Ini juga sering dipermasalahan oleh kalangan ahli-ahli bicara yaitu tentang tahlilan 7 hari, 40 hari, 100 hari, tahunan dan seribu harinya, tiap hari, sepekan sekali atau lain sebagainya. Padahal, kesemuanya itu tidak ada dalil yang melarangnya. Ada banyak tinjauan hukum yang membenarkan hal ini didalam tahlilan disamping tidak ada dalil larangannya :
Pertama, dilihat dari aspek kebiasaan masyarakat.
‘Ulama yang menyebarkan dakwah di Indonesia sangat bijaksana dan luas keilmuannya dalam memahami syariat , termasuk mendudukan kebiasaan yang bertentangan dengan syariat dan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, tahlilan dipergunakan oleh ulama sebagai salah satu sarana syiar agama Islam dengan masuk pada ranah adat (kebiasaan), namun bukan pada ranah ibadah masyarakat pada masa itu. Sebagian ahli bicara mengatakan tahlilan yang dilakukan kaum Muslimin saat ini adalah sesat, perkataan mereka ini sangatlah tercela sebab sama saja mengatakan ulama (wali songo) telah menyebarkan kesesatan atau mengajarkan kesesatan. Kemudian para ahli bicara akan berdalih bahwa itu bagian dari tahap dakwah wali songo yang belum tuntas yaitu menurut mereka wali songo (ulama) sesuatu saat akan menghapus tahlilan, namun karena mereka telah wafat maka tidak sempat menghapusnya. Sungguh, ini perkataan yang juga sama tercelanya, sebab itu sama saja mengganggap ulama tidak memiliki ketegasan dalam mendakwahkan Islam atau ulama telah mempergunakan cara yang sesat (haram) dalam menyebarkan Islam. Sedangkan tujuan yang baik tidak akan tercapai dengan cara-cara yang haram (cara yang sesat).
Pada saat ulama menyebarkan Islam di Indonesia, di wilayah Indonesia sudah ada kebiasaan (adat) yang isinya adalah ibadah (non-Islam) yang bertentangan dengan syariat Islam. Kebiasaan (adat) ini sudah mengakar dimasyarakat disaat itu, artinya telah menjadi adat masyarakat. Oleh karenanya, ulama yang mendakwah Islam kemudian mengubah hal-hal yang bertentangan dengan syara’ (yaitu yang berisi kemusyrikan) dengan menggantinya berupa amalan-amalan Islami seperti do’a, permohonan ampun (istighfar), pembacaan al-Qur’an dan dzikir-dzikir lainnya, tanpa mengubah kebiasaan (adat) yang tidak bertentangan dengan syariat. Tentunya semua itu bukan tanpa pertimbangan dengan syariat Islam, bahkan hal itu sudah dipertimbangan dan dipantau dengan kaca masa syariat Islam oleh para ulama dengan sangat bijaksana.
Kalau kita mengkaji, apa yang menjadi pertimbangan dan kebijaksaan ulama lebih mendapat maka kita akan menemukan banyak hal yang membenarkan hal itu, sebab adat (kebiasaan) itu hukumnya boleh dalam syariat Islam.
Oleh karena, diambilnya kebiasaan 7 harian, 40 hari, 100 hari, dan sebagainya adalah boleh, karena hanya sebuah sebuah adat (kebiasaan) semata dan tidak ada dalil yang melarangnya. Adapun isinya adalah amalan-amalan masyru’ yang memang dianjurkan didalam syariat Islam.
Seperti itulah kebijaksaan ulama dan thariqah dakwah ulama dalam menyebarkan syariat Islam, yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syariat , dan ini sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika mengganti kebiasaan jahiliyah, yang mana beliau hanya mengganti hal yang bertentangan semata, ini disebutkan dalam as-Sunan al-Kubra lil-Imam al-Baihaqiy asy-Syafi’i,
Kedua, dilihat dari aspek kesesuaian dengan hadits.
