Latest Updates

Fashlun fiy Shalah al-'Idayn (Fasal tentang Shalat Hari Raya)

Hari Bersuka Ria
Ada hari dimana umat Islam diperbolehkan bersuka ria (bergembira) sebagaimana dituturkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam,
عن أنس بن مالك قال كان لأهل الجاهلية يومان في كل سنة يلعبون فيهما فلما قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة قال كان لكم يومان تلعبون فيهما وقد أبدلكم الله بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم الأضحى
“Dari Anas bin Malik, ia berkata : masyarakat jahiliyah memiliki 2 hari setiap tahunnya, dihari itu mereka bersuka ria, maka tatkala Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam tiba di Madinah, beliau berkata : kalian (para sahabat) dulu memiliki 2 yang kalian bersuka ria di hari itu, maka sungguh Allah telah menggantikannya dengan hari yang lebih baik dari keduanya yaitu hari ‘idul Fitri dan ‘idul Adlhaa”.[1]
Makna ‘Id (Hari raya)

‘Ied (العيد) merupakan isim musytaq dari lafadz al-‘Uwdu (العود), yang berarti kembali dan berulang, dinamakan demikian karena berulang pada setiap tahunnya, atau karena kembali bergembira dengan berulangnya hari raya, atau karena banyaknya janji-janji Allah dihari itu bagi ahli ibadah. Jama’nya adalah A’yadun (أَعْيَادٌ). ‘Ied (shalat ‘idul Fitri dan ‘idul Adlhaa) disyariatkan pada tahun ke 2 hijriyah dan ditahun itu untuk pertama kalinya shalat hari raya dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.[2] Dikatakan bahwa disyariatkn pada tahun pertama dari hijrah.[3]
Landasannnya
Dasar disyariatkannya shalat hari raya sebelum adanya Ijma’[4] adalah berdasarkan QS. al-Kautsar : 2,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”
‘Ulama mengatakan : shalat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah shalat ‘idul Adlhaa [5] atau shalat ‘Idun Nahr, [6] ini adalah qaul ‘Ikrimah, ‘Atha’ dan Qatadah sedangkan riwayat ad-Dlahak dari Ibnu ‘Abbas, dirikanlah shalat yang dimaksud adalah menegakkan shalat-shalat fardlu.[7] Oleh karena juga dikatakan bahwa shalat ‘idul Adlhaa lebih utama dari pada shalat ‘idul Fitri berdasarkan nas dalam al-Qur’an.[8] Sedangkan ‘idul Fitri adalah hari yang pertama dikerjakan Nabi (disyariatkan).
Selain itu juga berdasarkan hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al-Khudriy, ia berkata :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى فأول شيء يبدأ به الصلاة ثم ينصرف فيقوم مقابل الناس والناس جلوس على صفوفهم فيعظهم ويوصيهم ويأمرهم فإن كان يريد أن يقطع بعثا قطعه أو يأمر بشيء أمر به ثم ينصرف
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berangkat shalat ‘idul Fitri dan ‘idul Adlhaa ke mushalla (tanah lapang), maka sesuatu yang pertama beliau lakukan adalah shalat (‘ied), kemudian beliau berbalik, menghadap jama’ah, dan jama’ah duduk pada shaf-shaf mereka, Maka beliau memberikan nasehat, wasiat dan perintah kepada mereka. Maka ketika beliau berkeinginan mengirim utusan maka beliau memutuskannya (menetapkannya), atau ketika beliau memerintahkan sesuatu maka beliu memerintahkannya, kemudian berliau berbalik lagi”.[9]
قدم رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: "ما هذان اليومان؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: إن اللّه قد ابدلكما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطرة
“Ketika Rasulullah tiba di Madinah, sahabat memiliki memiliki 2 hari yang mereka bersuka ria di hari itu, maka Rasulullah bertanya : “apakah 2 hari itu ?”, mereka menjawab : “2 hari yang kami bersuka ria di hari itu ketika jahiliyah”, maka Rasul berkata : “sesungguhnya Allah telah menggantikan yang lebih baik dari kedua hari tersebut, yaitu yaumul Adlhaa dan yaumul Fitri”.[10]
Dan banyak hadiits lainnya.
