MENYEDERHANAKAN BAHASAN
Mayyit (orang mati) tentunya tidak mungkin bisa melakukan perbuatan (amal) tertentu karena sudah meninggal. Namun, mayyit tetap bisa mendapatkan manfaat dari amalnya sendiri (perbuatan si mayyit sendiri) yakni berupa :
1. Shadaqah Jariyah.
Jika seseorang menshadaqahkan hartanya misal untuk pembangun masjid, madrasah dan lainnya, itu adalah amalnya (pebuatan) ketika masih hidup, yang mana ia pahalanya akan terus mengalir kepadanya serta memberikan manfaat kepadanya baik ketika masih hidup maupun ketika ia mati. Itu amalnya sendiri.
2. Ilmu Yang Bermanfaat.
Seseorang yang ketika hidupnya menyebarkan ilmu semisal dengan cara mengajar ilmu Fiqh, hadits dan lain sebagainya, maka ia akan mendapatkan pahala yang bermanfaat baginya baik ketika ia hidup maupun ketika ia mati. Pahala akan terus mengalir seiring dengan dimanfaatkannya ilmu yang ia telah ajarkan. Itu termasuk dari amalnya sendiri.
3. Anak Shalih Yang Berdo’a Untuknya.
Adanya seorang anak karena adanya kedua orang tuanya, dimana kedua orang tuanya yang berusaha atas adanya seorang anak, oleh karena itu amal seorang anak merupakan bagian dari usaha (amal) dari kedua orang tua. Maka apabila seseorang memiliki anak dan anak tersebut berdo’a untuknya, maka itu termasuk dari amal seseorang itu sendiri (bukan orang lain).
Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“apabila seorang manusia mati maka terputus darinya amalnya (perbuatanya) kecuali yang berasal dari tiga hal yakni : shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang berdo’a untuknya”. []
Dari tiga hal tersebut akan terus mengalir pahalanya yang akan memberikan manfaat kepada orang mati. Namun bagaimana jika orang lain yang beramal untuknya atau ditujukan kepadanya ?
AMAL DARI ORANG LAIN BERUPA DO’A (DO’A ORANG LAIN)
Do’a dari orang lain adalah do’a yang dilakukan oleh orang lain (bukan si mayyit) yang ditujukan kepada orang mati. Misal, seorang muslim berdo’a untuk sahabatnya yang meninggal dunia. Maka itu adalah do’a yang berasal dari orang lain, sekaligus itu adalah amal orang lain (bukan amal si mayyit). Ini adalah salah satu bagian yang ada dalam tahlilan (kenduri arwah).
Amal dari orang lain yang berupa do’a ini akan memberikan manfaat kepada mayyit (orang mati) yang dido’akan. Orang lain yang dimaksud adalah selain diri mayyit juga selain anak kandung dari si mayyit sendiri, misalnya seperti saudara, paman, bibi, sepupu, teman dan sebagainya. Ulama Ahl Sunnah telah sepakat bahwa do’a bermanfaat bagi mayyit meskipun itu berasal dari amal orang lain. Demikian juga ulama dari aliran Wahhabiyah menyetujui bahwa orang mati bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa do’a.
Fatawa al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Iftaa Menyetujui Bahwa Mayyit Bisa Mendapatkan Manfaat dari Amal Orang Lain Berupa Do’a, yakni pada pertanyaan ke-13 dari fatwa no. 3323 yang anggota antara lain : Syaikh Abdullah bin Qu’ud, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua.
س13: ما قولكم في الدعاء للميت؛ هل هو نافع أم لا؟
“Soal : apa komentar kalian tentang do’a untuk orang mati ; apakah itu bermanfaat atau tidak ?”
