Raudlatuth Thalibin wa ‘Umdatul Muftiin lil-Imam al-Hafidz Syaikhul Islam Muhyiddin Abi Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqiy asy-Syafi’i (w. 676 H)
"Cabang : “disunnahkan bagi laki-laki untuk melakukan ziarah kubur, dan apakah bagi wanita dimakruhkan ? dalam hal ini ada dua pandangan, pertama adalah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ‘ulama yaitu dimakruhkan, dan kedua adalah pendapat yang lebih shahih menurut Imam al-Hafidz ar-Ruyani tidak dimakruhkan apabila aman dari fitnah. Bagi zair (peziarah) sunnah mengucapkan : “Salamun ‘Alaykum Dara Qawmi Mu’miniin, wa Innaa InsyaAllahu ‘an Qariibi bikum Laa Hiquun, Allahumma laa Tahrimnaa Ajrahum wa Laa Taftinna Ba’dahum”. Dan sepatutnya bagi zair (peziarah) agar mendekat dari kubur dengan kadar seperti dekatnya kepada kawannya ketika masih hidup. al-Qadli Abi ath-Thayyib ditanya tentang pembacaan al-Qur’an di area pekuburan, maka ia menjawab ; ada pahala bagi pembacanya, sedangkan mayyit seperti orang yang hadlir, yang diharapkan ia mendapatkan rahmat dan berkah, maka disunnahkan membaca al-Qur’an diarea pekuburan untuk makna ini, dan juga (disunnahkan do’a) sebab do’a mengiringi pembacaan al-Qur’an lebih dekat di kabulkan, dan do’a bermanfaat bagi mayyit.[1]
Faidah :
- Ziarah kubur hukumnya sunnah bagi laki-laki sedangkan bagi wanita tidak dimakruhkan apabila aman dari fitnah, itu artinya mubah bagi wanita, bahkan sunnah jika ziarah kubur para Nabi dan para shalihin, sebagaimana keterangan dikitab-kitab lainnya.
- Disunnahkan mengucapkan salam kepada ahli kubur.
- Disunnahkan membaca al-Qur’an di pekuburan,
- Disunnahkan berdo’a di pekuburan mengiringi bacaan al-Qur’an,
Menghidangkan Makanan
"Sebuah fashal : disunnahkan bagi tetangga mayyit dan kerabat-kerabatnya yang jauh untuk menyiapkan makan untuk keluarga mayyit, mengeyangkan mereka baik siang maupun malamnya, dan disunnahkan untuk memaksa agar keluarga mayyit makan. Aku (an-Nawawi) katakan : shahibusy Syamil berkata, adapun keluarga mayyit mengurusi makanan dan mengumpulkan manusia padanya, itu tidak pernah diperkataan tentangnya, ia berkata : itu bid’ah ghairu mustahabbah, dan itu seperti apa yang pernah ia katakan. Ulama lainnya berkata : walaupun mayyit berada pada sebuah negeri sedangkan keluarganya pada negeri yang lain maka tetap disunnahkan bagi tetangga keluarga mayyit untuk membawakan makanan untuk mereka. Meskipun Imam Rafi’i berkata ; disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit itu lebih bagus untuk menyamakan tentang hal ini. Wallahu A’lam. Dan seandainya wanita berkumpul meratapi mayyit maka itu tidak boleh membawakan makan untuk mereka, sebab itu mendukung kema’siatan. [2]
Faidah :
- Bagi tentangga dan kerabat mayyit hendaknya membawakan makanan untuk keluarga mayyit, sebab ini sunnah. Dan kita umat bersyukur sebab amalan sunnah seperti ini telah menjadi kebiasaan masyarakat muslim –termasuk di Indonesia-.
- Hendaknya keluarga mayyit dipaksa untuk makan, maksudnya adalah meminta keluarga mayyit untuk menjaga kondisi atau kesehatan mereka, sebab dalam suasana seperti itu kadang tidak ada selera untuk makan.
- Misal : mayyit berada di Makkah (meninggal disana) namun keluarganya berada di Indonesia, maka tetap disunnahkan bagi tetangga keluarga mayyit untuk membawakan makanan untuk keluarga mayyit (yang berada di Indonesia).
- Tidak boleh wanita berkumpul merapi mayyit juga tidak boleh membawakan makan untuk wanita-wanita yang berkumpul meratapi mayyit. Ulama ada yang mengatakan bahwa ini hukumnya haram.
