقشع بسببه ظلام الكفر والجحود، يُنْكَر على قائله، لأنه مَقْتٌ وجحود.
وادعاء أن هذا الزمان ليس من المواسم المشروعة لأهل الإيمان، ومقارنة ذلك بالنيروز والمهرجان، أمر مستثقل تشمئز منه النفوس السليمة، وترده الآراء المستقيمة).
12- شيخ الإسلام سراج الدين البلقيني (724 هـ - 805 هـ)
قال العلامة المقريزي في كتابه "المواعظ والاعتبار" ج3 ص167
فلما كانت أيام الظاهر برقوق عمل المولد النبويّ بهذا الحوض في أوّل ليلة جمعة من شهر ربيع الأول في كلّ عام فإذا كان وقت ذلك ضربت خيمة عظيمة بهذا الحوض وجلس السلطان وعن يمينه شيخ الإسلام سراج الدين عمر بن رسلان بن نصر البلقيني ويليه الشيخ المعتقد إبراهيم برهان الدين بن محمد بن بهادر بن أحمد بن رفاعة المغربيّ ويليه ولد شيخ الإسلام ومن دونه وعن يسار السلطان الشيخ أبو عبد الله محمد بن سلامة التوزريّ المغربيّ ويليه قضاة القضاة الأربعة وشيوخ العلم ويجلس الأمراء على بعد من السلطان فإذا فرغ القراء من قراءة القرآن الكريم قام المنشدون واحدًا بعد واحد وهم يزيدون على عشرين منشدًا فيدفع لكل واحد منهم صرّة فيها أربعمائة درهم فضة ومن كلّ أمير من أمراء الدولة شقة حرير فإذا انقضت صلاة المغرب مدّت أسمطة الأطعمة الفائقة فأكلت وحمل ما فيها ثم مدّت أسمطة الحلوى السكرية من الجواراشات والعقائد ونحوها فتُؤكل وتخطفها الفقهاء ثم يكون تكميل إنشاد المنشدين ووعظهم إلى نحو ثلث الليل فإذا فرغ المنشدون قام القضاة وانصرفوا وأقيم السماع بقية الليل واستمرّ ذلك مدّة أيامه ثم أيام ابنه الملك الناصر فرج‏.‏ )
وقريب منه في انباء الغمر الجزء 2 صفحة 562  للحافظ ابن حجر العسقلاني
( وعمل المولد السلطاني (المولد النبوي الشريف على العادة في اليوم الخامس عشر، فحضره البلقيني والتفهني وهما معزولان، وجلس القضاة المسفزون على اليمين وجلسنا على اليسار والمشايخ دونهم، واتفق أن السلطان كان صائما، فلما مد السماط جلس على العادة مع الناس إلى إن فرغوا، فلما دخل وقت المغرب صلوا ثم أحضرت سفرة لطيفة، فاكل هو ومن كان صائما من القضاة وغيرهم.)
13- علماء القرون السابع والثامن للمذاهب الاربعة والسلاطين والملوك في هذا الوقت
كان الخلفاء المسلمون يقيمون الاحتفال بالمولد النبوي، ومعهم قضاة المذاهب الأربعة، ومشاهير العلماء.
قال العلامة المقريزي في كتابه "المواعظ والاعتبار" ج3 ص167
فلما كانت أيام الظاهر برقوق عمل المولد النبويّ بهذا الحوض في أوّل ليلة جمعة من شهر ربيع الأول في كلّ عام فإذا كان وقت ذلك ضربت خيمة عظيمة بهذا الحوض وجلس السلطان وعن يمينه شيخ الإسلام سراج الدين عمر بن رسلان بن نصر البلقيني ويليه الشيخ المعتقد إبراهيم برهان الدين بن محمد بن بهادر بن أحمد بن رفاعة المغربيّ ويليه ولد شيخ الإسلام ومن دونه وعن يسار السلطان الشيخ أبو عبد الله محمد بن سلامة التوزريّ المغربيّ ويليه قضاة القضاة الأربعة وشيوخ العلم ويجلس الأمراء على بعد من السلطان فإذا فرغ القراء من قراءة القرآن الكريم قام المنشدون واحدًا بعد واحد وهم يزيدون على عشرين منشدًا فيدفع لكل واحد منهم صرّة فيها أربعمائة درهم فضة ومن كلّ أمير من أمراء الدولة شقة حرير فإذا انقضت صلاة المغرب مدّت أسمطة الأطعمة الفائقة فأكلت وحمل ما فيها ثم مدّت أسمطة الحلوى السكرية من الجواراشات والعقائد ونحوها فتُؤكل وتخطفها الفقهاء ثم يكون تكميل إنشاد المنشدين ووعظهم إلى نحو ثلث الليل فإذا فرغ المنشدون قام القضاة وانصرفوا وأقيم السماع بقية الليل واستمرّ ذلك مدّة أيامه ثم أيام ابنه الملك الناصر فرج‏.‏ )
وكذلك مثله ذكره جمال الدين أبو المحاسن يوسفي بن تَغْرِيْ بَرْدِيْ في (( النجوم الزاهرة في ملوك مصر والقاهرة)) جـ12ص 72-74
وفي السلوك
(وفي ليلة الجمعة سابعه: عمل المولد السلطاني على العادة، في كل سنة وحضر الأمراء وقضاة القضاة الأربع ومشايخ العلم وجمع كبير من القراء والمنشدين، فاستدعى قاضي القضاة ولي الدين أحمد بن العراقي ليحضر، فامتنع من الحضور، فتكرر استدعاؤه حتى جاء فأجلس عن يسار السلطان حيث كان قاضي القضاة زين الدين التفهني جالساً، وقام التفهني فجلس عن يمين السلطان، فيما يلي قاضي القضاة علم الدين صالح ابن البلقيني.)
14- الحافظ العراقي (وهو شيخ الحافظ ابن حجر العسقلاني) (725هـ- 808 هـ)
 له مولد باسم المورد الهني في المولد السني ذكره ضمن مؤلفاته
قال الحافظ العراقي رحمه الله تعالى : إن اتخاذ الوليمة وإطعام الطعام مستحب في كل وقت فكيف إذا انضم إلى ذلك الفرح والسرور بظهور نور النبي صلى الله عليه وآله وسلم في هذا الشهر الشريف ولا يلزم من كونه بدعة كونه مكروها فكم من بدعة مستحبة بل قد تكون واجبة)
شرح المواهب اللدنية للزرقاني.
15- شيخ الإسلام وإمام الشراح ومحدث الدنيا الحافظ ابن حجر العسقلاني:
قال (
أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن السلف الصالح من القرون الثلاثة، ولكنها مع ذلك اشتملت على محاسن وضدها، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كانت بدعة حسنة)) انتهى كلامه رحمه الله.
الفتاوى الكبرى (1/196). وحسن المقصد في عمل المولد للإمام السيوطي
16- الإمام العالم العلامة شيخ القراء و المحدثين قاضي القضاة شمس الدين محمد أبو الخير بن محمد بن محمد الجزرى (ت 833هـ)
له كتاب ( عرف التعريف بالمولد الشريف).
ونقل عنه الحافظ القسطلاني
قال القسطلاني : « قال ابن الجزري : فإذا كان هذا أبولهب الكافر الذي زل القرآن بذمه ، جوزي في النار بفرحه ليلة مولد النبي ( ص ) به ، فما حال المسلم الموحّد من أمته عليه السلام ، الذي يسر بمولده ، ويبذل ما تصل اليه قدرته في محبته ؟ لعمري ، إنما يكون جزاؤه من الله الكريم أن يدخله بفضله العميم جنات النعيم)
المواهب اللدنية  ج 1  ص 27 ، ورسالة حسن المقصد للسيوطي  المطبوعة مع النعمة الكبرى على العالم ص 90 ـ 91 ، وتاريخ الخميس  ج 1  ص 222
17- الإمام الحجة الحافظ السيوطي:
 عقد الإمام الحافظ السيوطي في كتابه (( الحاوي للفتاوى))بابا أسماه (حسن المقصد في عمل المولد) ص189
18- في عهد الظاهر سيف الدين جقمق وقايت باي وبحضور الائمة والعلماء والقضاة من المذاهب الاربعة وإحتفال الناس
قال السخاوي
( وفي هذا الشهر ( ربيع الأول 845 ه في عهد السلطان جقمق)
كان المولد السلطاني ( المولد النبوي الشريف) على العادة..
ثم قال ولا زال أهل الإسلام يحتفلون بيوم مولده صلى الله عليه وسلم ويعملون الولائم لذلك ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات ويظهرون السرور ويزيدون في المبرات  ويعتنون بقراءة مولده الكريم ويظهر عليهم من بركاته فضل عميم....
قال ابن الجوزي ومما جرب من خواضه :أمان في ذلك العام وبرشى عاجلة بنيل البغية والمرام
.
ثم قال السخاوي ( ولم يكن في ذلك إلا إرغام الشيطان  وسرور أهل الإيمان لكفى )
 السيرة الحلبيةج 1 ص 83 ـ 84 وراجع تاريخ الخميس  ج 1 ص 223
 