ج13: الدعاء الشرعي ينفع الميت بإجماع أهل السنة والجماعة؛ لقوله تعالى: وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
jawaban : “do’a syar’i memberikan manfaat bagi orang mati berdasarkan ijma’ (kesepakatan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yakni berdasarkan firmah Allah Ta’alaa { Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang}"
AMAL DARI ORANG LAIN BERUPA SHADAQAH
Shadaqah dilakukan oleh yang hidup untuk orang yang mati, yang berarti bahwa shadaqah tersebut merupakan amal orang lain (bukan amal si mayyit). Amal orang lain yang masih hidup berupa shadaqah yang pahalanya untuk orang mati itu memberikan manfaat bagi mayyit. Hal ini telah disepakati dan menjadi ijma’ ulama Ahl Sunnah wal Jama’ah, dimana aliran Wahhabiyah pun telah menyetujuinya. Artinya aliran Wahhabiyah menyetujui bahwa mayyit bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa shadaqah orang yang hidup. Berikut diantara pernyataannya :
Fatawa al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Iftaa Tentang Amal Dari Orang Lain Untuk Mayyit Berupa Shadaqah yaitu pada sebuah jawaban dari pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 501 yang anggotanya sebagai berikut : Syaikh Abdullah bin Mani’, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua.
ج2: الصدقة عن الميت من الأمور المشروعة، وسواء كانت هذه الصدقة مالا أو دعاء، فقد روى مسلم في الصحيح، والبخاري في الأدب المفرد، وأصحاب السنن عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له » فهذا الحديث يدل بعمومه على أن ثواب الصدقة يصل إلى الميت ولم يفصل النبي صلى الله عليه وسلم بين ما إذا كانت بوصية منه أو بدون وصية، فيكون الحديث عاما في الحالتين، وذكر الولد فقط في الدعاء للميت لا مفهوم له بدليل الأحاديث الكثيرة الثابتة في مشروعية الدعاء للأموات، كما في الصلاة عليهم، وعند زيارة القبور، فلا فرق أن تكون من قريب أو بعيد عن الميت. وفي الصحيحين عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم «أن رجلا قال: يا رسول الله إن أمي ماتت ولم توص، أفلها أجر إن تصدقت عنها؟ قال صلى الله عليه وسلم: نعم
“Jawaban : shadaqah untuk mayyit termasuk perkara yang disyariatkan, sama saja baik shadaqah tersebut berupa harta atau do’a. Sungguh Imam Muslim telah meriwayatkan didalam Ash-Shahih, al-Bukhari didalam Adabul Mufrad dan Ashhabus Sunan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘’anh, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : {apabila cucu Adam mati maka terputus amalnya kecuali 3 hal yakni shadaqah Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang berdo’a untuknya}, hadits ini menujukkan keumumannya atas sampainya pahala shadaqah kepada mayyit dan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak merincikan apakah dengan cara wasiat atau tanpa wasiat, maka keberadaan hadits ini umum pada dua hal tersebut, penyebutan anak saja pada do’a untuk orang mati bukan mafhum untuknya berdasarkan dalil hadits-hadits yang banyak serta tsabit tentang disyariatkannya do’a untuk orang mati, sebagaimana pada shalat jenazah atas mereka, ketika ziarah kubur, dan tidak ada perbedaan baik keberadaaanya itu dekat atau jauh dari mayyit. Dan didalam Ash-Shahihain dari Aisyarah radliyallahu ‘anhaa dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {bahwa seorang laki-laki bertanya : wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan tidak berwasiat, apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bershadaqah untuknya ?, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : iya”}.
Pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 2634 yang anggota nya sebagai berikut : Syaikh Abdullah bin Qu’ud, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua.
س2: هل صدقة الحي عن الميت ينتفع بها الميت؟ ج2: نعم ينتفع الميت بصدقة الحي عنه بإجماع أهل السنة والجماعة؛ لما رواه البخاري ومسلم من حديث عائشة رضي الله عنها؛ «أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إن أمي افتلتت نفسها ولم توص، وأظنها لو تكلمت تصدقت، أفلها أجر إن تصدقت عنها؟ قال: نعم » ، ولما رواه البخاري من حديث عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، «أن سعد بن عبادة رضي الله عنه توفيت أمه وهو غائب عنها، فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن أمي توفيت وأنا غائب عنها فهل ينفعها إن تصدقت عنها؟ قال: "نعم" قال: إني أشهدك أن حائطي المخراف صدقة عنها » . إلى غير ذلك من الأحاديث الصحيحة في الصدقة عن الميت وانتفاعه بها.