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad didalam az-Zuhd dan al-Hafidz Abu Nu’aim didalam al-Hilyah tentang anjuran memberi makan setelah kematian ;
Hadits lain yang bersesuaian sebagai pendukung hadits diatas,
Pada hadits diatas, frasa “kanu yastahibbuna (mereka menganjurkan)”, ini bagian dari perkataan tabi’in yang mereka melakukannya, dan menurut ahli hadits dan ushul terdapat dua qaul ; mereka adalah para sahabat yang mengerjakannya pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, Rasulullah mengetahuinya dan taqrir terhadap kejadian ini, atau mereka yang dimaksud adlah para sahabat saja dan masyhur diantara mereka namun tidak sampai pada Rasulullah. Perselisihan terhadap khabar ini adalah mengenai apakah itu khabar dari seluruh sahabat (dinukil berdasarkan ijma’) atau sebagian shahabat saja, namun keduanya sama-sama sah. Bahkan dikatakan bahwa itu menunjukkan perbuatan seluruh umat, mereka mengerjakannya dan tidak mengingkarinya. Hukum syara’ dalam hadits ini menunjukkan anjuran (kesunnahan) bershadaqah dan memberikan makan yang pahalanya untuk mayyit pada masa 7 hari tersebut. [5]
Lebih jauh lagi, al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy menuturkan ;
Imam al-Hafidz al-Kabir Ibnu Asakir didalam kitabnya Tabyin Kidzb al-Muftariy Fiymaa Nusiba Ilaa al-Imam Abul Hasal al-Asy’ariy menurutkan,
Dalam tahlilan yang dilakukan selama 7 hari pun berkesuaian dengan riwayat diatas, meskipun memberikan makan tidak hanya dilakukan dalam bentuk tahlilan namun boleh dengan yang lainnya. Riwayat ini sekaligus membantah klaim-klaim ahli bicara yang menyesatkan tahlilan 7 hari, bahkan amalan seperti ini masyhur, telah dilakukan sejak dahulu (salafush shaleh).
Dalam Nihayatuz Zain disebutkan :
Syaikh an-Nawawi al-Bantaniy (beliau dijuluki sayyid Ulama Hijaz juga Imam an-Nawawi kedua) juga menuturkan bahwa itu hanya adat (kebiasaan) semata, artinya hal itu boleh. Dan shadaqahnya adalah sebuah anjuran (hukumnya sunnah).
Adapun yang kadang diselewengkan oleh ahli-ahli bicara yaitu tentang apa yang dihukumi makruh oleh Syaikh an-Nawawi. Untuk mengaburkannya, biasanya ahli-ahli bicara menyelewengkannya dengan mengatakan “dibenci”. Maka benar-benar menjadi kabur (tidak jelas) status hukum yang telah dikatakan Syaikh an-Nawawi dan terpenuhilah hawa nafsu mereka yaitu mengharamkan tahlilan. Padahal makruh yang dimakrudkan adalah ghairu mustahibbah[9] sebagaimana banyak dijelaskan ‘Ulama.
Kemudian, perihal hari-hari berikutnya, seperti 40 hari, 100 hari, setiap jum’at (sepekan sekali) dan sebagainya adalah terkait dengan kebiasaan yang hukumnya boleh sebagaimana penjelasan sebelumnya, dan pada penjelasan yang berikutnya.
Ketiga, kebolehan pengkhususan hari
Penentuan 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, setiap hari, sepekan sekali, tahunan atau lain sebagainya, juga bisa di pandangs sebagai bentuk pengkhususan hari untuk beramal shaleh, yaitu amal yang tidak memiliki keterikatan waktu dan rukun seperti shalat, puasa atau sejenisnya. Seperti pembacaan al-Qur’an, maka boleh mengkhususkan atau menentukan hari dalam menghatamkannya, misalnya melakukan tiap hari dan jumlah ayat yang dibaca di tentukan dan terus berkelanjutan hingga khatam, ini untuk keistiqamahan dan kemudahan. Atau seminggu sekali dalam mengkhatamkannya. Amalan seperti ini tidak memiliki keterikakan waktu maka boleh dibaca pada hari-hari apa saja atau menentukan harinya.
Demikian juga mendo’akan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya, sebab pengkhususan hari-hari tertentu dalam melakukan amal-amal kebaikan adalah boleh. al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari hadits al-Bukhari no. 1118, sebagai berikut ;
Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya, wallahu a’lam.
Demikianlah beberapa penjelasan terkait dengan tahlilan, semoga apa yang telah disampaikan bermanfaat bagi kaum Muslimin dan bijaksana dalam menyikapi hal serta senantiasa berpegang teguh pada yang haq. Selesai !!