وقال ابن حجر (وفي ليلة الإثنين حادي عشره كان المولد النبوي بالحوش على العادة وتغيظ السلطان فيه على القاضي الحنفي بسبب تأخيره
انباء الغمر الجزء 1 صفحة 708 – حوادث سنة 849هــ
وذكر عند ابن اياس إعتياد سلاطين المماليك الاحتفال به بين الاول والثاني عشر من شهر ربيع الاول وذلك في خيمة تضرب في حوش قلعة القاهرة بحضور الفقهاء والقضاة الاربعة والشعراء ويقدم لكل من الواعظين كمية من الدراهم ثم تمد أسمطة الحلوى. ومما حدث في مولد سنة 885هـ/ 1480م حضور كاتب السر ومعه ستة طواشية يحملون ستة أطباق فيها ستون ألف دينار ذهب عين تبرع بها السلطان لشراء أماكن توقف لإطعام فقراء المدينة المنورة، وكانت الخيمة من قماش بلغ مصروفها ثلاثة وثلاثين ألف دينار من أيام السلطان قايتباي.
راجع في ذلك ابن اياس ( بدائع الزهور في وقائع الدهور )

19- الإمام الحافظ السخاوي.(ولد 831 هـ)
له مولد باسم الفخر العلوي في المولد النبوي
قال رحمه الله في فتاويه: (عمل المولد الشريف لم ينقل عن أحد من السلف الصالح في القرون الثلاثة الفاضلة، وإنما حدث بعد، ثم لا زال أهل الإسلام في سائر الأقطار والمدن الكبار يحتفلون في شهر مولده صلى الله عليه وسلم بعمل الولائم البديعة، المشتملة على الأمور البهجة الرفيعة، ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات، ويظهرون السرور ويزيدون في المبرات، ويعتنون بقراءة مولده الكريم، ويظهر عليهم من بركاته كل فضل عميم).
‏"المورد الروي في المولد النبوي" لملا علي قارى (ص12) و السيرة الحلبيةج 1 ص 83 ـ 84 وراجع تاريخ الخميس  ج 1 ص 223
وقال في ترجمة أحد تلاميذه: (سمع مني تأليفي في المولد النبوي بمحله وفي السنة قبلها تأليف العراقي فيه أيضاً).
وقال صاحب كشف الظنون : للحافظ السخاوي جزء في المولد الشريف.
وذكرنا بعض أقواله في التراجم
 
20-العلاَّمة الشّيخ محمد بن عمر بحرق الحضرمي الشافعي (ت:930 هـ)
قال في كتابه (حدائق الأنوار ومطالع الأسرار في سيرة النبي المختار) طبعة دار المنهاج ص(53-58): (فحقيقٌ بيومٍ كانَ فيه وجودُ المصطفى صلى الله عليه وسلم أَنْ يُتَّخذَ عيدًا، وخَليقٌ بوقتٍ أَسفرتْ فيه غُرَّتُهُ أن يُعقَد طالِعًا سعيدًا، فاتَّقوا اللهَ عبادَ الله، واحذروا عواقبَ الذُّنوب، وتقرَّبوا إلى الله تعالى بتعظيمِ شأن هذا النَّبيِّ المحبوب، واعرِفوا حُرمتَهُ عندَ علاّم الغيوب، "ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ
تَقْوَى الْقُلُوبِ").
21- العلامة الحافظ ابن حجر الهيتمى (ت 975)
وهو . شهاب الدين مفتي الحجاز أبو الفضل أحمد بن محمد بدر الدين بن حجر السعدي الهيتمي
له كتاب « النعمة الكبرى على العالم ، في مولد سيد ولد آدم »
وقد قال ابن حجر الهيثمي رحمه الله تعالى: والحاصل أن البدعة الحسنة متفق
على ندبها وعمل المولد واجتماع الناس له كذلك أي بدعة حسنة.)
وكذلك في فى كتابه "الفتاوى الحديثية"صـ 202

22- الأمام الشهاب أحمد القسطلاني (شارح البخاري):
حيث قال في كتابه: (المواهب اللدنية- 1-148-طبعة المكتب الإسلامي)
ما نصه: « ... ولازال أهل الاسلام يحتفلون بشهر مولده عليه السلام ، ويعملون الولائم ، ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات ، ويظهرون السرر ويزيدون في المبرّات ويعتنون بقراءة مولده الكريم ، ويظهر عليهم من بركاته كلّ فضل عميم » .
ثم قال
((فرحم الله امرءا اتخذ ليالي شهر مولده المبارك أعيادا، ليكون أشد علة على
من في قلبه مرض وإعياء داء)) أه.

23-الإمام خاتمة المحدثين "الزرقانى"
فى شرحه على "المواهب اللدنية" سبق سرد بعض النقول من كتبه
24-الإمام الحافظ وجيه الدين بن علي بن الديبع الشيباني الزبيدي (866هـ 944هـ)
له مولد مشهور مولد ابن الديبع الشيباني طبع وعلق عليه محدث الحرمين الحجاز محمد بن علوي المالكي
25- الحافظ ملا علي القاري بن سلطان بن محمد الهروي: المتوفى سنة (1014هـ)
 صاحب شرح المشكاة ترجم له الشوكاني في (البدر الطالع) وقال: أحد مشاهير الأعلام ومشاهير أولي الحفظ والإفهام وقد صنف في مولد الرسول{ صلى الله عليه وآله وسلم }كتابا قال صاحب اكشف الظنون اسمه (المورد الروي في المولد النبوي).
26- الامام ابن عابدين «صاحب القول المعتمد في المذهب الحنفي»
قال واصفا المولد بأنه «من اعظم القربات»
قال ابن عابدين في شرحه على مولد ابن حجر : اعلم أن من البدع المحمودة عمل المولد الشريف من الشهر الذي ولد فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم .)
وقال (فالاجتماع لسماع قصة صاحب المعجزات عليه أفضل الصلوات وأكمل التحيات أعظم القربات لما يشتمل عليه من المعجزات وكثرة الصلوات)
 27- ابن القيم في كتابه مدارج السالكين:
 « والاستماع إلى صوت حسن في احتفالات المولد النبوي أو أية مناسبة دينية أخرى في تاريخنا لهو مما يدخل الطمأنينة إلى القلوب ويعطي السامع نوراً من النبي - صلى الله عليه وسلم - إلى قلبه ويسقيه مزيداً من العين المحمدية »
مدارج السالكين ص 498

28- الإمام الحافظ "عبد الرؤوف المناوى"
له مؤلف في المولد مشهور مطبوع متداول "بمولد المناوى" "انظر كتاب البراهين الجلية"صـ36
  29- الامام محمد عليش المالكي
قال«ويكره صوم يوم مولد رسول الله صلى الله عليه وسلم الحاقا له بالعيد في الجملة» منح الجليل شرح مختصر خليل باب الصيام 123\2
ومن مصنفاته: القول المنجي على مولد البرزنجي.
30- وقال ابن بطوطة  (703 - 779هـ)  في احتفال سدنة الكعبة وفتح باب الكعبة في يوم المولد
النبوي الشريف  (الجزء الأول ص. 309 - 347)
ذكر مدينة مكة المعظمة
ويفتح في يوم مولد النبي صلى الله عليه وسلم ورسمهم في فتحة أنم يضعوا كرسيا شبه المنبر، له درج وقوائم خشب، لها أربع بكرات يجري الكرسي عليها، ويلصقونه إلى جدار الكعبة الشريفة، فيكون درجه الأعلى متصلا بالعتبة الكريمة، ثم يصعد كبير الشيبين وبيده المفتاح الكريم ومعه السدنة، فيمسكون الستر المسبل على باب الكعبة المسمى بالبرقع، بخلال ما يفتح رئيسهم الباب، فإذا فتحه قبل العتبة الشريفة، ودخل البيت وحده، وسد الباب، وأقام قدر ما يركع ركعتين، ثم يدخل سائر الشيبين، ويسدون الباب أيضا، ويركعون، ثم يفتح الباب، ويبادر الناس بالدخول ,
انتهى
31- ويروي ابن بطوطة (703 - 779هـ) في رحلته  (الجزء الأول ص. 309 - 347) :
 أنه بعد كل صلاة جمعة وفي يوم مولد النبي صلى الله عليه وسلم يفتح باب الكعبة بواسطة كبير بني شيبة، وهم حجّاب الكعبة، وأنه في يوم المولد يوزع القاضي الشافعي وهو قاضي مكة الأكبر نجم الدين محمد ابن الإمام محيي الدين الطبري الطعام على الأشراف وسائر الناس في مكة.