Hukum Shalat ‘Ied
Hukum shalat ‘ied adalah sunnah muakkad[11], atau sunnah ‘ain muakkad bagi orang yang telah diperintahkan untuk shalat, ini pendapat Syafi’iyah dan Malikiyah.[12] Imam an-Nawawiy dalam al-Majmu’ mengatakan, “sungguh telah kami tuturkan bahwa hukum shalat ‘id adalah sunnah muakkad menurut pandangan kami (Syafi’iyyah), ini juga pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Daud dan jumhur ‘Ulama, sedangkan sebagian ashhab Abi Hanifah berkata : “hukumnya fardlu kifayah”, sedangkan Imam Ahmad terdapat dua pendapat, [13] yaitu sunnah dan fardlu kifayah. [14]
Jumhur ulama Salaf maupun Khalaf berpendapat bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah bukan fardlu kifayah.[15]
Bagi yang berpendapat fardlu Kifayah maka ketika penduduk suatu negeri meninggalkannya (tidak ada yang mengerjakannya), mereka dibunuh namun bagi pendapat yang sunnah, maka tidak dibunuh berdasarkan pandangan yang ashah (lebih shahih).[16]
Sedangkan Imam asy-Syafi’i mengatakan sebagaimana di nukil oleh al-Muzanni “barangsiapa yang berkewajiban menghadiri shalat jum’at maka wajib baginya hadir di hari raya”.[17] Ulama-ulama Syafi’i mengatakan ; ini bukan maksud dhahirnya, sebab apabila dhahirnya shalat ‘id adalah wajib ‘ain bagi setiap yang berkewajiban shalat jum’at maka itu telah menyelisihi ijma’ kaum Muslimin, oleh karena telah itu ditentukan takwilannya yaitu Abu Ishaq berkata : “barangsiapa kewajiban shalat Jum’at baginya wajib maka kewajiban hari raya baginya adalah mandub dan pilihan. al-Ashthakhriy berkata : “makna perkataan Imam asy-Syafi’i adalah barangsiapa kelaziman (kewajiban) shalat Jum’at baginya adalah fardlu maka baginya shalat ‘ied adalah fardlu kifayah”, Ulama-ulama syafi’iyyah berkata : “maksud perkataan Imam asy-Syafi’i adalah bahwa shalat ‘ied lebih dikuatkan (lebih ditekankan) pada hak orang yang berkewajiban shalat Jum’at”. [18]
Adapun hukum sunnah dalam shalat ‘id juga disandarkan pada sabda Rasulullah ketika ditanya tentang kewajiban shalat 5 waktu yang disyariatkan kepada umatnya, [19]
أخبرنا أبو سعيد قال : حدثنا أبو العباس قال : أخبرنا الربيع قال : قال الشافعي : وسئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الإسلام ، فقال : « خمس صلوات في اليوم والليلة » فقال السائل : هل علي غيرها ؟ قال : « إلا أن تطوع » قال الشافعي : ففرائض الصلوات خمس ، وما سواها تطوع ، وقد مضى هذا الحديث بإسناده
“Menceritakan kepadaku Abu Sa’id, ia berkata : mengkhabarkan kepadaku Abul ‘Abbas, ia berkata : mengabarkan kepadaku Rabi’, ia berkata : Imam Syafi’i telah berkata : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ditanya tentang Islam, maka beliau menjawab : “shalat 5 waktu sehari semalam”. Berkata orang yang bertanya : “apakah ada kewajiban shalat yang lain bagiku ?” Nabi menjawab, “(tidak), kecuali hanya tathawwu’ (anjuran)”. Imam Syafi’i berkata ; “shalat-shalat fardlu ada 5, sedangkan shalat selainnya adalah tathawwu’, dan telah disebutkan sebelumnya tentang hadits ini dengan isnadnya”. [20]
Adzan, Iqamah dan Nidaa’
Adzan dan Iqamah tidak disyariatkan pada hari raya. Tidak ada adzan pada hari raya dan tidak perlu ditegakkan, tetapi disunnahkan (mandub) melakukan nida’ dengan lafadz “ash-shalatu Jaami’ah” berdasarkan kesepakatan 3 Imam (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) selain Maliki. ‘Ulama Maliki berkata : nidaa’ dengan lafadz “ash-shalaatu jami’ah” atau seumpamanya adalah makruh atau khilaful aula, sebagian ‘ulama Malikiyah mengatakan : sesungguhnya nidaa’ dengan yang demikian dimakruhkan apabila di yakini bahwa itu sebuah anjuran, jika tidak maka tidaklah makruh.[21]
Jumhur ‘Ulama dari kalangan shahabat, tabi’in dan ulama setelah mereka berpendapat bahwa tidak ada adzan bagi shalat ‘ied dan tidak perlu di tegakkan, seperti itu juga masyarakat melaksananya di setiap masa.[22]
Pada masa Nabi tidak ada adzan pada shalat ‘id, tidak pula dimasa Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman hingga Mu’awiyah membuat perkara baru –adzan ‘ied- (muhdats) di negeri Syam, kemudian al-Hajaj membuat perkara baru tersebut di Madinah ketika adanya perintah kepadanya.[23] Dikatakan, yang pertama kali adalah Ziyad.[24]
Salah satu hadits dari sekian banyak hadits yang menyebutkan bahwa tidak ada adzan dan iqamah di hari raya adalah,
عن ابن عباس قال شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى ثم خطب ولم يذكر أذانا ولا إقامة
“Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : aku menyaksikan shalat ‘id bersama Rasulullah, beliau shalat kemudian berkhutbah, dan tidak ada adzan serta tidak pula ada iqamah”[25]