“Soal ; apakah shadaqah orang yang hidup untuk orang mati bisa bermanfaat bagi orang mati ?” Jawaban : “Iya, orang mati bisa mendapatkan manfaat dari shadaqah orang yang hidup untuknya berdasarkan ijma’ (kesepakatan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari hadits Aisyah radliyallahu ‘anhaa {bahwa seornag laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan berkata : wahai Rasulullah, sesungguhnya nafas ibuku sesak namun ia tidak berwasiat, dan aku menduga seandainya ia masih bisa bicara ia akan bershadaqah, apakah ia akan mendapat pahala jika aku bershadaqah untuknya ? Nabi menjawab : iya}. Al-Bukhari meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhaa {Sungguh Sa’ad bin Ubadah radliyallah ‘anh ketika ibunya wafat, ia tidak ada disana, maka ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam kemudian berkata : wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku wafat, sedangkan aku tidak ada disampingnya, apakah bermanfaat jika aku bershadaqah untuknya ? Nabi menjawab : “iya”, maka Sa’ad berkata : “Sesungguhnya saksikanlah olehmu ya Rasulullah bahwa aku menshaqahkan isi kebunku untuknya} dan lain sebagainya seperti hadits-hadits yang shahih tentang shadaqah untuk mayyit dan bermanfaat bagi mayyit”.
Jawaban soal ke-1 dari fatwa no. 4669 yang anggotanya adalah Syaikh Abdullah bin Qu’ud, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua
ج1: تشرع الصدقة عن الميتين من المسلمين، وثبت شرعا أنها تنفعهم، وهذا هو مذهب أهل السنة، لكن ليس لها وقت معين، بل في أي وقت تصدق المسلم عن ميت مسلم نفعه ذلك، وإذا تصدق في أوقات الفضائل كرمضان وعشر ذي الحجة كان ذلك أفضل
Jawab : “disyariatkan shadaqah untuk orang-orang muslim yang mati, dan tela’h tsabit secara syariat bahwa itu bermanfaat bagi mereka, inilah madzhab Ahl Sunnah wal Jama’ah, tetapi tiada baginya waktu tertentu, sebaliknya kapan pun seorang muslim bershadaqah untuk mayyit yang muslim niscaya itu bermanfaat, dan apabila bershadaqah pada waktu-waktu yang utama seperti bulan Ramadhan dan 10 Dzulhijjah maka itu lebih utama”.
Sebuah jawaban dari fatwa no. 8975 yang anggotanya adalah Syaikh Abdullah bin Qu’ud, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua. Ini jawaban dari pertanyaan seseorang tentang shadaqah untuk anaknya yang wafat dan bulan apa yang utama untuk bershadaqah.
ج: إن صدقتك عن والدك المتوفى عمل طيب، وأفضل الشهور شهر رمضان، والعشر الأول من شهر ذي الحجة، لما ورد في ذلك من الأحاديث الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Jawaban : sungguh shadaqah anda untuk orang tua anda yang wafat merupakan amal yang bagus, dan bulan yang utama adalah bulan Ramadhan dan sepuluh pertama dari bulan Dzul Hijjah, telah warid tentang hal itu didalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam”.
dan masih banyak fatwa-fatwa lainnya yang menyetujui bahwa mayyit bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa shadaqah.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan didalam Majmu’ Fatawa [1/375]:
، والصدقة عمل صالح ويصل ثوابها إلى من تتصدق عنه فلا بأس بذلك
“dan shadaqah merupakan amal shalih sedangkan menyampaikan pahalanya kepada orang yang dishadaqahkan maka tidak apa-apa dengan hal itu”.