32- رحلة ابن بطوطة (703 - 779هـ) قال في ذكر سلطان تونس
(
قال ابن جزي: اخترع مولانا أيده الله في الكرم والصدقات أموراً لم تخطر في الأوهام، ولا اهتدت إلأيها السلاطين. فمنها إجراء الصدقات على المساكين بكل بلد من بلاده علىالدوام. ومنها تعيين الصدقة الوافرة للمسجونين في جميع البلاد أيضاً، ومنها كون تلك الصدقات خبزاً مخبوزاً متيسراً للانتفاع به، ومنها كسوة المساكين والضعفاء والعجائز والمشايخ والملازمين للمساجد بجميع بلاده، ومنها تعيين الضحايا لهؤلاء الأصناف في عيد الأضحى، ومنها التصدق بما يجتمع في مجابي أبواب بلاده يوم سبعة وعشرين من رمضان إكراماً لذلك اليوم الكريم وقياماً بحقه، ومنها إطعام الناس في جميع البلاد ليلة المولد الكريم، واجتماعهم لإقامة رسمه)

33-وقال صلاح الدين الصفدي في اعيان العصر واعوان العصر
في ترجمة
عبد الله بن الصنيعة المصري
الصاحب شمس الدين غبريال
(وكان يسمع البخاري في ليالي رمضان، وليلة ختمه يحتفل بذلك، ويعمل في كل سنة مولد النبي صلى الله عليه وسلم، ويحضره الأكابر والأمراء والقضاة والعلماء ووجوه الكتاب، ويظهر تجملاً زائداً ويخلع على الذي يقرأ المولد، ويعمل بعد ذلك سماعاً للأمراء المحتشمين.)
34- وفي الاحاطة بأخبار غرناطة لـ لسان الدين ابن الخطيب
التلمساني
إبراهيم بن أبي بكر الأصاري إبراهيم بن أبي بكر بن عبد الله بن موسى الأنصاري تلمساني وقرشي الأصل، نزل بسبتة، يكنى أبا إسحاق ويعرف
بالتلمساني.
تواليفه من ذلك الأرجوزة الشهيرة في الفرائض، لم يصنف في فنها أحسن منها. ومنظوماته في السير، وأمداح النبي، صلى الله عليه وسلم، من ذلك المعشرات على أوزان العرب، وقصيدة في المولد الكريم، وله مقالة في علم العروض الدوبيتي.انتهى
35- وفي الكواكب السائرة بأعيان المائة العاشرة
محمد الجعيدي
محمد الرئيس، شمس الدين الجعيدي الدمشقي الشافعي المنشد الزاجل، رئيس دمشق في عمل المولد كان من محاسن دمشق التي انفردت بها، توفي في سنة خمس وستين وتسعمائة تقريباً.

36- وفي الكواكب السائرة
بديع بن الضياء
بديع بن الضياء، قاضي مكة المشرفة وشيخ الحرم الشريف بها قال ابن  طولون: كان من أهل الفضل والرئاسة، قدم دمشق، ثم سافر إلى مصر فبلغه تولية قضاء مكة للشيخ زين الدين عبد اللطيف ابن أبي كثير، وأنه أخرج عنه قضاء جدة، فرجع إلى دمشق وأقام بها مدة، ثم سافر إلى الروم، فخرج من دمشق يوم السبت منتصف ربيع الأول سنة إحدى وأربعين وتسعمائة، بعد
أن حضر ليلة الجمعة التي قبل التاريخ المذكورة عند الشيخ علي الكيزواني، تجاه مسجد العفيف بالصالحية، وسمع المولد وشرب هو والشيخ علي وجماعته القهوة المتخذة من البن.) انتهى
37-وقال ابن الحاج رحمه الله تعالى:
( فكان يجب أن نزداد يوم الاثنين الثاني عشر في
ربيع الأول من العبادات والخير شكرا للمولى على ما أولانا من هذه النعم
العظيمة وأعظمها ميلاد المصطفى صلى الله عليه وآله وسلم(1)[22])
المدخل (1/361)
وقال ابن الحاج رحمه الله تعالى: ومن تعظيمه صلى الله عليه وآله وسلم
الفرح بليلة ولادته وقراءة المولد).
الدرر السنية ص (190).
وابن الحاج المالكي لم يذم أصل المولد ، بل ذم المولد الذي اشتمل على
المحرمات والمنكرات ، وقد بين السيوطي ذلك فقال :
 [[ وقد تكلم الإمام أبوعبدالله بن الحاج في كتابه ( المدخل ) على عمل المولد ، فأتقن الكلام فيه
جدا ، و حاصله مدح ما كان فيه من إظهار شعار وشكر ، وذم ما احتوى عليه من محرمات ومنكرات ..
ثم قال الإمام السيوطي
وأما قوله آخراً: إنه بدعة، فإما أن يكون مناقضاً لما تقدم أو يحمل على أنه بدعة حسنة كما تقدم تقريره في صدر الكتاب، أو يحمل على أن فعل ذلك خير والبدعة منه نية المولد، كما أشار إليه بقوله: فهو بدعة بنفس نيته فقط، وبقوله: ولم ينقل عن أحد منهم أنه نوى المولد.
فظاهر هذا الكلام أنه كره أن ينوي به المولد فقط، ولم يكره عمل الطعام ودعاء الإخوان إليه، وهذا إذا حقق النظر لا يجتمع مع أول كلامه، لأنه حث فيه على زيادة فعل البر وما ذكر معه على وجه الشكر لله تعالى إذا أوجد في هذا الشهر الشريف سيد المرسلين صلى الله عليه وسلم، وهذا هو معنى نية المولد فكيف يذم هذا القدر مع الحث عليه أولاً.
وأما مجرد فعل البر وما ذكر معه من غير نية أصلاً فإنه لا يكاد يتصور، ولو تصور لم يكن عبادة، ولا ثواب فيه إذ لا عمل إلا بنية، ولا نية هنا إلا الشكر لله تعالى على ولادة هذا النبي الكريم في هذا الشهر الشريف، وهذا معنى نية المولد فهي نية مستحسنة بلا شك فتأمل.
انتهى
 
38- وفي فتاوى ابن تيمية الجزء 23 ص. 134:
 «فتعظيم المولد واتخاذه موسماً قد يفعله بعض الناس ويكون لهم فيه أجر عظيم لحسن قصدهم وتعظيمهم لرسول الله - صلى الله عليه وسلم - »
39-الإمام الخطيب الشربيني: توفي 1014 هـ
 له مولد باسم المولد الروي في المولد النبوي.

40- الإمام الباجوري
تحفة البشر على مولد ابن حجر - للشيخ إبراهيم ابن محمد الباجورى الشافعي المصرى المتوفى سنة 1276 ست وسبعين ومائتين وألف.
وكذلك حاشية على مولد الشيخ احمد الدردير المطبعة الخيرية 1304هـ .
41- وما جاء في"تاريخ البصروي" من عمل المولد وإجتماع الفقهاء والعلماء
(
ما حدث حول الاحتفال بالمولد النبوي في القاهرة خلال ربيع الأول 902هـ/تشرين الثاني 1496م فقد ذكر البصروي أن السلطان قد احتفل بالمولد النبوي في 8 ربيع الأول، ثم"عمل في الثاني عشر مرة أخرى، ولم يحضر من جرت العادة بحضوره إلا الفقهاء والقضاة".