Adapun tentang kesunnahan hukum nida’, Imam asy-Syafi’i berkata, az-Zuhriy telah berkata : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan muadzdin dihari raya untuk mengucapkan : “ash-shalaatu jaami’ah (الصلاة جامعة)”.[26] Oleh karena itu Imam asy-Syafi’i menganjurkan agar imam memerintahkan muadzdin untuk mengucapkan “ash-shalatu jami’ah” atau “ash-shalaah”, adapun dengan lafadz “hayya ‘alash shalaah” maka tidak apa-apa, namun Imam asy-Syafi’i lebih menghindari penggunaan lafadz-lafadz adzan. Akan tetapi jika melakukan adzan , beliau memakruhkannya dan tidak membiasakannya. [27]
Dikatakan, bahwa mengucapkan “hayya ‘alash shalaah” adalah jaiz bahkan juga mustahab. Ad-Darimiy mengatakan makruh karena bagian dari lafadz adzan. Yang shawab (benar) adalah sebagaimana perkataan Imam asy-Syafi’i.[28]
Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Waktu perlaksanaan shalat ‘id dimulai sejak terbitnya matahari sampai tergelincirnya matahari, apabila lewat dari batas tersebut maka disunnahkan mengqadhanya, ini menurut pandangan Syafi’iyyah. Menurut Malikiyah, dimulai sejak terbitnya matahari dengan ketinggian (kadar) menombak sampai tergelincir matahari, seperti itu pandangan Hanafiyah, sedangkan batas akhir menurut Hanabilah adalah sebelum tergelincirnya matahari. [29]
Memulai shalat ‘ied hingga ketinggian (kadar) menombak adalah sunnah dan lebih utama, menurut Syafi’iyyah. [30] Sedangkan untuk shalat ‘idul Adlha, shalat diawal waktu adalah lebih diutamakan, dikatakan, sunnah mengawalkan shalat ‘idul Adlhaa dan mengakhirkan shalat ‘idul Fitri, sebab lebih utamanya mengeluarkan zakat fitri sebelum shalat. [31]
Kaifiyah (tata cara) Shalat ‘’Ied
Shalat ‘Id dilakukan 2 raka’at, dimulai dengan takbiratul Ihram -disertai dengan niat (shalat ‘idul Fitri atau shalat ‘Idul Adlhaa)[32]-, kemudian membaca do’a Iftitah, selanjutnya bertakbir (takbir tambahan) sebanyak 7 kali dengan cara mengangkat tangan sebagaimana takbiratul Ihram –apabila tidak mengangkat tangan, Imam asy-Syafi’i memakruhkannya[33], kemudian disunnahkan juga meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri dibawah dada[34]- , antara takbir yang satu dengan yang lain dipisah dengan kadar lamanya kira-kira bacaan satu ayat Qur’an, dan disunnahkan mengucapkan,[35]
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر
Menambahkan dengan lafadz lainnya adalah boleh (jaiz), ash-Shaidalaniy (‘an ba’dlil ashhab asy-Syafi’i) mengucapkan dengan lafadz,[36]
لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد بيده الخير وهو على كل شيء قدير
Menurut Ibnu ash-Shabagh, jika sudah menjadi kebiasaan masyarakat maka mengucapkan seperi berikut ini adalah bagus,[37]
الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا وصلى الله على محمد وآله وسلم كثيرا
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah bin Mas’ud al-Mas’udiy (min ashhabis Syafi’i) mengucapkan dengan lafadz,[38]
سبحانك اللهم وبحمدك وتبارك اسمك وتعالى جدك وجل ثناؤك ولا إله غيرك
‘Ulama Hanabilah mengucapkan dengan lafadz,[39]
اللّه أكبر كبيراً، والحمد للّه كثيراً، وسبحان اللّه بكرة وأصيلاً، وصلى اللّه على النبي وآله وسلم تسليماً
Bacaan pemisah diatas dibaca dengan di sirr kan (tidak dinyaringkan)[40]. Sedangkan bagi Malikiyah, pemisah antara dua takbir adalah diam, dimakruhkan mengucapkan sesuatu seperti tasybih, tahlil atau yang lainnya.[41]
Berikutnya, dilanjutkan dengan membaca ta’awud dan membaca surah al-Fatihah dan membaca sebagian surat atau sebagian ayat dari al-Qur’an. Kemudian, apabila sudah berdiri kembali para raka’at kedua, bertakbir sebanyak 5 kali selain takbir intiqal yaitu sebelum membaca surah al-Fatihah, pemisah antara kedua takbir adalah sebagaimana pada raka’at pertama. [42]
Dalil jumlah raka’at shalat ‘ied sebagaimana riwayat Imam an-Nasaa’i dari ‘Umar –radliyallahu ‘anh-,
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلَاةُ الْأَضْحَى رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ
“shalat ‘idul Adlhaa 2 raka’at dan shalat ‘idul Fitri dua raka’at”[43]
Adapun dalil tentang jumlah takbir (tambahan) pada shalat ‘ied, sebagaimana salah satu riwayat Imam at-Turmidzi,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ فِي الْأُولَى سَبْعًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ وَفِي الْآخِرَةِ خَمْسًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ
“sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bertakbir ketika 2 shalat hari raya para raka’at pertama sebanyak 7 kali sebelum membaca surah al-Fatihah, dan para raka’at kedua sebanyak 5 kali sebelum membaca surah al-Fatihah”[44]
Takbir tambahan hukumnya adalah sunnah hai’ah (هيئة), apabila meninggalkannya tidak perlu sujud syahwi, sedangkan menurut Malikiyah hukumnya adalah sunnah muakkad (سنة مؤكدة).[45]
Beberapa cabang :[46]
- Letak (mahal) takbir tambahan pada raka’at pertama adalah antara do’a Istiftah dan ta’awud, ini qaul ulama seluruhnya kecuali Abu Hanifah.