AMAL DARI ORANG LAIN BERUPA TILAWAH (MEMBACA AL-QUR’AN)
Membaca al-Qur’an untuk orang mati maksudnya orang lain beramal dengan membaca al-Qur’an untuk orang mati agar orang mati bisa mendapatkan manfaat dengan hal tersebut. Dalam masalah ini, diantara Ulama Wahhabiyah terdapat perselisihan, misalnya antara komisi fatwa Lajnah Daimah VERSUS Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Kebanyakan fatwa yang mudah dikeluarkan oleh komisi fatwa Wahhabiyah yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Iftaa di Arab Saudi tidak menyetujui pembacaan al-Qur’an untuk orang mati :
PERNYATAAN DARI YANG TIDAK MENYETUJUI
Pertanyaan ke-12 dari fatwa no. 5005 yang terdiri dari Syaikh Abdullah Ghudayyan sebagai anggota dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai ketua. Fatwa ini sepertinya di keluarkan tanpa ke ikut sertaan syaikh lainnya.
س12: هل يجوز قراءة سورة الفاتحة وسورة الإخلاص في مكان وسكن متوفى بعد ثلاثة أيام أم هي بدعة سيئة؟ ج12: لا نعلم دليلا لا من الكتاب ولا من السنة يدل على مشروعية قراءة سورة الفاتحة وسورة الإخلاص أو غيرهما في مكان أو سكن المتوفى بعد ثلاثة أيام، ولا نعلم أن أحدا من الصحابة أو التابعين أو تابعي التابعين نقل عنه ذلك، والأصل منعه؛ لقوله صلى الله عليه وسلم: «من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد » ومن ادعى مشروعيته فعليه الدليل.
“Soal : apakah boleh membaca surah al-Fatihah dan surah al-Ikhlas pada suatu tempat orang mati setelah tiga hari atau itu adalah bid’ah sayyi’ah ? Jawaban : “kami tidak mengetahui dalil baik didalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menunjukkan disyariatkannya membaca surah al-Fatihah, al-Ikhlas dan surah lainnya pada sebuah tempat atau tempat orang mati setelah masa tiga hari, dan kami tidak mengetahui seorang pun dari sahabat, tabi’in, ataupun tabi’it tabi’in yang mengomentari hal tersebut, dan asalnya adalah mencegahnya (melarangnya), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan atasnya perkara kami maka itu tertolak }, dan barangsiapa yang mendakwa disyariatkannya maka harus menunjukkan dalilnya”.
Jawaban dari pertanyaan ke-3 dari fatwa no. 2634 yang anggotanya Syaikh Abdullah Qu’ud, Syaikh Abdur Razaq sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai ketua.
ج3: أولا: إذا قرأ إنسان قرآنا ووهب ثوابه للميت فالصحيح أنه لا يصل إليه ثواب القراءة؛ لأنها ليست من عمله، وقد قال تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} (1) وإنما هي من عمل الحي، وثواب عمله له، ولا يملك أن يهب ثواب قراءة لغيره
“Jawaban : apabila seorang manusia membaca al-Qur’an dan memberikan pahalanya untuk orang mati, maka yang shahih sesungguhnya pahala bacaan al-Qur’an itu tidak sampai, karena bukan amalnya, dan sungguh Allah telah berfirman {dan sungguh tiada bagi manusia kecuali apa yang di usahakannya} sebab itu termasuk amal orang yang hidup dan pahala amalnya baginya, pahala bacaan al-Qur’annya tidak bisa dimiliki oleh orang lain”.
dan masih banyak fatwa-fatwa lainnya yang tidak menyetujui bahwa mayyit bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa tilawah al-Qur'an.