42- الحافظ الشريف الكتاني
له كتاب  اليمن والإسعاد بمولد خير العباد
 
43-وفي معجم المطبوعات
ص 136 العفيفى " مصطفى " (الشيخ) مصطفى بن محمد العفيفي الشافعي (من أبناء أوائل القرن الثالث عشر للهجرة) فتح اللطيف شرح نظم المولد الشريف - وهو شرح على مولد البرزنجي - بولاق 1293

44-وفي معجم المطبوعات
(الشيخ) محمد الهجرسي المنظر البهي في مطلع مولد النبي - وما يتبعه
من أعمال المولد وحكم القيام عن ذكر مولده - مط العلمية 1321 ص 20

45-وفي معجم المطبوعات
ابن زيان العبد الوادي هو السلطان أبوحم موسى بن يوسف بن زيان العبد الوادي أحد ملوك بني زيان بمدينة تلمسان ملك سنة 753 إلى
788 ه كان يقرض الشعر ويحب أهله: وكان يحتفل ليلة المولد غاية الاحتفال بما هو فوق مواسم العام.

46-وجاء في التحفة اللطيفة في تاريخ المدينة الشريفة
إبراهيم - برهان الدين - بن جماعة الحموي: عم القاضي عز الدين بن جماعة، قال ابن صالح: جاور بالمدينة، وخطب بها جمعة واحدة آخر مرة عرضت للخطيب، وقد صحبته فيها وتحاببنا، وأخذت عنه بعض الفوائد، وكان من محافيظه: المفضل للزمخشري، وقال لي: إنه ارتحل إلى القاهرة، وعرضه على عمه البدر بن جماعة، وأخذت عنه من نظم عمه المذكور قوله:
لم أطلب العلم للدنيا التي اتفقت ... من المناصب، أو للجاه والمال
لكن سابقة الإسلام فيه، كما ... كانوا، فقدر ما قد كان من مال
وخطب ببيت المقدس نيابة عن ابن عمه، ومات بالقدس، أظنه سنة أربع وستين وسبعمائة، ودفن هناك، وكان يعمل طعاماً في المولد النبوي ويطعم الناس، ويقول: لو تمكنت عملت بطول الشهر كل يوم مولد، انتهى.

47- الحبيشي: أبو بكر بن محمد بن أبي بكر الحبيشي الأصل الحلبي المنشأ والوفاة تقي الدين الشافعي بسطامي الطريقة توفي سنة 930
له الكواكب الدرية في مولد خير البرية.

48- البرزنجي:
 لسيد جعفر بن إسماعيل بن زين العابدين ابن محمد البرزنجي الحسيني مفتي الشافعية بالمدينة المنورة توفي بها سنة 1317 سبع عشرة وثلاثمائة وألف. من تصانيفه الكوكب الأنور على عقد الجوهر في مولد النبي الأزهر صلى الله عليه وسلم وهو مشهور بمولد البرزنجي

49-وورد في (المنتقى المقصور في مآثر خلافة المنصور) لابن القاضي
 أن المنصور كان يستدعي الناس أيام المولد النبوي على ترتيبهم فيقرأ بعض القراء شيئا من كلام الوالي الصالح محمد بن عباد ثم تقرأ الميلاديات ... ويتم إنشاد مقطعات الشعر (الباب الرابع)

50-وجاء في الاستقصا عن المولد في المغرب
قد بدأ الاحتفال بعيد المولد عام 671هـ / 1272 م بأمر السلطان يوسف بن يعقوب بن عبد الحق المريني وصار عيدا من الأعياد في جميع المغرب وقد تم ذلك في (صبرة) بناحية (الملوية). وقد سبقه إلى ذلك بنو العزفي أصحاب سبتة
(الاستقصا ج 2 ص 43).


51- وقد ذكر الحسن الوزان
 أنه في العصر المريني كان شعراء فاس يجتمعون كل عام بمناسبة المولد النبوي وينظمون القصائد وكانوا يجتمعون كل صباح في ساحة القناصل يصعدون منصة ويلقون قصائدهم الواحد تلو الآخر أمام الجماهير ويختار أحسن الشعراء نظما وترتيلا أميرا للشعراء في تلك السنة وكان ملوك بني مرين يقيمون مأدبة للشعراء في مدح الرسول يحضره السلطان وتقام منصة ويحكم الحاضرون على أحسن شاعر خلعة (مائة دينار وفرس وأمة مع خمسين دينارا للباقين) ولكن منذ مائة وثلاثين سنة تقريبا توقفت هذه العادة.
Leon L’Africain Sohefer T. 2 P. 131


52- وجاء في البيان لابن عذاري
 وكان الناس يمشون في الأزقة بالمديح بمناسبة المولد النبوي في سبتة في عهد المرينيين .
-(البيان لابن عذاري ج 4 ص 486).

53- المولد النبوي في العهد العلوي
وكان المولد يقام بالمنازل كل سنة كما ورد في ترجمة الفاضل بن عبد المجيد السرغيني الذي كان يقيمه كل سنة بداره ويحضره العامة.
-(الأعلام للمراكشي ج 8 ص 21 (خ)

فبالله عليك أخي المسلم.. هل كل هذا الكم من علماء الأمة وفضلائها والذين يقولون بعمل المولد، وألفوا الكتب والمؤلفات في هذا الباب زنادقة  أحفاد عبد الله بن سبأ اليهودي؟
 وهل هؤلاء العلماء والذين ((يدين)) لهم العالم بأجمعه على ما صنفوه من الكتب النافعة في الحديث والفقه والشروحات
وغيرها من العلوم هم من الفجار مرتكبي الفواحش والموبقات؟
 وهل هم، كما يزعم المعارض، يشابهون النصارى في احتفالهم بميلاد عيسى عليه السلام؟ وهل هم يقولون بأن المصطفى صلى الله عليه وسلم ليبلغ ما ينبغي للأمة أن
تعمل به؟؟!
كل هذا الإجماع والاحتفال من السلاطين والملوك وبحضور الائمة والعلماء والأمة والقضاة من المذاهب الاربعة وإحتفال المسلمين في جميع الأمصار في المشرق والمغرب على مر العصور ماذا نقول فيه؟؟
إننا نترك لك، أخي المسلم، الإجابة على هذه الأسئلة!!

ونزيد ايضاً من بعض التراجم والأخبار من الإجماع وإحتفال الأمة الإسلامية مع سرد أقوال  بعض المعاصرين

 54- أحمد بن عبد الواحد بن المواز (1341هـ / 1922م)
له حجة المنذرين على تنطع المنكرين) رد بها على من نهى عن القيام لولادة الرسول عليه السلام
-(طبع بفاس عام 1338م)

55- (- مورد الظمآن لشرح مولد سيد ولد عدنان)
 وهو شرح على مديح أحمد الدردير لتلميذه ابن قدور المغربي محمد اليزمي الإسكندري المكنى الأبيض. (وعادة أهل الإسكندرية قراءة هذه التآليف ليلة المولد).

56-(كمال الفرح والسرور بمولد مظهر النور)
 لأحمد سكيرج (طبع على الحجر بفاس في 24 ص وله أيضا (ضوء الظلام في مدح الأنام) طبع على الحجر بفاس مرتين (12 ص و 16 ص).

57- (إسعاف الراغبين بمولد سيد المرسلين)
 لعبد الصمد بن التهامي بن المدني جلون نزيل طنجة. (1352هـ /1933م). (ثلاثة كراريس)

58- (نظم) في المولد لعبد القادر بن محمد بن عبد القادر بن سودة
(ط. على الحجر وعلى الحروف بفاس).

59- (ربيع القلوب في مولد النبي المحبوب)
 للعربي بن عبد الله التهامي الوزاني الحسلي الرباطي 1339هـ / 1920م. -طبع على الحجر بالرباط ص 44


60-لمحمد بن محمد الحجوجي (1370هـ / 1950م)
 له (بلوغ القصد والمرام بقراءة مولد خير الأنام)

61- (قصيدة رائعة في المولد النبوي).
 لمحمد بن أحمد الصنهاجي وزير القلم في العهد الحسني
راجع نصها في الأعلام للمراكشي ج 7 ص 63 (ط – الرباط)

62- الأحدب الطرابلسي:
 إبراهيم بن السيد علي الطرابلسي الحنفي نزيل بيروت توفي برجب سنة 1308 ثمان وثلاثمائة وألف. منظومة في مولد النبي صلى الله عليه وسلم.