- Mengangkat tangan pada takbir tambahan adalah sunnah serta dianjurkan berdzikir diantara 2 takbir, ini adalah qaul ‘Atha’, al-Awza’iy, Abu Hanifah, Muhammad, Ahmad, Daud dan Ibnu Mandzur, sedangkan Qaul Imam Malik, ats-Tsauriy, Ibnu Abi Laila dan Abu Yusuf adalah tidak mengangkat tangan kecuali hanya pada takbiratul Ihram saja.
- Dzikir diantara takbir tambahan adalah sunnah dalam madzhab Syafi’iyyah, ini qaul Ibnu Mas’ud, Ahmad dan Ibnu Mandzur, sedangkan qaul Imam Malik dan al-Awzaiy tidak ada dzikir.
- Do’a Istiftah sebelum takbir tambahan dalam madzhab Syafi’i, sedangkan kata al-Awzaiy setelahnya.
- Ta’awud dibaca setelah takbir tambahan dan sebelum surah al-Fatihah, ini pandangan madzhab Syafi’i dan juga qaul Ahmad dan Muhammad bin al-Hasan. Sedangkan Abu Yusuf berkata, mengiringi do’a iftitah yaitu sebelum takbir tambahan.
Bacaan Surah
Setelah membaca surah al-Fatihah maka disunnahkan membaca surah dari al-Qur’an, yaitu pada rakaat pertama membaca surah Qaaf (ق) dan para raka’at keduanya membaca surah al-Qamar (اقتربت) dengan dinyaringkan (dijaharkan), [47] berdasarkan riwayat Abu Waqid al-Laits,
أن عمر بن الخطاب سأل أبا واقد الليثي : ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ، يقرأ في الفطر والأضحى ؟ قال : « كان النبي صلى الله عليه وسلم يقرأ ب ق والقرآن المجيد ، واقتربت الساعة وانشق القمر
“Umar bertanya kepada al-Laitsiy : “apa yang Rasulullah baca ketika shalat ‘idul Fitri dan ‘idul Adlhaa ? “ beliau menjawab : “Rasulullah membaca surah Qaaf (ق والقرآن المجيد dan surah al-Qamar (واقتربت الساعة وانشق القمر)”[48]
Adapun jika pada raka’at pertama membaca surah al-A’laa (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) maka raka’at kedua membaca sural al-Ghasiyah (هل أتاك) dengan dijaharkan, -karena ittiba’ (mengikuti Rasul) sebagaimana riwayat Imam Muslim-.[49]
عن النعمان بن بشير قال كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يقرأ في العيدين وفي الجمعة بسبح اسم ربك الأعلى وهل أتاك حديث الغاشية قال وإذا اجتمع العيد والجمعة في يوم واحد يقرأ بهما أيضا في الصلاتين
“Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam membaca surah al-A’laa dan al-Ghasyiyah pada shalat hari raya dan shalat jum’at”, ia berkata : apabila shalat ‘ied dan shalat jum’at berkumpul pada hari yang sama, maka tetap membaca kedua surat tersebut pada keduanya”.[50]
Tempat Melaksanakan Shalat ‘Ied
Pelaksanaan shalat ‘Ied adalah di Masjid atau di lapangan (tanah lapang). Apabila di Makkah maka yang lebih utama adalah di Masjid (Masjidil Haram) tanpa ada perselisihan. Apabila di Baitul Maqdis, ash-Shaidalaniy dan al-Bandanijiy berkata : shalat di Masjid al-Aqsha adalah lebih utama. Adapun selain keduanya, apabila terdapat udzur seperti hujan, salju, karena takut, cuaca dingin dan lainnya maka yang lebih utama adalah shalat ‘ied dilaksanakan di masjid –karena di masjid lebih mulya (memulyakan masjid) dan lebih bersih- , kecuali apabila masjidnya sempit maka yang lebih utama –hukumnya sunnah- melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang –jika tidak ada udzur- bahkan dimakruhkan melaksanakan di masjid yang sempit (tidak luas). Imam asy-Syafi’i berkata : “apabila masjidnya luas maka melaksanakan shalat di tanah lapang itu tidak apa-apa, apabila masjidnya sempit namun tidak melaksanakan shalat di tanah lapang, aku memakruhkannya.[51]
Malikiyah mengatakan melaksanakan shalat di tanah lapang hukumnya mandub bukan sunnah dan makruh melaksanakannya di masjid jika tanpa ada udzur kecuali di Makkah, jika di Makkah yang lebih utama melaksanakannya di masjidil Haram karena untuk memulyakan dan musyahadah Baitullah. Hanabilah mengatakan sunnah melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang dengan syarat jaraknya dekat dan makruh melaksanakan shalat ‘ied di masjid tanpa ada udzur kecuali di Makkah sebagaimana qaul Malikiyah. Sedangkan Hanafiyah memakruhkan melaksanakannya di masjid tanpa mengecuali masjid Makkah.[52]
Khutbah Hari Raya
Hukum kedua khutbah hari raya adalah sunnah berdasarkan kesepakatan ‘ulama, kecuali menurut Malikiyah. ‘Ulama Malikiyah mengatakan : sesungguhnya kedua khutbah tersebut adalah mandub bukan sunnah. Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah tidak membedakan antara mandub dan sunnah, namun ulama Malikiyah mengatakan bahwa kedua khutbah ‘ied adalah mandub, sedangkan ‘ulama Hanafiyah mengatakan sunnah. [53]
