Latest Updates

Kenapa Berbeda Dengan Syafi'iyah ; Sekilas tentang Imam Syathibi dan al-I'tisham

Oleh : KH. Muchib Aman Aly

Nama lengkap Imam al-Syaithibi adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syathibi al-Gharnati (790/1388). Beliau adalah salah satu ulama penting dalam madzhab Maliki. Beliau dianggap sebagai pembaharu khususnya melalui gagasan masalih mursalah yang menjadi ide pokok dari doktrin ushul fiqh dan fatwa-fatwanya. Ia terkenal dengan dua karyanya al-muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah dan al-I'tisham yang banyak mempengaruhi ulama-ulama Arab modern khusunya dalam bidang hukum syari'ah. Beliau wafat pada tanggal 8 Sya'ban 790 H, data ini terekam dalam salah satu karya muridnya yaitu Nayl al-Muna yang merupakan ringkasan dari kitab al-Muwafaqat

Meskipun beliau terkenal dengan sebutan al-Syathibi, tapi al-Syatibi sendiri adalah salah satu ulama Andalus. Kata Syathibi pada akhir namanya banyak menyebabkan kekeliruan para pengkaji orientalis, seperti Golziher, Brockelmann yang mengatakan bahwa Syathibi dilahirkan di Syathiba (Xativa atau Jativa) sebelum hijrah ke Granada. Namun itu tidak mungkin terjadi, karena secara kronologis daerah Syatiba pada masa itu telah diambil kaum salib. Menurut sejarah, kaum Muslimin terakhir yang terusir dari Syathiba adalah pada tahun 645/1247). 

Kebanyakan penulis dan ulama berpendapat bahwa Syathibi dibesarkan di Granada dan menerima pendidikan awal di kota yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Nasrid itu. Masa muda Syathibi bertepatan dengan zaman keemasan Islam di Granada di bawah pemerintahan sultan Muhammad V al-Ghani Billah. Granada menjadi pusat studi, menarik pelajar dan ulama dari segenap penjuru Afrika Utara. Diantaranya adalah tokoh terkenal Ibnu Khaldun dan Ibnu Khatib. Informasi mengenai kapan dan subjek apa saja yang telah dipelajari Syathibi pada masa mudanya tidak banyak diketahui. Namun berdasarkan guru-guru yang terlibat mengajarnya bisa ditarik kesimpulan bagaimana perjalanan pendidikan Syathibi. 

Pendidikan syatibi dimulai dengan mempelajari bahas Arab. Dalam hal ini Syathibi menerima pelajaran dari dua orang tokoh masyhur yaitu Abu Abdillah Muhammad bin 'Ali al-Fakhkhar al-Biri yang terkenal dengan Syeh al-Nuhat di Andalusia. Syathibi tinggal bersamanya sehingga gurunya wafat tahun 754/1353. Guru kedua Syathibi dalam bahasa Arab adalah Abu Qasim al-syarif al-sabti (760/1358) ketua qadi di Granada dan pengarang komentar Maqshura-nya Hazim. Kemudian berguru kepada Faqih Masyhur Andalusia Abu Sa'id Ibnu Lubb. Dibawah bimbingan Ibnu Lubb, syathibi mendapat bimbingan hampir semua pengetahuannya tentang fiqh, sehingga ia merasa berhutang besar pada sang guru, meskipun dikemudian hari ia terlibat dalam perdebatan panjang mengenai issu dengan gurunya tersebut. 

Syatibi juga mengambil ilmu dari beberapa ulama yang berkunjung ke Granada pada masa itu, seperti Abu Abdillah al-Maqarri yang datang ke Granada pada tahun 757/1356 dalam misi diplomatik yang dikirim oleh Marini Sultan Abu Inan. Maqarri adalah pengarang buku nahwu dan terkenal sebagai pemegang gelar Muhaqqiq fiqh dalam madzhab Maliki. Maqarri juga tokoh yang memperkenalkan Razism dalam Ushul fiqh dan Sufisme khusunya tarekat Syadziliyyah kepada Syathibi. Salah satu karyanya yang terkenal adalah al-Haqa'iq wa al-Raqa'iq fi al-Tasawwuf

Selain mempelajari bahasa dan fiqh, Syathibi juga mendalamai filsafat dan kalam serta ilmu-ilmu 'aqliyah lainnya, dalam hal ini ia mendapat bimbingan dari beberapa ulama, diantaranya adalah Abu Manshur al-Zawawi yang datang ke Granada pada tahun 753/1352 [i] . walaupun tokoh ini kemudian terusir dari Granada karena terlibat dalam perdebatan dengan para ahli hukum Granada dan menghadapi berbagai tuduhan, mengenai ulama ini Ibnu Khatib memuji kepakarannya baik dalam ilmu aqliyah maupun naqliyah.  