63- الإمام المرزوقي:
السيد أحمد بن محمد بن رمضان أبو الفوز المدرس في الحرم المكي له بلوغ المرام لبيان ألفاظ مولد سيد الأنام في شرح مولد أحمد البخاري فرغ منها سنة 1281.

64- الإمام النحراوي:
 عبد الرحمن بن محمد النحراوي المصري الشهير بالمقري المتوفى سنة 1210 عشر ومائتين وألف. له حاشية على مولد النبي للمدابغي.

65-النبتيني:
علي بن عبد القادر النبتيني ثم المصري الحنفي الموقت بجامع الأزهر بالقاهرة المتوفى سنة 1061 إحدى وستين وألف من تصانيفه: شرح على مولد النجم الغيطي.

66- الشيخ الجزائري:
 محمد بن عبد الله بن محمد بن محمد بن أحمد ابن أبي بكر العطار الجزائري المتوفى سنة 707 سبع وسبعمائة له المورد العذب المعين في مولد سيد الخلق أجمعين.
 نظم الدرر في مدح سيد البشر صلى الله عليه وسلم.


67- محمد نوير بن عمر بن عربي بن علي النووي أبو عبد المعطي الجاوي الفقيه
 نزيل مصر ثم انتقل إلى مكة المكرمة وتوفي بها سنة 1315 خمس عشرة وثلاثمائة وألف من تصانيفه الإبريز الداني في مولد سيدنا محمد صلى الله عليع وسلم. بغية العوام في شرح مولد سيد الأنام عليه الصلاة والسلام لابن الجوزي.

68- محمد فوزي بن عبد الله الرومي الشهير بمفتي أدرنة
 من قضاة عسكر روم أيلي توفي سنة 1318 ثمان عشرة وثلاثمائة وألف. له من التأليف إثبات المحسنات في تلاوة مولد سيد السادات.

69- السيد محمود بن عبد المحسن الحسيني القادري  الشافعي مدني الأصل الدمشقي المعروف بابن الموقع مدرس البادرانية بالشام ولد سنة 1253 وتوفي سنة 1321 إحدى وعشرين وثلاثمائة وألف له من الكتب: حصول الفرج وحلول الفرح في مولد من أنزل عليه ألم نشرح.

70-سلامي الأزميري:
 مصطفى بن إسماعيل شرحي الأزميري المتخلص بسلامي نزيل قسطنطينية المتوفى بها سنة 1228 ثمان وعشرين ومائتين وألف. له منظومة في مولد النبي صلى الله عليه وسلم.

71-  محمد بن محمد المنصوري الشافعي الشهير بالخياط
له اقتناص الشوارد من موارد الموارد - في شرح مولد الهيتمى تأليف فرغ منها سنة 1166 ست وستين ومائة وألف.

72- يوسف بن إسماعيل النبهاني صاحب التصانيف الشهيرة المولود سنة 1266
 له النظم البديع في مولد الشفيع.


73- جعفر بن اسماعيل بن زين العابدين بن محمد الهادي بن زين بن السيد جعفر
 مؤلف مولد النبي صلى الله عليه وسلم، له من التصانيف: الكوكب الأنور على عقد الجوهر في مولد النبي الأزهر وهو شرح على مولد النبي للسيد جعفر بن حسن البرزنجي بهامشه القبول المنجي وهو حاشية الشيخ عليش على مولد البرزنجي مطبعة الميمنية 1310هـ .

74- الشيخ رضوان العدل بيبرس من أبناء القرن الرابع عشر للهجرة
له خلاصة الكلام في مولد المصطفى عليه الصلاة والسلام طبع مطبعة بولاق 1313هـ يقع في 64 صفحة.

75- أبي الحسن : أحمد بن عبد الله البكري
له الأنوار ومفتاح السرور والأفكار في مولد النبي المختار  وهو : كتاب جامع مفيد في مجلد أوله : ( الحمد لله الذي خلق روح حبيبه . . . الخ ) جمعها : لتقرأ في شهر ربيع الأول وجعلها : سبعة أجزاء

76- العلامة الفقيه السمهودي الحسني
مؤرخ المدينة المنورة له (الموارد الهنية في مولد خير البرية)
77- العلامة أبو الوفاء الحسني
 له (مولد البشير النذير السراج المنير) طبع عام 1307
 
78- الإمام الشهيد/ حسن البنا
قاله في راسالة( فليلاحظ المسلمون هذا وليجعلوا احتفالهم بذكرى مولد النبي- صلى الله عليه وسلم- كلَّ عام تفهُّمًا لسيرته، وتعلُّمًا لأخلاقه، وتعرُّفًا لسنته- صلى الله عليه وسلم- وتواصيًا فيما بينهم بالحق والصبر؛ اقتداءً به- صلى الله عليه وسلم- وبأصحابه.. ﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الآَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا﴾ (الأحزاب: 21). )

79- الشيخ محمد الحسن بن أحمد الخديم.
له العذب الشهي المورد في تعظيم شهر المولد
ضمن الفوائد الكفيلة بمعرفة الوسيلة ط 3 سنة 2007.

80-  العلامة بخيت المطيعي ( مفتي مصر ) في ( أحسن الكلام فيما يتعلق بالسنة والبدعة من الأحكام )
فيقول رحمه الله ( ص 30 ) :
[[ وقد وردت أحاديث كثيرة في فضل الصلاة والسلام عليه صلى الله عليه وسلم ، ومن هذا القبيل أيضا الاجتماع للقراءة ، واستماع نحو قصة المعراج ، وفضائل ليلة النصف من شعبان ،وليلة القدر ، وقراءة قصة المولد في لياليها المشهورة ....وقصة المولد هي عبارة عن بيان تاريخ ولادته ، وما حصل له في ذلك الوقت من العجائب ، وخوارق العادات ، وإظهار الفرح والسرور بظهور سيد الكائنات ، مما يدل على كمال المحبة لجنابه الأعظم ]] .

وقال أيضا بعد أن ذكر كلام الحافظ ابن حجر في جواز عمل المولد مقرا له
 ( ص 67 ) :
[[ وعلى كل حال فالشرط في كون فعل شيء من الطاعات بدعة حسنة ، أو فعل شيء من المباحات بدعة مباحة ، أن يقتصر على ما هو طاعة وما هو مباح فقط ، كما هو صريح قول ابن حجر (( فمن تحرى في عمله المحاسن وتجنب ضدها كانت بدعة حسنة ، ومن لا فلا )) ، وهذا هو الذي يقتضيه
الدليل أيضا ]] .

81- قال الشيخ الإمام عبدالحليم محمود ـ رحمه الله تعالى ـ كما في فتاواه ( 1 /
273 ) :
[[ أما عن الاحتفال بالمولد النبوي فهو سنة حسنة من السنن التي أشار إليها الرسول صلى الله عليه وسلم بقوله : (( من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها ، ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعليه وزرها ووزر
من عمل بها )) .وذلك لأن له أصولا ترشد إليه ، وأدلة صحيحة تسوق إليه ، استنبط العلماء
منها وجه مشروعيته ... ]] .

82- وقال الشيخ حسنين محمد مخلوف شيخ الأزهر رحمه الله تعالى :
( إن إحياء ليلة المولد الشريف وليالي هذا الشهر الكريم الذي أشرق فيه النور المحمدي إنما
يكون بذكر الله تعالى وشكره لما أنعم به على هذه الأمة من ظهور خير الخلق إلى عالم الوجود ولا يكون ذلك إلا في أدب وخشوع وبعد عن المحرمات والبدع والمنكرات ومن مظاهر الشكر على حبه مواساة المحتاجين بما يخفف ضائقتهم وصلة الأرحام والإحياء بهذه الطريقة وإن لم يكن مأثورا في عهده صلى الله عليه وآله وسلم ولا في عهد السلف الصالح إلا أنه لا بأس به وسنة حسنة)
فتاوى شرعية (1/131).