Selain nama-nama diatas, ulama Wahhabiyah lainnya yang tidak menyetujui pembacaan al-Qur’an untuk orang mati adalah Syaikh Shalih al-Fauzan, beliau mengatakan didalam Majmu’ Fatawa[2/687] :
أما قراءة الفاتحة لروح الميت، فهذا لا أصل له في الشرع، ولم يرد به دليل عن النبي صلى الله عليه وسلم، وإنما الوارد في الكتاب والسنة هو الدعاء للميت والاستغفار له، والصلاة على جنازته، وكذلك التصدق عنه، وغير ذلك من أنواع البر، كالحج عنه والعمرة عنه، فهذه الأمور تصل إلى الميت بإذن الله إذا تقبلها الله، وكذلك الأضحية يضحى عن الميت، كل هذه الأمور ورد الشرع بأنها ينتفع بها الميت
Adapun membaca al-Qur’an untuk roh orang mati, ini tidak ada asalnya pada sisi syariat dan tidak ada dalil yang warid tentang hal itu dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, sebaliknya yang warid didalam al-Kitab dan As-Sunnah adalah do’a untuk mayyit, istighfar untuk mayyit, shalat atas jenazahnya dan demikian juga dengan shadaqah darinya untuk mayyit, serta berbagai macam perkara kebaikan lainnya seperti haji dan umrah untuk mayyit. Maka ini merupakan perkara-perkara yang sampai kepada mayyit dengan idzin Allah apabila Allah menerimanya (mengabulkannya). Seperti itu juga dengan penyembelihan (berkorban) untuk mayyit, setiap perkara ini telah warid dalam syariat oleh karena itu bermanfaat bagi orang mati.”
Juga sebuah jawaban pada Majmu' Fatawa [2/688] :
الجواب: الفاتحة من أعظم سور القرآن، بل هي أم القرآن، ولها فضل عظيم، ولكن قراءتها في مثل هذه الحال بأن تقرأ في بعض الأحوال للنبي، أو لغيره، أو لروح فلان، أو لروح الميت، هذا من البدع، لأنه لم يرد به دليل عن النبي صلى الله عليه وسلم
Surah al-Fatihah termasuk paling agungnya surah al-Qur’an bahkan merupakan Ummul Qur’an serta memiliki fadliyah yang agung, akan tetapi membacanya untuk Nabi atau yang lainnya, atau untuk ruh Fulan atau untuk ruh orang mati, maka ini termasuk bid’ah, karena tidak warid tentang hal itu dalil dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Membaca al-Fatihah merupakan ibadah, ibadah harus ada dalilnya maka yang mengatakan disyariatkan membaca al-Fatihah untuk Nabi dan orang mati lainnya, ucapannya itu membutuhkan dalil maka apabila mendatangkan dalil (maka diterima) kecuali tidak, maka ucapan ini tertolak, karena itu bid’ah. dan tidak warid dalil syari’i tentang membaca al-Fatihah untuk ruh Nabi juga tidak untuk yang lainnya. Ini bagian dari bid’ah.
PERNYATAAN DARI YANG MENYETUJUI
Berbeda dari hal diatas, ulama Wahhabiyah lainnya justru mengatakan sebaliknya bahkan menguatkan pendapat yang berseberangan dengan ulama Wahhabiyah lainnya, beliau adalah Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin :
س 722 سئل فضيلة الشيخ رحمه الله تعالى: عن حكم التلاوة لروح الميت؟ فأجاب فضيلته بقوله: التلاوة لروح الميت يعني أن يقرأ القرآن وهو يريد أن يكون ثوابه لميت من المسلمين، هذه المسألة محل خلاف بين أهل العلم على قولين:
القول الأول: أن ذلك غير مشروع وأن الميت لا ينتفع به أي لا ينتفع بالقرآن في هذه الحال. القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين سواء كان قريباً أو غير قريب. والراجح القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت، كما في حديث سعد بن عبادة رضي الله عنه حين تصدَّق ببستانه لأمه، وكما في قصة الرجل الذي قال للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إن أمي أفتلتت نفسها وأظنها لو تكلمت لتصدقت أفأتصدق عنها؟ قال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "نعم" وهذه قضايا أعيان تدل على أن صرف جنس العبادات لأحد من المسلمين جائز وهو كذلك، ولكن أفضل من هذا أن تدعو للميت، وتجعل الأعمال الصالحة لنفسك لأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: "إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له". ولم يقل أو ولد صالح يتلو له أو يصلي له أو يصوم له أو يتصدَّق عنه بل قال: "أو ولد صالح يدعو له" والسياق في سياق العمل، فدل ذلك على أن الأفضل أن يدعو الإنسان للميت، لا أن يجعل له شيئاً من الأعمال الصالحة، والإنسان محتاج إلى العمل الصالح، أن يجد ثوابه له مدخراً عند الله عز وجل“Fadlilatusy Syaikh ditanya : tentang hukum tilawah (membaca al-Qur’an) untuk roh orang mati ?. Jawaban : Tilawah (membaca al-qur’an) untuk roh orang mati yakni membaca al-Qur’an karena ingin memberikan pahalanya untuk mayyit (orang mati) dari kaum muslimin, masalah ini terdapat perselisihan diantara ahlil imi atas dua pendapat : Pertama, sungguh itu bukan perkara yang masyru’ (tidak disyariatkan) dan sungguh mayyit tidak mendapat menfaat dengannya yakni tidak memberikan manfaat dengan pemabacaan al-Qur’an pada perkara ini. Kedua, sesungguhnya mayyit mendapatkan manfaat dengan hal itu, dan sesungguhnya boleh bagi manusia untuk membaca al-Qur’an dengan niat pahalanya untuk fulan atau fulanah dari kaum muslimin, sama saja baik dekat atau tidak dekat (alias jauh). Dan yang rajih (yang kuat) : adalah qaul (pendapat) yang kedua karena sesungguhnya telah warid sebagai jenis ibadah yang boleh memindahkan pahalanya untuk mayyit, sebagaimana pada hadits Sa’ad bin ‘Ubadah radliyallahu ‘anh ketika ia menshadaqahkan kebunnya untuk ibunya, dan sebagaimana kisah seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : sesungguhnya ibuku dalam telah meninggal dunia, dan aku menduga seandainya ia sempat berbicara ia akan meminta untuk bershadaqah, maka bolehkah bershadaqah untuknya ? Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : iya”, ini sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa memindahkan pahala jenis ibadah untuk salah seorang kaum Muslimin adalah boleh, dan demikian juga dengan membaca al-Qur’an. Akan tetapi yang lebih utama dari perkara ini agar mereka berdo’a untuk mayyit, serta menjadikan amal-amal shalih untuk dirimu sendiri karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “Apabila bani Adam mati maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selali mendo’akannya”. Namun tidak dikatakan, anak shalih yang melakukan tilawah untuknya, atau shalat untuknya, atau puasa untuknya, atau shadaqah untuknya bahkan Nabi bersabda : “atau anak shalih yang berdo’a untuknya”, Maka ini menunjukkan bahwa seorag manusia berdo’a untuk mayyit itu lebih utama (afdlal) dari pada menjadikan amal-amal shalihnya untuk mayyit, dan manusia membutuhkan amal shalih agar pahalanya menjadi simpanan disisi Allah ‘Azza wa Jalla.”
Lagi, dalam Majmu Fatawa wa Rasaail [17/220-221] :
وأما القراءة للميت بمعنى أن الإنسان يقرأوينوي أن يكون ثوابها للميت، فقد اختلف العلماء رحمهم الله هل ينتفع بذلك أو لا ينتفع؟ على قولين مشهورين الصحيح أنه ينتفع، ولكن الدعاء له أفضل
"pembacaan al-Qur'an untuk orang mati dengan makna bahwa manusia membaca dan meniatkan agar menjadikan pahalanya bagi orang mati, maka sungguh ulama telah berselisih pendapat mengenai apakah yang demikian itu bermanfaat ataukah tidak ? atas hal ini terdapat dua qaul yang sama-sama masyhur dimana yang shahih adalah bahwa membaca al-Qur'an untuk orang mati memberikan manfaat, akan tetapi yang lebih utama (afdlal) adalah do'a."