Khutbah dilaksanakan setelah shalat ‘ied, apabila khutbah dilaksanakan sebelum shalat maka tidak di hitung. [54] Ini juga merupakan nas Imam asy-Syafi’i dan dinukil oleh al-Qadli Abu ath-Thayyib didalam at-Tajrid dari al-Umm, ia berkata : Imam telah asy-Syafi-i berkata : “apabila mengawalkan khutbah sebelum shalat ‘ied, aku berpendapat agar mengulanginya setelah shalat”.[55]
عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه و سلم وأبا بكر وعمر كانوا يصلون العيدين قبل الخطبة
“Dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, Abu Bakar dan Umar melaksanakan shalat Hari raya sebelum khutbah”[56]
عن ابن عباس قال شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان رضي الله عنهم فكلهم كانوا يصلون قبل الخطبة
“Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata ; aku menyaksikan pelaksanaan shalat ‘ied bersama Rasulullah, Abu Bakar, ‘Umar dan Utsman, mereka melaksanakan shalat sebelum khutbah”.[57]
Dianjurkan (mustahab) atau sunnah melaksanakan khutbah diatas mimbar sebagaimana riwayat Jabir bin Abdullah bahwa ia menyaksikan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam shalat ‘idul Adlhaa, setelah selesai khutbah beliau turun dari mimbarnya dan bersalaman dengan jama’ah ‘ied. [58]
Dalam hal rukun, sunnah-sunnah atau pun sifat khutbah ‘ied adalah seperti khutbah jum’at, kecuali dalam hal syarat –yaitu tidak disyaratkan berdiri, bahkan diperbolehkan duduk namun yang lebih afdlal adalah berdiri- dan pembukaan khutbah –yaitu dibuka dengan takbir sedangkan pada khutbah jum’at dibuka dengan pujian-.[59] Menurut Hanabilah, rukun khutbah ‘ied terdiri atas 3 bagian yaitu pertama, shalawat kepada Rasulullah dan harus dengan lafadz shalawat (“ash-shalaah”) ; kedua, membaca ayat dari al-Qur’an ; ketiga, berwasiat untuk takwa kepada Allah, minimal mengucapkan “Ittaqullah”. Adapun Syafi’iyah, rukun khutbah ‘ied ada 4 yaitu pertama, shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam pada setiap khutbah dan harus dengan lafadz shalawat (ash-shalah) ; kedua, wasiat untuk bertaqwa kepada Allah pada tiap khutbah, sudah mencukupi seumpama dengan lafadz “athi’ullah”, ketiga, membaca ayat al-Qur’an pada salah satu khutbah, yang lebih utama membacanya pada khutbah yang pertama dan disyaratkan membaca ayat yang sempurna (kamilah), adapun jika ayatnya panjang maka cukup dibaca sebagian saja ; keempat, berdo’a untuk kaum mukminin dan mukminat pada khutbah yang kedua.[60]
Disunnahkan duduk diantara 2 khutbah (khutbatain) seperti pada khutbah jum’at –sebagaimana riwayat Imam asy-Syafi’i-,
السنة أن يخطب الإمام ، في العيدين خطبتين يفصل بينهما بجلوس
“Sunnah seorang Imam berkhutbah 2 kali pada shalat hari raya, dan memisahkan kedua khutbah dengan duduk”[61]
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يخطب الخطبتين وهو قائم ، وكان يفصل بينهما بجلوس
“Sesungguhnya Rasulullah berdiri ketika berkhutbah pada khutbatayn, dan memisahkan keduanya dengan duduk”[62]
Adapun duduk sebelum khutbatayn (2 khutbah) menurut qaul yang ashah (ittifaq al-ashhab asy-Syafi’i dan nas didalam al-Umm) adalah disunnahkan duduk.[63] Ketika imam berada diatas mimbar, mengucapkan salam dan jama’ah membalasnya, kemudian duduk diatas mimbar sebagaimana duduknya imam pada shalat jum’at karena mendengarkan adzan, kemudian berdiri untuk berkhutbah (khutbah pertama), kemudian duduk kembali setelah khutbah yang pertama (duduk diantara 2 khutbah), kemudian berdiri untuk berkhutbah kedua dan kemudian turun dari mimbar.[64] Al-Khawarizmiy mengatakan kadar lamanya duduk sebelum khutbah adalah seperti adzan pada shalat Jum’at.[65]
Disunnahkan memulai khutbah dengan takbir, khutbah pertama bertakbir 9 kali dan khutbah kedua bertakbir sebanyak 7 kali. Takbir tersebut bukan merupakan inti dari khutbah namun hanya mukaddimah saja. [66] Dikatakan didalam al-Umm ; “Sunnah bertakbir diatas mimbar pada shalat ‘idul Fitri dan ‘idul Adlhaa sebelum khutbah yaitu ketika berdiri dengan 9 kali takbir yang berhimpun dan tidak ada kalam pemisah antara takbir, kemudian duduk (duduk antara 2 khutbah), kemudian khutbah kedua yang dibuka dengan 7 kali takbir yang berhimpun juga tidak ada kalam pemisah antara takbir yaitu membaca takbir “Allahu Akbar Allahu Akbar” hingga genap 7 kali, namun apabila diantara 2 takbir diselingi dengan pujian dan tahlil maka itu boleh dan bagus. Makruh apabila tidak membaca takbir serta tidak mengucapkan salam diatas mimbar. [67]