Catatan Kaki :
[1] Lihat ; Fiqh ad-Da’wah fiy Shahih al-Imam al-Bukhari (3/500) ; al-Fatawa al-Kubra (5/280) ;
[2] Sunan al-Kubra lil-Imam al-Baihaqiy asy-Syafi’i (9/303) ; Sunan Abi Daud no. 2460, hadits ini tidak beliau komentari, yang artinya boleh digunakan ; Musnad al-Jami’ (1876) ; Tuhfatul Ahwadiy (4/167), dikatakan “wal haditsu sakata ‘anhu Abu Daud” ; Asnal Mathalib (7/43), dikatakan diriwayatkan oleh Imam Hakim kemudian menshahihkannya ; dan lain-lain.
[3] Lihat : al-Hawi al-Fatawi lil-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy (2/164), sanadnya shahih dan Thawus adalah pembesar tabi’in. Hadits ini diriwayatkan dan tidak mungkin sebuah pendapat, adapun hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, juga sah dijadikan hujjah ; ad-Darul Mantsur lil-Hafidz as-Suyuthiy (6/61) ; Syarah Sunan an-Nasaa’i no. 2035 ;
[4] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/164) ; ad-Dural Mantsur (6/61) ; Mushnaf Abdurrazaq (3/590) ;
[5] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/169) ;
[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) ;
[7] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) ;
[8] Nihayatuz Zain li-Syaikh an-Nawawi al-Bantaniy asy-Syafii’i.
[9] Lihat : Hawasyi asy-Syarwaniy (2/207) ; Tuhfatul Muhtaj (11/375); dan yang lainnya.
[10] Lihat : Fathul Bari syarah Shahih Bukhari (4/197).
http://www.facebook.com/note.php?note_id=137423182978824
Pertama, dilihat dari aspek kebiasaan masyarakat.
‘Ulama yang menyebarkan dakwah di Indonesia sangat bijaksana dan luas keilmuannya dalam memahami syariat , termasuk mendudukan kebiasaan yang bertentangan dengan syariat dan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, tahlilan dipergunakan oleh ulama sebagai salah satu sarana syiar agama Islam dengan masuk pada ranah adat (kebiasaan), namun bukan pada ranah ibadah masyarakat pada masa itu. Sebagian ahli bicara mengatakan tahlilan yang dilakukan kaum Muslimin saat ini adalah sesat, perkataan mereka ini sangatlah tercela sebab sama saja mengatakan ulama (wali songo) telah menyebarkan kesesatan atau mengajarkan kesesatan. Kemudian para ahli bicara akan berdalih bahwa itu bagian dari tahap dakwah wali songo yang belum tuntas yaitu menurut mereka wali songo (ulama) sesuatu saat akan menghapus tahlilan, namun karena mereka telah wafat maka tidak sempat menghapusnya. Sungguh, ini perkataan yang juga sama tercelanya, sebab itu sama saja mengganggap ulama tidak memiliki ketegasan dalam mendakwahkan Islam atau ulama telah mempergunakan cara yang sesat (haram) dalam menyebarkan Islam. Sedangkan tujuan yang baik tidak akan tercapai dengan cara-cara yang haram (cara yang sesat).
Pada saat ulama menyebarkan Islam di Indonesia, di wilayah Indonesia sudah ada kebiasaan (adat) yang isinya adalah ibadah (non-Islam) yang bertentangan dengan syariat Islam. Kebiasaan (adat) ini sudah mengakar dimasyarakat disaat itu, artinya telah menjadi adat masyarakat. Oleh karenanya, ulama yang mendakwah Islam kemudian mengubah hal-hal yang bertentangan dengan syara’ (yaitu yang berisi kemusyrikan) dengan menggantinya berupa amalan-amalan Islami seperti do’a, permohonan ampun (istighfar), pembacaan al-Qur’an dan dzikir-dzikir lainnya, tanpa mengubah kebiasaan (adat) yang tidak bertentangan dengan syariat. Tentunya semua itu bukan tanpa pertimbangan dengan syariat Islam, bahkan hal itu sudah dipertimbangan dan dipantau dengan kaca masa syariat Islam oleh para ulama dengan sangat bijaksana.
Kalau kita mengkaji, apa yang menjadi pertimbangan dan kebijaksaan ulama lebih mendapat maka kita akan menemukan banyak hal yang membenarkan hal itu, sebab adat (kebiasaan) itu hukumnya boleh dalam syariat Islam.