Begitulah pendapat dan perselisihan yang ada pada kelompok Wahhabiyah. Mereka menyetujui bahwa mayyit (orang mati) masih bisa mendapat manfaat dari pahala yang dihasilkan oleh amal orang lain. Namun, perselisihan diantara Wahhabiyah adalah terkait pembacaan al-Qur’an untuk orang mati.
Adapun yang rajih (pendapat yang lebih kuat) dan shahih tentang pembacaan al-Qur’an untuk orang mati menurut salah seorang ulama Wahhabiyah sendiri adalah bahwa orang mati bisa mendapatkan manfaat dari bacaan al-Qur’an yang ditujukan kepadanya.
SERBA-SERBI ULAMA ALIRAN WAHHABIYAH
Ulama Wahhabiyah juga menyetujui bahwa mayyit bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa shalat untuk mayyit, haji untuk mayyit, umrah untuk mayyit dan amal kebajikan lainnya. Selain yang sudah disebutkan diatas, salah satu nya juga adalah pertanyaan ke-1 dari fatwa no. 11623 Lajnah ad-Daimah yang anggotanya adalah Syaikh Abdullah bin Qu’ud, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua :
س1: لي أقارب ماتوا منذ زمن بعيد، ولم يورثوا شيئا، وليس لهم وارث، هل يجوز لي أن أحج لهم من حلالي؟ ج1: يجوز لك الحج عن أقاربك الميتين إن كنت قد حججت عن نفسك
Soal : aku memiliki kerabat yang telah meninggal sejak lama, tidak mewarisi sesuatu apapun juag tidak memiliki ahli waris, apakah boleh aku berhaji untuknya ?. Jawaban : “boleh bagi anda berhaji untuk kerabat anda yang telah meninggal dunia
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif Ali asy-Syaikh [w. 1389 H]
Beliau adalah ulama Wahhabiyah yang merupakan keturunan (cucu) dari Muhammad bin Abdul Wahab. Didalam Fatawa wa Rasail [3/229], beliau tidak menyetujui pembacaan al-Qur’an untuk orang mati namun beliau menyetujui bahwa orang lain yang membaca al-Qur’an untuk orang yang menjelang mati adalah perkara masyru’ :
القراءة على الميت سواء كان في المسجد أو عند القبر أو في البيت ثم عمل طعام بعد الختمة وبعد الوفاة بثلاثة أيام يوزع على الفقراء من الأمور المبتدعة. وأما القراءة المشروعة فهي ما كان قبل الموت وعند الاحتضار كقراءة سورة "يس" أو " الفاتحة" أو " تبارك" أو غير ذلك من كتاب الله
Membaca al-Qur’an untuk mayyit sama saja baik di masjid, atau disamping kubur atau di rumah, kemudian membuat makanan setelah khataman dan setelah wafatnya mayyit selama 3 hari untuk dibagkikan kepada orang-orang faqir maka itu termasuk perkara bid’ah, adapun membaca al-Qur’an yang masyru’ adalah sebelum meninggal dunia dan disamping orang yang menjelang mati seperti membaca Yasiin atau surah al-Fatihah atau Tabarak atau surah-surah al-Qur’an lainnya
Namun terkait amal lainnya beliau mengatakan [3/230] :
أما صلاة النوافل وأهداء ثوابها إلى أقربائه، وكذلك ذبح الذبيحة والصدقة بها وإهداء ثوابها إليهم: فلا بأس بذلك إن شاء الله
Adapun shalat sunnah dan menghadiahkan pahalanya kepada kerabat-kerabatnya (yang mati) serta demikian juga menyembelih sembelihan dan menshadaqahkannya dan menghadiahkan pahalanya kepada mereka : maka tidak apa-apa dengan hal itu, InsyaAllah.
Demikian hal-hal yang sementara kami bisa sampaikan, semoga bermanfaat dan menjadi pelajaran bagi kita semua. [] Wallahu A'lam.
Oleh : Ats-Tsauriy (Bangkalan).