83-قال الإمام متولي الشعراوي في كتابه "مائدة الفكر الإسلامي" ص 295،
إذا كان بنو البشر فرحون بمجيئه لهذا العالم، وكذلك المخلوقات الجامدة فرحة لمولده وكل النباتات فرحة لمولده وكل الحيوانات فرحة لمولده وكل الجن فرحة لمولده، فلماذا تمنعونا من الفرح بمولده.)

84- قال الشيخ علي جمعة مفتي الجمهورية المصرية حفظه الله تعالى في رسالته ( البيان القويم : 25 ) :
[[ الاحتفال بذكرى مولده صلى الله عليه وسلم من أفضل الأعمال ، وأعظم القربات ، لأنه تعبير عن الفرح والحب له صلى الله عليه وسلم ، ومحبة النبي صلى الله عليه وسلم أصل من أصول الإيمان ... ]] ، ثم قال :
[[ وألف في استحباب الاحتفال بذكرى المولد النبوي الشريف جماعة من العلماء و الفقهاء ، بينوا بالأدلة الصحيحة استحباب هذا العمل ، بحيث لا يبقى لمن له عقل وفهم وفكر سليم إنكار ما سلكه سلفنا الصالح من الاحتفال بذكرى المولد النبوي الشريف ..انتهى
 
وغيرهم الكثير مما يصعب علينا جمعه وعرضه.
ونذكر

85- الشيخ العلاّمة عبد الرحمن بن أحمد الزيلعي الصومالي له مولد سمّاه ((ربيع العشاق في ذكر مولد صاحب البراق))
86- وألف الشيح أويس أحمد بن محمد البراوي القادري الصومالي كتابا سمّاه: ((مولد الشرفان في مدح سيد ولد عدنان))

87- الشيح أويس أحمد بن محمد البراوي القادري الصومالي كتابا سمّاه: ((مولد الشرفان في مدح سيد ولد عدنان))،

88- الشيخ محمد نووي بن عمر بن عربي بن علي الجاوي المتوفى سنة 1315 فقد ألف كتاب ((الإبريز الداني في مولد سيدنا محمد العدناني)) وله شرح على مولد ابن الجوزي سماه: ((بغية العوام في شرح مولد سيد الأنام)).

89- الشيخ عثمان حِدك الصومالي له اللآلي السنية في مشروعية مولد خير البرية
 90- محمد علي بن حسين المالكي وصنف الهدي التام في موارد المولد النبوي وما اعتيد فيه من القيام

91- السيد محمد ماضي ابو العزائم وصنف بشائر الاخيار في مولد المختار صلي الله عليه و سلم

92- حسن السندوبي وصنف تاريخ الاحتفال بالمولد النبوي

93- الشيخ محمود الزين وصنف البيان النبوي عن فضل الاحتفال بمولد النبي

94- عبد الله بن الشيخ ابو بكر بن سالم صنف خلاصة الكلام في الاحتفال بمولد خير الأنام

95- عبد الرحمن بن عبد المنعم الخياط صنف مولد النبي صلي الله عليه و سلم

96- خالد محمد القاضي وصنف مولد امة -اضواء علي خلق رسول الانسانيه

97- محمد عثمان الميرغني صنف : المولدالعثماني المسمى الأسرار الربانية

98- سيدي سلامه الراضي مظهرالكمالات فى مولد سيد الكائنات

99- محمد بن عبد الكبير الكتاني صنف : السانحات الأحمدية والنفثات الروعية في مولد خير البرية

100- الشيخ أحمد عز الدين البيانوني رحمه الله له رساله "التكريم الصادق بالاتباع الكامل"

101- مولد العزب، للعلامة الشيح محمد العزب

102- ولد المصطفى صلى الله عليه وسلم، للأستاذ الشيخ خير الدين وائلي

103- فرائد المواهب اللدنية في مولد خير البرية، للعلامة الشيخ مصطفى نجا.

104- الأسرار الربانية في مولد النبي صلى الله عليه وسلم للعلامة السيد محمد عثمان الميرغني

105- مولد إنسان الكمال، للعلامة سيدي السيد محمد بن السيد المختار الشنجيطي

106- المولد النبوي الشريف، للعلامة أحمد بن محمد فتحا العلمي الفاسي المراكشي

107-مجموع مبارك في المولد الشريف نثراً وشعراً، للعلامة عبد الرحمن بن علي الربيعي

108- إعلام جهال بحقيقة الحقائق بأسنة نصوص كلام سيد الخلائق ممزوجاً بالمولد النبوي في مدح أصل النبي المولوي، للعلامة الأحسن بن محمد بن أبي جماعة السوسي البيضاوي

109- فيض الأنوار في ذكرى مولد النبي المختار، للعلامة حسن محمد عبد الله شداد عمر باعمر.

110- البيان والتعريف في ذكرى المولد النبوي الشريف، للعلامة محمد بن علوي المالكي الحسني.

111- مجموع لطيف أنسي في صيغ المولد النبوي القدسي

112- والشيخ عيسى الحميري والشيخ عطية صقر رحمه الله  وغيرهم من المعاصرين

113- والوف من علماء لم نذكر اسمائهم مل الإمام النابلسي والتلمساني والشيخ الأكبر وغيرهم الكثير

114- والوف من الائمة والعلماء من اهل الصوفية وعلماء الازهر الشريف من مختلف المشارب والأصقاع

115- الدكتور القرضاوي والاحتفال بمولد النبي والمناسبات الإسلامية
موقع القرضاوي/ 23-2-2010
السؤال: ما حكم الاحتفال بذكرى مولد النبي صلى الله عليه وسلم وغيره من المناسبات الإسلامية مثل مقدم العام الهجري وذكرى الإسراء والمعراج؟

الفتوى:
بسم الله، والحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد ...
هناك من المسلمين من يعتبرون أي احتفاء أو أي اهتمام أو أي حديث بالذكريات الإسلامية، أو بالهجرة النبوية، أو بالإسراء والمعراج، أو بمولد الرسول صلى الله عليه وسلم، أو بغزوة بدر الكبرى، أو بفتح مكة، أو بأي حدث من أحداث سيرة محمد صلى الله عليه وسلم، أو أي حديث عن هذه الموضوعات يعتبرونه بدعة في الدين، وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار، وهذا ليس بصحيح على إطلاقه، إنما الذي ننكره في هذه الأشياء الاحتفالات التي تخالطها المنكرات، وتخالطها مخالفات شرعية وأشياء ما أنزل الله بها من سلطان، كما يحدث في بعض البلاد في المولد النبوي وفي الموالد التي يقيمونها للأولياء والصالحين، ولكن إذا انتهزنا هذه الفرصة للتذكير بسيرة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وبشخصية هذا النبي العظيم، وبرسالته العامة الخالدة التي جعلها الله رحمة للعالمين، فأي بدعة في هذا وأية ضلالة ؟!
إننا حينما نتحدث عن هذه الأحداث نذكر الناس بنعمة عظيمة، والتذكير بالنعم مشروع ومحمود ومطلوب، والله تعالى أمرنا بذلك في كتابه (يا أيها الذين آمنوا اذكروا نعمة الله عليكم إذ جاءتكم جنود فأرسلنا عليهم ريحاً وجنوداً لم تروها وكان الله بما تعملون بصيرًا، إذ جاءوكم من فوقكم ومن أسفل منكم وإذ زاغت الأبصار وبلغت القلوب الحناجر وتظنون بالله الظنونا)، يذكر بغزوة الخندق أو غزوة الأحزاب حينما غزت قريش وغطفان وأحابيشهما النبي عليه الصلاة والسلام والمسلمين في عقر دارهم، وأحاطوا بالمدينة إحاطة السوار بالمعصم، وأرادوا إبادة خضراء المسلمين واستئصال شأفتهم، وأنقذهم الله من هذه الورطة، وأرسل عليهم ريحاً وجنوداً لم يرها الناس من الملائكة ، يذكرهم الله بهذا، اذكروا لا تنسوا هذه الأشياء، معناها أنه يجب علينا أن نذكر هذه النعم ولا ننساها، وفي آية أخرى (يا أيها الذين آمنوا اذكروا نعمة الله عليكم إذ هم قوم أن يبسطوا إليكم أيديهم فكف أيدهم عنكم واتقوا الله وعلى الله فليتوكل المؤمنون) يذكرهم بما كان يهود بني قينقاع قد عزموا عليه أن يغتالوا رسول الله صلى الله عليه وسلم ومكروا مكرهم وكادوا كيدهم وكان مكر الله أقوى منهم وأسرع، (ويمكرون ويمكر الله والله خير الماكرين).
ذكر النعمة مطلوب إذن، نتذكر نعم الله في هذا، ونذكر المسلمين بهذه الأحداث وما فيها من عبر وما يستخلص منها من دروس، أيعاب هذا ؟ أيكون هذا بدعة وضلالة.) انتهى


