إذا وجد المقلد حديثا مخالفا لرأي إمامه فهل يعمل به : إجابة الحافظ العراقي
سئل الحافظ أبو زرعة ابن العراقي كما في " الأجوبة المرضية عن الأسئلة المكية " (ص:65) عن :
المقلد إذا وجد حديثاً صحيحاً على خلاف ماأفتى به إمامه في الفروع ، يجوز له العمل بالحديث حينئذ أم لا ؟ مع علمه بأن ذلك الحديث غير منسوخ ولامقيّد ؟
المقلد إذا وجد حديثاً صحيحاً على خلاف ماأفتى به إمامه في الفروع ، يجوز له العمل بالحديث حينئذ أم لا ؟ مع علمه بأن ذلك الحديث غير منسوخ ولامقيّد ؟
الجواب : إن الشافعي رحمه الله تعالى صح عنه أن قال : مامن أحد إلا وتذهب عليه سنة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعزب عنه ، فمهما قلتُ من قول أو أصّلت من أصل فيه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم خلاف ماقلتُ ، فالقول ماقال رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو قولي ، وفي لفظ آخر : إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ماقلت ، فالمقلد للشافعي إذا وجد حديثاً صحيحاً على خلاف ماأفتى به الشافعي مع علمه بأنه ليس منسوخاً ولامعارضاً بما هو أرجح منه عمل به ، وهو حينئذ مذهب الشافعي بشرط أن يكون المقلد المذكور فيه أهلية معرفة صحيح الحديث من سقيمه ، وأهلية فهم الحديث والعمل به والإحاطة بما في ذلك الباب من الأدلة ، ومعرفة شروط الترجيح وبشرط أن يكون نَظَر كلام الشافعي رحمه الله تعالى في تلك المسألة في مظانه ، وعلم أن الشافعي لم يطلع على ذلك الحديث وتركه لمعارض ، ولهذا قال الماوردي : مذهب الشافعي أن الصلاة الوسطى صلاة العصر لصحة الحديث به مع كون الشافعي نص على أنها الصبح لكونه لم يبلغه الحديث المذكور ، وأما آحاد الناس فليس لهم ذلك ، وكيف يعمل بالحديث من لا يميز صحيحه من سقيمه ولايتأهل للعمل به وليس عنده من النظر ومعرفة قواعد الأصول مايهتدي به إلى ذلك ولاعنده أيضاً إحاطة بكلام الشافعي بحيث يعلم كون الشافعي علم ذلك الحديث أو لم يعلم به ، والظن بسائر الأئمة رحمهم الله تعالى أنهم يقولون في ذلك كقول الشافعي لكن لما لم ينقل عنهم التصريح بذلك لم يجز لنا أن نجعل ذلك مذهباً لهم ونحكيه عنهم ونقوّلهم به ، نعم لايسوغ عندي لمن هو من أهل الفهم ومعرفة صحيح الحديث من سقيمه والتمكن من علمي الأصول والعربية ومعرفة خلاف السلف ومأخذهم إذا وجد حديثاً صحيحاً على خلاف قول مقلِّده أن يترك الحديث ويعمل بقول إمامه وإن لم يجوز له أن يجعل ذلك مذهباً له ، وقد روى البيهقي في " المدخل " بإسناد صحيح إلى عبدالله بن المبارك قال : سمعت أبا حنيفة يقول : إذا جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم فعلى الرأس والعين ، وإذا جاء عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم نختار من قولهم ، وإذا جاء عن التابعين زاحمناهم . أهـ
Jika seorang muqallid menemukan sebuah hadits shahih yang dari segi dhahirnya bebeda dengan apa yang difatwakan oleh imam madzhabnya, apakah muqallid tersebut boleh mengamalkan hadits tersebut dalam masalah ini atau tidak ?
Jawaban al-Hafidz al-Iraqi :
Al-Hafidz al-Iraqi pernah ditanya tentang permasalahan tersebut, seperti yang terdapat dalam kitab; Al-Ajwibah al-Mardliyyah ‘an al-As’ilah al-Makiyyah hlm 65.
Jawaban beliau yaitu: Memang benar bahwasanya imam asy-Syafi’i telah berkata; Tidak ada seorang manusia pun kecuali dia akan semakin ditinggalkan oleh sunnah Rasul shalallahu’alaihi wasallam dan semakin jauh darinya. Maka ketika saya berfatwa tentang suatu permasalahan dan menyampaikan suatu masalah dan ternyata apa yang saya sampaikan menyelisihi apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah sahalalahu ‘alaihi wasallam, maka pegangilah apa yang telah disampaikan oleh Rasul tersebut. Dan apa yang telah disampaikan Rasul, itu adalah juga pernyataan saya.
Dalam redaksi yang lain beliau (Imam asy-Syafi’i berkata); Jika kamu semua menemukan dalam kitabku sebuah pernyataan yang menyelisihi sunnah Rasul shalallahu’alaihi wasallam, maka beramalah dengan sunnah Rasul tersebut dan tinggalkanlah pernyataanku.