Oleh karena, diambilnya kebiasaan 7 harian, 40 hari, 100 hari, dan sebagainya adalah boleh, karena hanya sebuah sebuah adat (kebiasaan) semata dan tidak ada dalil yang melarangnya. Adapun isinya adalah amalan-amalan masyru’ yang memang dianjurkan didalam syariat Islam.
Seperti itulah kebijaksaan ulama dan thariqah dakwah ulama dalam menyebarkan syariat Islam, yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syariat , dan ini sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika mengganti kebiasaan jahiliyah, yang mana beliau hanya mengganti hal yang bertentangan semata, ini disebutkan dalam as-Sunan al-Kubra lil-Imam al-Baihaqiy asy-Syafi’i,
كنا في الجاهلية إذا ولد لاحدنا غلام ذبح شاة ولطخ رأسه بدمها فلما جاء الله بالاسلام كنا نذبح شاة ونحلق رأسه ونلطخه بزعفران
“Ketika kami (para sahabat) masih dalam keadaan jahiliyyah, apabila salah seorang diantara kami melahirkan bayi maka kami menyembelih seorang kambing dan melumuri kepalanya (bayi) dengan darah kambing, kemudian Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih seorang kambing, mencukur rambut bayi kami dan melumurinya dengan minyak za’faran”.[2]
Kedua, dilihat dari aspek kesesuaian dengan hadits.
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad didalam az-Zuhd dan al-Hafidz Abu Nu’aim didalam al-Hilyah tentang anjuran memberi makan setelah kematian ;
قال الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه في كتاب الزهد له حدثنا هاشم بن القاسم قال ثنا الاشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام. قال الحافظ أبو نعيم في الحلية حدثنا أبو بكر بن مالك ثنا عبد الله بن أحمد ابن حنبل ثنا أبي ثنا هاشم بن القاسم ثنا الأشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام.
“Imam Ahmad bin Hanbal radliyallahu ‘anh berkata : “Menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, ia berkata, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy dari Sufyan, ia berkata : Thawus berkata, “sesungguhnya orang mati terfitnah (ditanya malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka mengajurkan supaya memberikan makanan (yang pahala) untuk mereka pada hari-hari tersebut”. Al-Hafidz Abu Nu’aim berkata : “Menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdulllah bin Ahmad Ibnu Hanbal, menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy dari Sufyan, ia berkata, Thawus berkata : sesungguhnya orang mati terfitnah didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka menganjurkan agar dibuatkan makanan yang pahalanya untuk mereka pada hari-hari tersebut”. [3]
Hadits lain yang bersesuaian sebagai pendukung hadits diatas,
قال ابن جريج في مصنفه عن الحارث ابن أبي الحارث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا، وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا.
“Ibnu Juraij didalam mushnafnya berkata, dari al-Harits Ibnu Abi al-Harits dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata ; dua laki-laki terfitnah yakni mukmin dan munafik, adapun orang mukmin terfitnah selama 7 hari, sedangkan orang munafik terfitnah selama 40 hari”. [4]
Pada hadits diatas, frasa “kanu yastahibbuna (mereka menganjurkan)”, ini bagian dari perkataan tabi’in yang mereka melakukannya, dan menurut ahli hadits dan ushul terdapat dua qaul ; mereka adalah para sahabat yang mengerjakannya pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, Rasulullah mengetahuinya dan taqrir terhadap kejadian ini, atau mereka yang dimaksud adlah para sahabat saja dan masyhur diantara mereka namun tidak sampai pada Rasulullah. Perselisihan terhadap khabar ini adalah mengenai apakah itu khabar dari seluruh sahabat (dinukil berdasarkan ijma’) atau sebagian shahabat saja, namun keduanya sama-sama sah. Bahkan dikatakan bahwa itu menunjukkan perbuatan seluruh umat, mereka mengerjakannya dan tidak mengingkarinya. Hukum syara’ dalam hadits ini menunjukkan anjuran (kesunnahan) bershadaqah dan memberikan makan yang pahalanya untuk mayyit pada masa 7 hari tersebut. [5]
Lebih jauh lagi, al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy menuturkan ;
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini, dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]
Imam al-Hafidz al-Kabir Ibnu Asakir didalam kitabnya Tabyin Kidzb al-Muftariy Fiymaa Nusiba Ilaa al-Imam Abul Hasal al-Asy’ariy menurutkan,
“Aku mendengar asy-Syaikh al-Faqih Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bin Abdul Qawiy al-Mashishiy mengatakan : “Telah wafat asy-Syaikh Nashr bin Ibrahim al-Maqdisiy pada hari selasa 9 Muharram 490 Hijriyah di Damaskus, dan kami menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 malam, kami membaca al-Qur’an setiap malam dengan 20 kali khatam”. [7]
Dalam tahlilan yang dilakukan selama 7 hari pun berkesuaian dengan riwayat diatas, meskipun memberikan makan tidak hanya dilakukan dalam bentuk tahlilan namun boleh dengan yang lainnya. Riwayat ini sekaligus membantah klaim-klaim ahli bicara yang menyesatkan tahlilan 7 hari, bahkan amalan seperti ini masyhur, telah dilakukan sejak dahulu (salafush shaleh).