Kehidupan Syathibi

Dalam hidupnya Syatibi pernah menghadapi tuduhan pembawa bid'ah. Namun secara pasti waktunya tidak diketahui. Tuduhan ini bermula dari rasa keingintahuan Syathibi yang besar sehingga menimbulkan berbagai persoalan yang ia perdebatkan dengan para fuqaha' berpengaruh pada saat itu. Besar kemungkinan hal ini terjadi pada masa ia menulis kitab monumentalnya yaitu al-Muwafaqat, dimana ia telah menghubungi beberapa ulama tentang beberapa masalah hingga akhirnya dihadapkan ke mahkamah atas tuduhan bid'ah. Dalam karyanya al-I'tisaham, Syathibi menyebutkan beberapa masalah yang menjadi sebab tuduhan bid'ah kepadanya. Diantaranya ia mengatakan: "Kadang-kadang aku dituduh mengatakan bahwa do'a itu tidak mempunyai maksud. Hal ini dikarenakan aku tidak mempraktekkan do'a bersama setelah shalat jama'ah" [ii]. "Aku dituduh sebagai pengikut Rafidah dan membenci sahabat. Hal ini disebabkan aku tidak menyebut nama-nama mereka dalam khutbah" [iii]. "Aku juga dituduh lebih menyukai pertentangan dengan para pemimpin karena aku tidak menyebutkan nama mereka dalam khutbah" [iv]. " Aku dituduh fundamentalis dan kolot. Hal ini karena selalu berpegang pada tradisi yang telah mapan dalam kewajiban dan fatwa-fatwaku. Sementara mereka selalu mengenyampingkan tradisi dan mengeluarkan fatwa sesuai dengan permintaan". [v]

Dari pernyataan diatas bisa disimpulkan bahwa secara umum tuduhan bid'ah kepadanya disebabkan oleh penentangannya kepada ajaran-ajaran para fuqaha' pada masa itu, khusunya dalam persoalan-persoalan diatas. Salah satu persoalannya penyebutan nama sultan dalam khutbah serta do'a untuknya di akhir setiap shalat berjama'ah. Menurut Syathibi amalan ini adalah bid'ah. Penyebutan nama sultan atau khalifah dalam setiap khutbah jum'at adalah symbol legitimasi yang telah lama dijalankan, bahkan pemerintahan Muwahhidun menambah amalan ini pada setiap shalat-shalat berjama'ah. Sebelumnya beberapa ulama sudah pernah mencoba menentang praktek ini dengan resiko. Syathibi dalam hal ini secara terbuka juga mengemukakan penentangannya sehingga ia dipecat dari jabatan imam dan dihadapkan ke mahkamah [vi]. Pendapatnya ini telah menggugat keberadaan para tokoh agama pendukung pemerintah. Menarik untuk dilihat dalam hal ini, Syathbi juga ditentang oleh seluruh qadi di Andalus dan Afrika Utara serta elit politik yang berkuasa pada masa itu. Beberapa ulama ahli hukum ada yang menulis bantahan mereka terhadap pendapat Syathibi ini. Diantara yang sampai kepada kita adalah Abu al-Hasan al-nubahi ketua qadi Granada, Abu Sa'id Ibnu Lubb rektor madrasah Nashiriyah Granada yang juga guru Syathibi[vii], Muhammad al-Fishtali [viii], ketua qadi di Fez dan Ibnu Arafah ketua qadi di Tunisia [ix]. Hanya Abu Yahya ibnu 'Ashim, murid Syathibi saja yang mendukung Syathibi. 

Diantara persoalan-persoalan pokok yang menjadi topik perdebatan panjang Syathibi dengan beberapa ulama pada masa itu adalah masalah pajak dan tasawwuf. Masalah penambahan pajak timbul karena kondisi keuangan Granada yang kritis pada masa itu, sehingga memaksa khalifah untuk menambah pungutan pajak. Mufti Granada dan beberapa ulama terkenal lainnya mengatakan penambahan pajak tersebut tidak sejalan dengan syari'ah. Namun Syathibi mementang pendapat mufti Ibnu Lubb yang juga gurunya itu dengan argumen bahwa perlindungan terhadap kepentingan publik merupakan tanggung jawab orang banyak (masyarakat). Tanggung jawab ini bisa ditukar oleh masyarakat dengan membayar kepada Negara. Jadi membayar pajak juga merupakan kewajiban bagi masyarakat. 

Dalam bidang tasawwuf beberapa ulama ahli hukum mengklaim bahwa penyerahan diri kepada syaikh merupakan suatu kewajiban. Hal ini ditentang oleh Syathibi, menurutnya otoritas agama hanya dipegang Nabi Muhammad SAW, unutk itu ia telah menulis bantahan kepada para ulama di Afrika Utara. Tiga diantara respon dari ulama itu yang sampai kepada kita adalah dari Ibnu Qabbab (770/1377) dan Ibnu 'Abbad (792/1389) yang terekam dalam kitab al-Mi'yar al-mughrib wa al-Jami' al-Mu'arrab 'an Fatawa 'Ulama' Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib karya Abu Abbas Ahmad al-Wansyarisi (914/1506), yang ketiga tertulis dalam kitab Syifa'u al-Sa'il li Tahdzbi al-Masa'il karya Ibnu Khaldun. 