Kemudian juga, dianjurkan berkhutbah yang berisi hukum-hukum tentang zakat Fitri pada khutbah ‘idul Fitri dan tentang hukum-hukum seputar ‘idul Aldhaa pada khutbah ‘idul Adlhaa serta dianjurkan bagi jama’ah untuk mendengarkan khutbah dan makruh apabila tidak mendengarkannya.[68]
Takbir Hari Raya[69]
Takbir hari raya ada 2 macam ;
1. Takbir Mursal yaitu takbir masyru’ yang disunnahkan bagi laki-laki maupun wanita dan tidak mengiringi shalat, dikumandangkan dijalan-jalan, masjid-masjid, pasar-pasar, dirumah-rumah dan tempat-tempat lainnya dengan mengeraskan suaranya – kecuali wanita- untuk syi’ar hari raya sejak terbenamnya matahari pada malam hari raya sampai dimulainya shalat ‘ied. Takbir ini dikumandang pada hari raya ‘idul Fitri maupun ‘idul Adlhaa.
2.Takbir Muqayyad yaitu takbir masyru’ yang disunnahkan mengiringi shalat meskipun shalat jenazah, dilakukan sejak waktu shalat maghrib pada malam hari raya, dikatakan pula sejak waktu shubuh pada hari raya yaitu hari ‘Arafah (10 Dzhulhijjah) sampai waktu’Asar pada akhir hari tasyrik (13 Dzulhijjah).
Takbir Muqayyad khusus disunnahkan pada ‘idul Adlha, sedangkan pada ‘idul Fitri menurut qaul yang ashah –kebanyakan ulama- adalah tidak disunnahkan, akan tetapi Imam an-Nawawiy dalam al-Adzkar memilih bahwa itu sunnah. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang sama-sama masyhur, pertama adalah tidak disyariatkan menurut jumhur, diantaranya al-Mawardi, al-Jurjaniy, al-Baghawiy dan yang lainnya. Kedua, disunnahkan, diantaranya qaul al-Mahamiliy, al-Bandanijiy dan al-Ghazaliy dengan berhujjah karena pada hari raya disunnahkan takbir mursal maka muqayyad juga disunnahkan pada ‘idul Fitri seperti ‘idul Adlhaa, maka dari itu ‘ulama bertakbir mengikut shalat Maghrib, Isya’ dan Shubuh.
Pada malam hari raya juga disunnahkan menghidupkannya dengan dzikrullah, shalat, tilawatil Qur’an, dan ibadah-ibadah lainnya seperti do’a, sebab menurut Imam asy-Syafi’i, do’a pada malam hari raya adalah mustajab.
Dasar tentang takbir hari raya adalah QS. al-Baqarah : 185,
ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Frasa “walitukmilul ‘iddah” maksudnya adalah bilangan puasa Ramadhan dan “walitukabbitullah” maksudnya mengagungkan Allah (bertakbir) ketika telah sempurna bilangan puasa. Ayat ini terkait dengan ‘idul Fitri dan takbir pada ‘idul Adlhaa diqiyaskan pada ‘idul Fitri.
Kemudian juga berdasarkan riwayat Nafi’ dari Abdullah,
عن نافع عن عبد الله بن عمر ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يخرج في العيدين مع الفضل بن عباس و عبد الله والعباس وعلي وجعفر والحسن والحسين واسامة بن زيد وزيد بن حارثة وايمن بن ام ايمن رضي الله عنهم رافعا صوته بالتهليل والتكبير فيأخذ طريق الحدادين حتى يأتي المصلى وإذا فرغ رجع على الحذائين حتى يأتي منزله
“Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berangkat pada hari raya berserta al-Fadil bin ‘Abbas, Abdullah, al-‘Abbas, ‘Ali, Jakfa, al-Hasan, al-Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, Ayman bin Ummu Aiman –radliyallahu ‘anhum- mereka meninggikan suaranya (mengeraskan suara) dengan membaca tahlil dan takbir, mengambil sebuah rute sampai tiba di mushallah (tempat shalat), apabila selesai kembali melewati rute yang lainya hingga tiba di tempatnya (rumahnya)”.[70]
Lafadz takbir yang dibaca berulang-ulang adalah,[71]
اللَّهُ أكْبَرُ اللَّهُ أكْبَرُ اللَّهُ أكْبَر
Adapun jika ingin menambahkan dengan bacaan takbir yang lebih panjang yang bagus (hasanah) adalah dengan lafadz,
اللّه أكْبَرُ كَبيراً، والحَمْدُ لِلَّهِ كَثيراً، وَسُبْحانَ اللَّهِ بُكْرَةً وأصِيلاً، لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَلا نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدينَ وَلَوْ كَرِهَ الكافِرُون، لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأحْزَابَ وَحْدَهُ، لا إِلهَ إِلاَّ اللّه واللَّهُ أكْبَرُ
Kemudian, apabila bertakbir dengan lafadz yang sudah menjadi kebiasaan, adalah tidak apa-apa bahkan merupakan shighat yang disukai dan beberapa sahabat bertakbir dengan lafadz ini,[72]
‏‏اللَّهُ أكْبَرُ اللَّهُ أكْبَرُ اللَّهُ أكْبَرُ، لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ، واللَّهُ أكْبَرُ اللَّهُ أكْبَرُ ولِلَّهِ الحَمْدُ‏
Sekilas Diantara Adab dan Sunnah ‘Ied Yang Lainnya[73]
- Mandi, memakai wangi-wangian dan pakaian yang baru (bagus) sebagaimana pada shalat Jum’at.