Dalam Nihayatuz Zain disebutkan :
“Memberi shadaqah yang pahalanya untuk mayyit berdasarkan pandangan syariat adalah dianjurkan namun tidak terikat dengan masa 7 hari baik lebih dari tujuh hari atau kurang dari tujuh hari, keterikatannya dengan sebagain hari hanya bagian kebiasaan-kebiasaan (adat istiadat) semata sebagaimana yang telah difatwakan tentang hal itu oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan sungguh telah menjadi kebiasaan manusia bershadaqah yang pahalanya untuk mayyit pada hari ke 3 dari wafatnya, 7 hari, 20 hari, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya apa yang dilakukan setiap tahunnya (haul) pada hari wafatnya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikhuna Yusuf as-Sanbulawainiy. Adapun acara makan-makan yang masyarakat berkumpul disana pada malam hari ketika prosesi pemakaman yang dikenal dengan al-Wahsyah (berduka cita) maka itu makruh selama tidak ada harta anak yatim kecuali ada (harta anak yatim) maka itu haram, sebagaimana telah didalam kitab Kasyfu al-Litsam”.[8]
Syaikh an-Nawawi al-Bantaniy (beliau dijuluki sayyid Ulama Hijaz juga Imam an-Nawawi kedua) juga menuturkan bahwa itu hanya adat (kebiasaan) semata, artinya hal itu boleh. Dan shadaqahnya adalah sebuah anjuran (hukumnya sunnah).
Adapun yang kadang diselewengkan oleh ahli-ahli bicara yaitu tentang apa yang dihukumi makruh oleh Syaikh an-Nawawi. Untuk mengaburkannya, biasanya ahli-ahli bicara menyelewengkannya dengan mengatakan “dibenci”. Maka benar-benar menjadi kabur (tidak jelas) status hukum yang telah dikatakan Syaikh an-Nawawi dan terpenuhilah hawa nafsu mereka yaitu mengharamkan tahlilan. Padahal makruh yang dimakrudkan adalah ghairu mustahibbah[9] sebagaimana banyak dijelaskan ‘Ulama.
Kemudian, perihal hari-hari berikutnya, seperti 40 hari, 100 hari, setiap jum’at (sepekan sekali) dan sebagainya adalah terkait dengan kebiasaan yang hukumnya boleh sebagaimana penjelasan sebelumnya, dan pada penjelasan yang berikutnya.
Ketiga, kebolehan pengkhususan hari
Penentuan 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, setiap hari, sepekan sekali, tahunan atau lain sebagainya, juga bisa di pandangs sebagai bentuk pengkhususan hari untuk beramal shaleh, yaitu amal yang tidak memiliki keterikatan waktu dan rukun seperti shalat, puasa atau sejenisnya. Seperti pembacaan al-Qur’an, maka boleh mengkhususkan atau menentukan hari dalam menghatamkannya, misalnya melakukan tiap hari dan jumlah ayat yang dibaca di tentukan dan terus berkelanjutan hingga khatam, ini untuk keistiqamahan dan kemudahan. Atau seminggu sekali dalam mengkhatamkannya. Amalan seperti ini tidak memiliki keterikakan waktu maka boleh dibaca pada hari-hari apa saja atau menentukan harinya.