Seorang yang mengikut pendapat Imam asy-Syafi’i jika menemukan sebuah hadits shahih yang menyelisihi atas apa yang telah difatwakan oleh imam asy-Syafi’i yang didasari atas pengetahuannya bahwasanya hadits tersebut bukan mansukh (dinasakh) atau tidak bertentangan dengan hadits yang lebih Raji, maka bagi sang muqallid harus mengamalkan hadits tersebut (dan meninggalakn apa yang telah difatwakan oleh imam as-Syafi’i-red). Dan apa yang diamalkan tersebut akan menjadi madzhabnya (ajarannya-red) imam asy-Syafi’i, dengan syarat sang muqallid tersebut haruslah orang yang :
- Memang memiliki kemampuan dalam meneliti tentang keshahihan suatu hadits dan ketidak shahihannya.
- Mampu memahami pengertian yang dikandung hadits dan perbuatan yang dimaksudkannya.
- Mampu menguraikan bab tersebut dengan didukung oleh dalil-dalil yang lain.
- Mengetahui syarat-syarat dalam masalah Tarjih.
- Mengetahui pendapat imam asy-Syafi’i dalam masalah tersebut dan mengatahui apa yang yang dimaksudkan oleh beliau.
Mengetahui bahwasanya imam asy-Syafi’i belum pernah menelaah hadits yang ditemukannya tersebut dan meninggalkannya karena adanya pertentangan dengan dalil-dalil yang lain.
Dalam permasalahan ini, imam al-Mawardi memberikan contoh yaitu; dalam madzhab Syafi’iyyah yang dimaksud dengan shalat al-Wustha adalah shalat ‘Ashar dengan dasar adanya hadits shahih yang menjelaskan hal ini, walaupun dalam redaksi yang tertulis dalam kitabnya, imam asy-Syafi’i menuliskan bahwa maksud shalat al-Wustha adalah shalat Shubuh. Hal ini disebabkan karena hadits shahih yang menjelaskan bahwa shalat al-Wustha adalah shalat ‘Ashar tidak sampai kepada beliau.
Adapun mengenai seseorang yang tidak memiliki keahlian dalam hal-hal yang telah disebutkan di atas, bagaimana mungkin dia dapat mengamalkan suatu hadits (walaupun shahih-red), sedangkan dia tidak memiliki kemapuan untuk membedakan mana hadits yang shahih dan mana yang bukan, serta tidak mampu untuk mengusahakannya. Juga orang tersebut tidak mempunyai suatu kemampuan metodologis dan tidak mengetahui kaedah-kaedah ushul yang sangat penting untuk memahami hadits tersebut. Tidak mampu mejelaskan tentang apa yang disampaikan oleh imam asy-Syafi’i, dengan gambaran orang tersebut tidak mampu menunjukkan bukti bahwasanya imam asy-Syafi’i mengetahui hadits tersebut atau tidak.
Dan persangkaan yang kuat adalah, bahwasanya seluruh Imam-imam Madzahib Rahimahumullah pasti akan menyatakan hal yang sama, seperti yang telah disampaikan oleh imam asy-Syafi’I di atas. Tetapi jika belum jelas benar hal-hal yang telah disebutkan di atas yang disandarkan kepada mereka (para Imam-imam), kita tidak boleh menjadikan penjelasan yang ada dalam hadits shahih yang kita temukan, sebagai madzhab para imam-imam tersebut, atau menceritakan bahwa ini adalah ajaran dari salah satu imam madzhab.
Menurut kami, bagi orang yang memiliki kemampuan untuk memahami suatu hadits, memiliki pengetahuan tentang shahih atau tidaknya hadits, memiliki pengetahuan tetang ilmu-ilmu ushul, mengetahui tata bahasa arab, serta mengetahui perbedaan pendapat dikalangan ulama’ salaf dan mengetahui dasarnya masing-masing. Orang tersebut jika menemukan suatu hadits yang menyelisihi pendapat imam madzhabnya, tidak diperkenankan untuk meninggalkan hadits shahih tersebut, lalu memilih mengikuti pendapat imam madzhabnya. Walaupun pemahaman dari hadits yang ditemukannya tersebut, tidak boleh dijadikan sebagai madzhabnya sendiri.
Telah diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang shahih dari Imam Abdullah bin Mubarak beliau berkata, saya mendengar bahwasanya Imam Abu Hanifah telah berkata; “Jika sesuatu itu datangnya dari Nabi maka akan kami jadikanlah hal yang utama (tinggalkan yang lain-red), jika datangnya dari Sahabat Nabi maka kami akan memilih pendapat mereka, jika datangya dari Tabi’in maka kami akan mencukupkan diri”.
Wallahu A’lam bi ash-Showab.
Oleh : Kang As'ad http://www.facebook.com/asyad.adam