- Keluaga mayyit (keluarga Almarhum/Almarhumah) tidak perlu mengurusi makan untuk perkumpulan masyarakat, sebab ini “bid’ah ghairu mustahabbah” (bukan haram/berdosa). Penetapan “ghairu mustahabbah” karena fokus terhadap illat yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayyit yang mana hal itu akan menambah kesibukan mereka (membuat mereka repot), menambah kesedihan serta membebani mereka. Adapun jika bermaksud menshadaqahkan harta mereka yang pahalanya untuk mayyit maka ini sunnah, dan pahalanya serta bermanfaat untuk mayyit. Jika memaksudkan demikian, maka nampak bahwa keluarga mayyit tidak merasa sibuk dan terbebani, sebab shadaqah yang mereka keluarkan adalah karena keikhlasan dan tekad mereka sendiri demi anggota keluarganya yang meninggal.
Faidah lain yang bisa diambil adalah bahwa tidak semua bid’ah dihukum sebagai sesuatu yang haram, hal ini banyak disebutkan dalam kitab-kitab ulama madzhab. Walaupun diatas dikatakan sebagai perbuatan bid’ah namun ulama mengkategorikannya sebagai bid’ah ghairu mustahabbah (bukan haram).
Ini karena bid’ah sendiri itu bukan status hukum. Bid’ah adalah sebuah istilah untuk menyebut suatu perkara baru bukan berasal dari Nabi, dan belum ditetapkan status hukumnya. Untuk menetapkan status hukumnya harus melalui pengkajian dan berdasarkan kaidah-kaidah syariat dalam menetap hukum.
Status hukum dalam Islam ada 5 yaitu
- Wajib/Fardlu,
- Sunnah/mandub/mustahab,
- Mubah/jaiz,
- Makruh dan
- Haram.
Makanya, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut seperti yang sebagian orang jahil lakukan, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram.
Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya.
- Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)”,
- Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)”.
- Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)”.
- Jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/mustahab/mandub)”.
- Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.
Oleh karena itu, tidak semua bid’ah itu terkategori sesat dan dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Contoh-contoh semacam ungkapan diatas begitu banyak dikitab-kitab Ulama.
Wallahu A’lam.
Wallahu A’lam.
Oleh : Ats-Tsauriy (Bangkalan).
[1] 2/139____
فرع : يستحب للرجال زيارة القبور، وهل يكره للنساء؟ وجهان. أحدهما: وبه قطع الأكثرون: يكره. والثاني، وهو الأصح عند الروياني: لا يكره إذا أمنت من الفتنة. والسنة أن يقول الزائر: سلام عليكم دار قوم مؤمنين، وإنا إن شاء الله عن قريب بكم لاحقون، اللهم لا تحرمنا أجرهم، ولا تفتنا بعدهم. وينبغي للزائر، أن يدنو من القبر بقدر ما كان يدنو من صاحبه في الحياة لو زاره. وسئل القاضي أبو الطيب عن قراءة القرآن في المقابر فقال: الثواب للقارئ، ويكون الميت كالحاضر، ترجى له الرحمة والبركة، فيستحب قراءة القرآن في المقابر لهذا المعنى، وأيضا فالدعاء عقيب القراءة أقرب إلى الإجابة، والدعاء ينفع الميت.
[2] 2/145___
فصل : يستحب لجيران الميت، والأباعد من قرابته، تهيئة طعام لأهل الميت، يشبعهم في يومهم وليلتهم، ويستحب أن يلح عليهم في الأكل. قلت: قال صاحب (الشامل) وأما إصلاح أهل الميت طعاما، وجمعهم الناس عليه، فلم ينقل فيه شيء، قال: وهو بدعة غير مستحبة، وهو كما قال. قال غيره: ولو كان الميت في بلد، وأهله في غيره، يستحب لجيران أهله اتخاذ الطعام لهم. ولو قال الإمام الرافعي: يستحب لجيران أهل الميت، لكان أحسن، لتدخل فيه هذه الصورة. - والله أعلم -. ولو اجتمع نساء ينحن، لم يجز أن يتخذ لهن طعاما، فإنه إعانة على معصية.
Diposting juga di : http://www.facebook.com/notes/tahlilan-yasinan-selamatan-dibawah-naungan-dan-kebijaksanaan-ahlul-ilmi/raudlatuth-thalibin-membaca-quran-di-kuburan-menghidangkan-makanan/140214222699720
0 Response to "Raudlatuth Thalibin : Membaca Qur'an di Kuburan - Menghidangkan Makanan"
Posting Komentar