فهل بعد ذلك نترك لكل من هب ودب أن يبدع يفسق جمهور المسلمين المحتفلين بمولد سيد المرسلين صلى الله عليه وسلم..
نترك الحكم لكل عاقل

http://www.sufia.org/igmaa.html

Cahaya Aqidah al-Haq dan Nasehat dari Imam asy-Syafi’i Rahimahullah

Cahaya Aqidah al-Haq dan Nasehat dari Imam asy-Syafi’i Rahimahullah
Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w. 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Dalam salah satu kitab karyanya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:
واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas hal ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan secara memberikan nasehat kepada kaum Muslimin dengan berkata berkata:
إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)
“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.

Imam asy-Syafi’i, seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid.

Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), seperti keyakinan kaum Musyabbihah, (sekarang Wahhabiyyah) yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Ada di dua tempat ?! Heh!!! Padahal mereka yakin bahwa arsy dan langit adalah makhluk Allah. Na’udzu Billahi Minhum.

MENGENAL TENTANG AYAT-AYAT TASYBIH

Mengenai  ayat  mutasyabih  yang  sebenarnya  para  Imam  dan  Muhadditsin  selalu  berusaha  menghindari  untuk  membahasnya,  namun  justru  sangat  digandrungi  oleh  sebagian  kelom pok  muslimin  sesat  masa  kini,  mereka  selalu  mencoba  menusuk  kepada  jantung  tauhid  yang  sedikit saja  salah memahami maka akan  terjatuh  dalam  jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan,  wajah  dll  yang  hanya  membuat  kerancuan  dalam  kesucian  Tauhid  ilahi  pada  benak  muslimin,  akan tetapi karena semaraknya masalah  ini diangkat ke permukaan, maka  perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut.

Sebagaimana  makna  Istiwa,  yang  sebagian  kaum  muslim in  sesat  sangat  gemar  membahasnya  dan  mengatakan  bahwa  Allah  itu  bersemayam  di  Arsy,  dengan  menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT”  ,  entah  darimana  pula  mereka  menemukan  makna  kalimat  Istawa  adalah semayam,  padahal  tak  mungkin  kita  katakan  bahwa  Allah  itu  bersemayam  disuatu  tempat,  karena  bertentangan  dengan  ayat  ayat  dan  Nash  hadits  lain,  bila  kita  mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu  ada?, dan berarti  Allah membutuhkan  ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits  qudsiy  disebutkan  Allah  swt  turun  kelangit  yang  terendah  saat  sepertiga  malam  terakhir,  sebagaimana  diriwayatkan  dalam  Shahih  Muslim  hadits  no.758,  sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir,

Maka  bila  disuatu  tempat  adalah  tengah malam ,  maka  waktu  tengah malam  itu  tidak  sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti  Allah itu selalu bergelantungan  mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin  ranculah  pemahaman  ini,  dan  menunjukkan  rapuhnya  pemahaman  mereka,  jelaslah  bahwa  hujjah  yang  mengatakan  Allah  ada  di  Arsy  telah  bertentangan  dengan  hadits  qudsiy  diatas,  yang  berarti  Allah  itu  tetap  di  langit  yang  terendah  dan  tak  pernah  kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yang terendah.

Berkata  Al hafidh  Almuhaddits  Al  Im am  Malik  rahimahullah  ketika  datang  seseorang yang  bertanya  makna  ayat  :  ”Arrahm aanu  ’alal  Arsyistawa”,  Imam  Malik  menjawab  : ”Majhul,  Ma’qul,  Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tdk  diketahui maknanya, dan tidak  boleh  mengatakannya  mustahil,  percaya  akannya  wajib,  bertanya  tentang  ini adalah  Bid’ah  Munkarah),  dan  kulihat  engkau  ini  orang  jahat,  keluarkan  dia..!”, demikian  ucapan  Imam  Malik  pada  penanya  ini,  hingga  ia  mengatakannya  :  ”kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yang menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yang beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali m enjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yang tidak baik yang mempermasalahkan masalah ini.

Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yang berbai’at padamu sungguh mereka  telah berbai’at  pada  Allah, Tangan  Allah  diatas tangan  mereka” (QS  Al Fath  10),  dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yang turut berbai’at pada sahabat.

Juga sebagaimana hadits qudsiy yang mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi  waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada Ku dengan hal hal yang fardhu, dan Hamba Ku terus m endekat kepada Ku dengan hal hal yang  sunnah  baginya  hingga Aku  mencintainya, bila  Aku mencintainya  maka  aku menjadi telinganya yang  ia  gunakan untuk mendengar,  dan menjadi  matanya yang ia gunakan  untuk  melihat,  dan  menjadi  tangannya  yang  ia  gunakan  untuk  memerangi, dan  kakinya  yang  ia  gunakan  untuk  melangkah,  bila  ia  meminta  pada  Ku  niscaya kuberi  permintaannya....”  (shahih  Bukhari  hadits  no.6137)  Maka  hadits  Qudsiy diatas tentunya jelas  jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera lainnya,  bagi  mereka  yang  taat  pada  Allah  akan  dilimpahi  cahaya  kemegahan  Allah, pertolongan  Allah,  kekuatan  Allah,  keberkahan  Allah,  dan  sungguh  maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.

 Masalah  ayat/hadist  tasybih  (tangan/wajah)  dalam  ilmu  tauhid  terdapat  dua pendapat/madzhab dalam  menafsirkannya, yaitu:
1.  Madzhab tafwidh ma’a tanzih
Madzhab  ini  mengambil  dhahir  lafadz  dan  menyerahkan  maknanya  kpd  Allah  swt,  dengan i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)

Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu biha  wa  nushoddiq  biha  bilaa  kaif  wala  makna”,  (Kita  percaya  dengan  hal  itu,  dan membenarkannya  tanpa  menanyakannya  bagaimana,  dan  tanpa  makna)  Madzhab inilah yang juga di pegang oleh Imam Abu hanifah.

Dan  kini muncullah  faham  mujjassimah  yaitu  dhohirnya  memegang  madzhab  tafwidh tapi  menyerupakan  Allah  dengan  mahluk,  bukan  seperti  para  imam  yang  memegang madzhab tafwidh.
2.  Madzhab takwil
Madzab  ini  menakwilkan  ayat/hadist  tasybih  sesuai  dengan keesaan  dan  keagungan Allah  swt,  dan madzhab ini  arjah  (lebih  baik untuk diikuti) karena terdapat  penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)

Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.

Seperti ayat  :

”Nasuullaha  fanasiahum”  (mereka  melupakan  Allah  maka  Allah  pun  lupa  dengan mereka) (QS Attaubah:67),  dan  ayat  :  ”Innaa  nasiinaakum”.  (sungguh  kam i  telah  lupa  pada  kalian  QS  Assajdah 14).

Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam  Alqur’an,  dan kita tidak boleh mengatakan  Allah  punya sifat  lupa, tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)

Dan  juga  diriwayatkan  dalam  hadtist  Qudsiy  bahwa  Allah  swt  berfirm an  :  ”Wahai Keturunan  Adam,  Aku  sakit  dan  kau  tak  menjenguk  Ku,  maka  berkatalah keturunan Adam  :  Wahai  Allah,  bagaimana  aku  menjenguk  Mu  sedangkan  Engkau  Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau  menjenguknya?,  tahukah  engkau  bila  kau  menjenguknya  maka  akan  kau  temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)

Apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita ?