Kitab al-I'tisaham
 
Kitab al-I'tisham ini pernah diterbitkan sebahagian dalam majalah al-Manar edisi XVll tahun 1333/1913. secara keseluruhan kitab ini diterbitkan di Mathba' Mushtafa Muhammad sekitar tahun 1915. edisi ini diedit oleh Muhammad Rasyid Ridla, editor majalah al-Manar, berdasarkan manuskrip tidak lengkap dari perpustakaan Syanqithi. Kitab ini juga pernah di review oleh D.S.Margoliouth di J.R.A.S. tahun 1916.

Kitab ini secara khusus membahas tentang tinjauan fiqh dalam hal bid'ah. Diantara persoalan yang dibicarakan adalah definisi bid'ah, macam-macam bid'ah, perbedaan antara bid'ah dan al-masalah al-mursalah, bid'ah dan madzhab-madzhab serta hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan. Dalam kitab ini Syathibi menjelaskan bahwa bid'ah hanya berhubungan dengan ibadah atau ritual, karena ia diketahui melalui wahyu bukan akal, dan ia tidak bisa ditambah-tambah, bagaimanapun kalau dalam kehidupan ada praktek yang dijalankan sebagai ibadah ia juga termasuk dalam bid'ah. Dan Syathibi berpendapat tidak ada bid'ah hasanah (yang baik), semua bid'ah adalah madzmumah (tercela). Sayathibi memaparkan berbagai argumennya untuk mematahkan pendapat Izzuddin bin Abdus Salam al-Syafi'i yang membagi hukum bid'ah menjadi lima, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sementara masalah penyimpangan dalam agama menurut Syathibi terjadi umumnya disebabkan dua factor: pertama kurangnya pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah. Kedua ketidak tahuan tentag maksud dan tujuan dari hukum Islam.

Kriteria bid'ah dalam perspektif fiqh madzhibul arba'ah menjadi perdebatan yang tajam. Tinjauan madzhab syafi'i berbeda sama sekali dengan tinjauan ulama madzhab Maliki yang dianut oleh Syathibi. Dalam pandangan Imam Malik, amalan yang meskipun secara prinsip tercakup dalam dalil-dalil syar'i akan tetapi tidak dijalankan oleh para sahabat Nabi dan tabi'in, termasuk dalam kategori bid'ah. Sementara Imam syafi'i tidak gegabah dalam menilai bid'ah pada amalan yag secara prinsip tercakup dala dalil syar'i, karena dimungkinkan para sahabat atau tabi'in tidak menjalankannya dengan pertimbangan ada yang lebih utama atau tidak ada kesempatan untuk melakukannya. Demikian juga amalan yang secara prinsip tidak bertentangan dengan dalil-dalil umum syar'i serta tidak ada celah penyimpangan terhadap dalil syar'i, Imam Malik mengkategorikan sebagai amalan bid'ah yang tercela. Sementara madzhab syafi'i lebih bersikap hati-hati dan tidak mengkategorikan sebagai amalan bid'ah. Atas dasar inilah perbedaan para ulama mengenai hukum memukul terbang dan membaca dzikir dan do'a dengan keras dan bersama-sama, karena ada beberapa hadits yang secara umum menganjurkan pembacaan dzikir dan do'a meskipun praktek seperti itu tidak dikenal pada masa sahabat Nabi dan tabi'in [x]

Dengan demikian tidaklah mengherankan jika penjelasan Syathibi dalam kitab al-I'tisham serta beberapa fatwa-fatwanya banyak yang tidak sejalan dengan tradisi keagamaan kaum muslim Indonesia khususnya dan pengikut madzhab Syafi'i umumnya. Syathibi dalam kitab I'tishamnya juga banyak mengecam kegiatan ritual pengikut madzhab syafi'i dan menyampaikan argumen-argumennya untuk mematahkan pendapat ulama-ulama madzhab Syafi'i. 

Wallohul Muwaffiq ila Aqwami al-Thoriq.
Pasuruan: 25 Januari 2006 ; http://solusinahdliyin.net/wacana/287-sekilas-tentang-imam-syathibi-dan-al-itisham.html



[i] Ahmad Baba, Nayl al-Ibtihaj, Kairo 1351, hal.245.
[ii] Al-I'tisham hal. 11.
[iii] ibid
[iv] ibid
[v] ibid
[vi]Abu Abbas Ahmad al-Wansyarisi Al-Mi'yar fas vol lX hal. 109
[vii] Muhammad Makhluf Syajara al-Nur al-Zakiyya Kairo, 1349 hal. 231.
[viii] Ahmad Baba, Nayl al-Ibtihaj, Kairo, 1351, hal. 266
[ix] al-Mi'yar Vol.Vl hal. 258.
[x] Muhammad Hsyim Asy'ari, Risalah Ahlissunnah wa al-Jama'ah hal. 6-7

Media Islam

Thariqat Sarkubiyah

NU Online