أن عبد الله بن عمر كان يغتسل يوم الفطر قبل أن يغدو إلى المصلى
“Sesungguhnya Abdullah bin Umar mandi pada hari raya Fitri sebelum berangkat dipagi hari ke mushalla (tempat shalat)”[74]
حدثنا جبارة بن المغلس حدثنا حجاج بن تميم عن ميمون بن مهران عن ابن عباس قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يغتسل يوم الفطر ويوم الأضحى
“Mengabarkan kepadaku Jubarah bin Mughallis, mengabarkan kepadaku Hajjaj bin Tamim, dari Maimun bin Mihran, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mandi pada yawmul Fitri dan yawmul Adlhaa”.[75]
Mengenai waktu mandi terdapat 2 qaul, pertama ; setelah shubuh sebagaimana mandi untuk shalat Jum’at ; kedua, boleh mandi sebelum fajar karena shalat ‘ied dilaksanakan pada awal siang. Dalam hal kesunnahan mandi ini tidak ada perselisihan tentang hal tersebut, dan yang muktamad atas hal ini adalah Atsar Ibnu ‘Umar serta juga qiyas dengan shalat Jum’at.
الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ : أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَتَطَيَّبَ بِأَجْوَدِ مَا نَجِدُ فِي الْعِيدِ
“al-Hasan bin ‘Ali berkata ; kami diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam supaya menggunakan wangi-wangian pada hari raya”.[76]
عن نافع أن ابن عمر كان يغتسل ويتطيب يوم الفطر
“Dari Nafi’ bahwa sesungguhnya Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wangi-wangian hari raya Fitri”[77]
عن جعفر عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يلبس برد حبرة في كل عيد
“Dari Jakfar dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam memakai pakaian burdah hibarah pada setiap hari raya”[78]
“al-Hibarah” adalah salah satu macam pakaian yang terkenal di Yaman. Al-Azhariy mengatakan bahwa itu adalah salah satu macam burdah. Ulama Syafi’iyah bersepakat bahwa kesunnahan memakai pakaian yang bagus pada hari raya dengan berdasarkan pada hadits Ibnu ‘Umar,
أن عبد الله بن عمر قال أخذ عمر جبة من إستبرق تباع في السوق فأخذها فأتى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله ابتع هذه تجمل بها للعيد والوفود فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما هذه لباس من لا خلاق له
“Sesungguhnya Abdullah bin Umat berkata : “Umar mengambil sebuah jubah sutra yang dijual dipasar, maka mengambilnya dan membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan berkata : ya Rasulullah, beliah jubah ini serta berhiaslah dengan jubah ini di hari raya dan untuk menyambut. Rasulullah berkata kepada Umar : sesungguhnya jubah ini adalah pakaian orang yang tidak mendapat bagian (akhirat)”.[79]
- Disunnahkan agar kaum Muslimin bertakbir ketika hadir ke Masjid pada pagi hari raya. (lihat ; pada penjelasan tentang takbir hari raya) sebagai tambahan terdapat beberapa riwayat tentang hal ini,
عن نافع ، عن ابن عمر ، أنه « كان يغدو إلى المصلى يوم الفطر إذا طلعت الشمس ، فيكبر حتى يأتي المصلى يوم العيد ، ثم يكبر بالمصلى ، حتى إذا جلس الإمام ترك التكبير
“Dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa ia pergi pagi-pagi ke mushalla (tempat shalat) pada ‘idul Fitri ketika terbit matahari, beliau bertakbir sampai tiba di tujuan, kemudian bertakbir di mushalla (tempat shalat) sampai ketika imam telah duduk menghentikan takbir”[80]
ان ابن عمر كان يغدو إلى العيد من المسجد وكان يرفع صوته بالتكبير حتى يأتي المصلى ويكبر حتى يأتي الامام
“Sesungguhnya Ibnu Umar ketika pergi pagi-pagi untuk shalat ‘ied dari masjid dengan bertakbir nyaring sampai tiba di mushalla (tempat shalat), beliau bertakbir hingga imam datang”[81]
حدثنا يزيد بن هارون عن ابن أبي زئب عن الزهري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يخرج يوم الفطر فيكبر حتى يأتي المصلى وحتى يقضي الصلاة فإذا قضى الصلاة قطع التكبير
“Mengabarkan kepadaku Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Zaib dari az-Zuhriy, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pergi pada ‘idul Fitri, beliau bertakbir sampai tiba di mushallaa (tempat shalat) dan setelah selesai shalat, beliau menghentikan takbirnya”.[82]
- Pada ‘idul Fitri disunnahkan makan sebelum pergi shalat, adapun pada ‘idul Adlhaa disunnahkan menahan diri dari makan hingga kembali dari shalat.