Demikian juga mendo’akan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya, sebab pengkhususan hari-hari tertentu dalam melakukan amal-amal kebaikan adalah boleh. al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari hadits al-Bukhari no. 1118, sebagai berikut ;
“Dan didalam hadits ini jalurnya diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz) pengkhususan sebagian hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan) melakukannya”. [10]
Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya, wallahu a’lam.
Demikianlah beberapa penjelasan terkait dengan tahlilan, semoga apa yang telah disampaikan bermanfaat bagi kaum Muslimin dan bijaksana dalam menyikapi hal serta senantiasa berpegang teguh pada yang haq. Selesai !!
Catatan Kaki :
[1] Lihat ; Fiqh ad-Da’wah fiy Shahih al-Imam al-Bukhari (3/500) ; al-Fatawa al-Kubra (5/280) ;
[2] Sunan al-Kubra lil-Imam al-Baihaqiy asy-Syafi’i (9/303) ; Sunan Abi Daud no. 2460, hadits ini tidak beliau komentari, yang artinya boleh digunakan ; Musnad al-Jami’ (1876) ; Tuhfatul Ahwadiy (4/167), dikatakan “wal haditsu sakata ‘anhu Abu Daud” ; Asnal Mathalib (7/43), dikatakan diriwayatkan oleh Imam Hakim kemudian menshahihkannya ; dan lain-lain.
[3] Lihat : al-Hawi al-Fatawi lil-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy (2/164), sanadnya shahih dan Thawus adalah pembesar tabi’in. Hadits ini diriwayatkan dan tidak mungkin sebuah pendapat, adapun hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, juga sah dijadikan hujjah ; ad-Darul Mantsur lil-Hafidz as-Suyuthiy (6/61) ; Syarah Sunan an-Nasaa’i no. 2035 ;
[4] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/164) ; ad-Dural Mantsur (6/61) ; Mushnaf Abdurrazaq (3/590) ;
[5] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/169) ;
[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) ;
[7] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) ;
[8] Nihayatuz Zain li-Syaikh an-Nawawi al-Bantaniy asy-Syafii’i.
[9] Lihat : Hawasyi asy-Syarwaniy (2/207) ; Tuhfatul Muhtaj (11/375); dan yang lainnya.
[10] Lihat : Fathul Bari syarah Shahih Bukhari (4/197).
http://www.facebook.com/note.php?note_id=137423182978824
2 Responses to "Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan [Bag. IV]"
Bismilah, apakah pengkhususan hari-hari seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari dst merupakan bagian sunnah bila hanya boleh saja dan bukan bagian dari sunnah maka sia-sia terlebih ada larangan Rasulullah tentang perbuatan bid'ah (inilah larangannya). Semoga kembali ke jalan yang haq wahai saudaraku.
Ass. Wr. Wb.
Dengan mempertajam perbedaan, tak ubahnya seseorang yang suka menembak burung di dalam sangkar. Padahal terhadap Al-Qur’an sendiri memang terjadi perbedaan pendapat. Oleh sebab itu, apabila setiap perbedaan itu selalu dipertentangkan, yang diuntungkan tentu pihak ketiga. Atau mereka sengaja mengipasi ? Bukankah menjadi semboyan mereka, akan merayakan perbedaan ?
Kalau perbedaan itu memang kesukaan Anda, salurkan saja ke pedalaman kepulauan nusantara. Disana masih banyak burung liar beterbangan. Jangan mereka yang telah memeluk Islam dicekoki khilafiyah furu’iyah. Bahkan kalau mungkin, mereka yang telah beragama tetapi di luar umat Muslimin, diyakinkan bahwa Islam adalah agama yang benar.
Ingat, dari 87 % Islam di Indonesia, 37 % nya Islam KTP, 50 % penganut Islam sungguhan. Dari 50 % itu, 20 % tidak shalat, 20 % kadang-kadang shalat dan hanya 10 % pelaksana shalat. Apabila dari yang hanya 10 % yang shalat itu dihojat Anda dengan perbedaan, sehingga menyebabkan ragu-ragu dalam beragama yang mengakibatkan 9 % meninggalkan shalat, berarti ummat Islam Indonesia hanya tinggal 1 %. Terhadap angka itu Anda ikut berperan, yang harus dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT. Astaghfirullah.
Wass. Wr. Wb.
hmjn wan@gmail.com
Posting Komentar