Berkata  Im am  Nawawi  berkenaan  hadits  Qudsiy  diatas  dalam  kitabnya  yaitu  Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada  hamba  Nya itu,  ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy  wajadta  tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan  kau temui  aku  disisinya  adalah  akan  kau  temui  pahalaku  dan  kedermawanan Ku  dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125)

Dan banyak  pula  para sahabat, tabiin,  dan  para  Imam  ahlussunnah  waljamaah  yang berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam  Malik, Imam Bukhari, Imam  Tirmidziy,  Imam  Abul  Hasan  Al  Asy’ariy,  Imam  Ibnul  Jauziy  dll  (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).

Maka  jelaslah  bahwa  akal  tak  akan  mampu  memecahkan  rahasia  keberadaan  Allah swt,  sebagaimana  firman  Nya  :  ”Maha  Suci  Tuhan  Mu  Tuhan  Yang  Maha Memiliki Kemegahan  dari  apa apa  yang mereka sifatkan, maka salam  sejahtera  lah  bagi  para Rasul,  dan  segala  puji  atas  tuhan  sekalian  alam”  .  (QS  Asshaffat  180-182).

Walillahittaufiq
H. Kholilurrohman Abu Fateh, Lc, MA,
 

Fatwa Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan Tentang QS. An-Najm Ayat 39



Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan merupakan seorang ulama yang dianggap beraliran wahhabiyah, lahir pada tahun 1933 M.  Terkait surah an-Najm ayat 39, pernah juga ditanyakan kepada beliau, juga terkait dengan QS. ath-Thuur ayat 21. Berikut jawaban beliau :

سؤال: ما معنى الآيتين الكريمتين في قوله تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى، وقوله: {وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ} ، وهل بينهما نسخ أو تعارض؟ وماذا نستفيد منهما؟
Soal : apa makna dua ayat pada firman Allah {wa an laysa lil-insaani illaa ma sa’aa} dan {walladziina amanuu wat-taba’athum dzurriyyatuhum bi-imaanin bihim dzurriyyatahum wa maa alatnaahum min ‘amalihim min syay’}, apakah antara keduanya telah di nasakh ataukah bertentangan ? dan apa penjelasan tentang keduanya ?

الجواب: بين الآيتين إشكال، ذلك أن الآية الأولى فيها: أن الإنسان لا يملك إلا سعيه ولا يملك سعي غيره {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} ، فملكيته محصورة بسعيه، ولا ينفعه إلا سعيه، بينما الآية الأخرى فيها أن    الذرية إذا آمنت فإنها تلحق بآبائها في الجنة وتكون معهم في درجتهم وإن لم تكن عملت عملهم، فالذرية إذا استفادت من عمل غيرها، قال تعالى: {وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ} ، فالآية الكريمة تدل على أن الذرية يلحقون بآبائهم في درجاتهم ويرفعون معهم في درجاتهم وإن لم يكن عملهم كعمل آبائهم، فظاهر الآية أنهم انتفعوا بعمل غيرهم وسعي غيرهم، بينما الآية الأخرى أن الإنسان لا ينفعه إلا سعيه
Jawab : Antara dua ayat terdapat isykal (pertentangan), hal itu karena ayat pertama mengandung pengertian bahwa manusia tidak memiliki kecuali usahanya dan tidak memiliki usaha orang lain { dan tiada ada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} maka kepemilikannya hanya sebatas dengan usahanya sendiri dan tidak mendapat manfaat kecuali usahanya, sementara ayat lainnya tentang keturunan apabila beriman maka terhubung dengan ayah-ayah mereka didalam surga dan bersama mereka didalam hal kedudukan mereka, meskipun mereka tidak mengamalkan amal mereka, keturunan (cucu-cucu) mendapat manfaat (faidah) dari amal orang lain , Allah berfirman { Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka , dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka } maka ayat yang mulya ini menunjukkan bahwa cucu-cucu tetap dihubungankan dengan ayah-ayah mereka didalam hal kedudukan mereka dan kedudukan mereka di angkat walaupun amal mereka tidak seperti amal ayah-ayah mereka, maka maksud dhahir ayat adalah bahwa mereka mendapatkan manfaat dengan amal (perbuatan) selain mereka dan usaha orang lain, sedangkan ayat yang lain adlah bahwa manusia tidak bisa mendapat manfaat kecuali usahanya.

وقد أجاب العلماء عن هذا بعدة أجوبة: الجواب الأول: أن الآية الأولى {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} مطلقة والآية الثانية {أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ} مقيدة. والمطلق يحمل على المقيد كما هو مقرر في علم الأصول. والجواب الثاني: أن الآية الأولى تخبر أن الإنسان لا يملك إلا سعيه، ولا ينفعه إلا سعيه، ولكنها لم تنف أن الإنسان ينتفع بعمل غيره، من غير تملك له، فالآية الأولى في الملكية، والثانية في الانتفاع، أن الإنسان قد ينتفع بعمل غيره وإن لم يكن ملكه، ولهذا ينفعه إذا تصدق عنه، وينفعه إذا استغفر له، ودعي له، فالإنسان يستفيد من دعاء غيره، ومن عمل غيره، وهو ميت. والانتفاع غير الملكية، فالآية الأولى في نوع، والآية الثانية في نوع آخر، ولا تعارض بينهما. هذا الجواب أحسن من الأول في نظري، فهذا الجواب هو الراجح في نظري.

Dan sungguh ulama telah menjawab tentang hal ini dengan sejumlah jawaban :

Pertama, bahwa ayat pertama { wa an laysa lil-insaani illaa ma sa’aa } adalah mutlak, dan ayat kedua {alhaqnaa bihim dzurriyyatahum} adalah muqayyad. Dan yang mutlak dibawa ke yang muqayyad sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul.

Kedua, bahwa ayat pertama mengkhabarkan tentang manusia tidak memiliki kecuali usahanya sendiri, dan tidak mendapat manfaat kecuali usahanya sendiri, akan tetapi tidak menafikan bahwa manusia mendapat manfaat dari amal (usaha/perbuatan) orang lain dan dari milik orang lain untuknya, maka ayat pertama adalah tentang milkiyah (kepemilikan), dan ayat kedua tentang intafa’ (kemanfaatan), bahwa manusia sungguh mendapatkan manfaat dengan amal orang lain walaupun tiada miliknya, oleh karena inilah seseorang mendapatkan manfaat apabila menshadaqahkan untuknya, dan mendapatkan manfaat apabila di mohonkan ampun untuknya, dan berdo’a untuknya. Maka manusia mendapatkan faidah dari do’a orang lain dan dari amal orang lain, maksudnya mayyit bisa mendapat manfaat.

Dan manfaat bukan kepemilikan. Ayat pertama adalah satu hal, dan ayat kedua adalah satu hal yang lain, keduanya tidak bertentangan, jawaban inilah yang lebih bagus dari yang pertama menurut tinjauanku, jawaban ini juga adalah rajih (kuat) menurut tinjauanku.

وهناك جواب آخر: هو أن الآية الأولى {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} منسوخة؛ لأنها في شرع من قبلنا لأن الله تعالى يقول: {أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى}  ، فهذه تحكي ما كان في صحف موسى وصحف إبراهيم عليهما السلام، لكن جاءت شريعتنا بأن الإنسان ينتفع بعمل غيره، فيكون ذلك نسخًا، ولكن هذا الجواب ضعيف، والجواب الذي قبله أرجح في نظري، والله أعلم.

Dan disana juga ada jawaban lainnya, yakni bahwa ayat pertama { wa an laysa lil-insaani illaa ma sa’aa } mansukh, karena sesungguhnya itu pada syariat umat sebelum kita (syar’u man qablanaa), sebab Allah berfirman : “Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa ? , dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? , (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” maka ini mengisahkan apa yang ada pada shuhuf Nabi Musa ‘alayhiwa salam dan Nabi Ibrahim ‘alayhis salam, akan tetapi telah datang pada syariat kita bahwa manusia mendapatkan manfaat dengan amal orang lain, maka keberadaanya itu telah di hapus, namun jawaban ini lemah, dan jawaban ulama sebelumnya itulah yang lebih rajih dalam tinjauanku. Wallahu A’lam. []

Sumber : Majmu’ Fatawa, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan [1/176-179]
Oleh ; al-Faqir ats-Tsauriy (Bangkalan).
CATATAN : pelajaran yang bisa kita ambil dari penjelasan ulama wahhabiyah ini adalah bahwa seseorang muslim bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain.

Media Islam

Thariqat Sarkubiyah

NU Online