أنس بن مالك ، يقول ما خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم فطر حتى يأكل تمرات ، ثلاثا ، أو خمسا ، أو سبعا ، أو أقل من ذلك أو أكثر وترا
“Anas bin Malik mengatakan, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam keluar pada ‘idul Fitri hingga beliau makan kurma, sebanyak 3 atau 5 atau 7 atau paling sedikit dari itu (1) atau paling banyak yang ganjil”.[83]
- Disunnahkan bagi mushalli pergi shalat baik ke mushallaa (tempat shalat/tanah lapang) atau pun ke masjid dengan berjalan kaki, sebab az-Zuhriy meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak berkendaraan pada hari raya[84], namun tidak apa-apa apabila berkendaraan pada hari raya.
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يخرج إلى العيد ماشيا ويرجع ماشيا
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika pergi shalat ‘ied dengan berjalan kaki, dan kembalinya juga berjalan kaki”[85]
عن على رضي الله عنه قال من السنة ان يخرج إلى العيد ماشيا
“Dari Ali –radliyallahu ‘anh- ia berkata “ dan merupakan bagian dari sunnah yaitu pergi shalat ‘ied dengan berjalan kaki”[86]
- Disunnahkan pergi dan pulang dari shalat melewati jalur/rute yang berbeda.
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا كان يوم عيد خالف الطريق
“Dari Jabir bin Abdullah –radliyallahu ‘anhuma- ia berkata : Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika hari raya berbeda rute perjalanannya”[87]
- Dianjurkan (sunnah) menghadirkan wanita berdasarkan riwayat Ummu ‘Athiyah,[88]
عن أم عطية قالت أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم أن نخرجهن في الفطر والأضحى العواتق والحيض وذوات الخدور فأما الحيض فيعتزلن الصلاة ويشهدن الخير ودعوة المسلمين قلت يا رسول الله إحدانا لا يكون لها جلباب قال لتلبسها أختها من جلبابها
“Dari Ummu ‘Athiyah, ia berkata : “Rasulullah telah memerintahkan kami agar kami (para wanita) keluar (pergi) pada ‘idul Fitri dan ‘idul Adlhaa yaitu para gadis-gadis, wanita haid dan wanita yang punya pingitan. Adapun wanita yang haid agar tidak memasuki tempat shalat melainkan menyaksikan kebaikan dan seruan orang-orang Islam. Aku bertanya : ya Rasulullah, diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab , Rasulullah berkata : “ hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya”.[89]
Dan lain sebagainya. Demikian apa yang bisa kami tulis, semoga bermanfaat. Kurang lebihnya mohon maaf. Segala kekurangan berasal dari pribadi yang al-faqir ini, adapun jika bermanfaat maka tidak lain kemanfaatan berasal dari petunjuk dan bimbingan Allah, sebab kebenaran hanya semata-mata milik Allah. Wallahu A'lam.



[1] Sunan an-Nasaa’i no. 1538 ; lihat juga riwayat Abu Daud, Ahmad dan al-Hakim.
[2] Al-Fiqhu al-Manhaji ‘ ; lihat juga : al-Majmu’ (5/1) ; Syarah al-Bahjah al-Wardiyah (5/248) ; Hasyiyah al-Bujairamiy ‘alaa al-Khatib (5/408)
[3] Al-Fiqhu ‘alaa Madzahibil Arba’ah.
[4] Al-Iqna’ fiy Halli Alfadz Abi Syuja’ (1/186).
[5] Al-Fiqh al-Manhaji ‘alaa Madzhab al-Imam asy-Syafi’i..
[6] Lihat : Tafsir al-Jalalain lil-Suyuthiy wa al-Mahalli.
[7] Lihat : Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an lil-Qurthubiy.
[8] Lihat : Hasyiyah al-Bujairamiy ‘alaa al-Minhaj (4/235) ; Hasyiyah al-Jamal (6/203).
[9] Shahih al-Bukhari no. 903 ; as-Sunan al-Kubraa lil-Baihaqiy (3/280) .
[10] Sunan Abi Daud (959), Musnad Imam Ahmad (27/178) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (1041). al-Hakim berkata ; hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim.
[11] Al-Fiqh al-Mahnhaji ‘alaa Madzhab Ima Syafi’i.
[12] Lihat : al-Fiqhu ‘alaa Madzhabihil Arba’ah ((hukum shalat ‘ied dan waktunya))
[13] Lihat : Al-Majmu’ an-Nawawiyah (5/3).
[14] Lihat : al-Fiqhu ‘alaa Madzhabihil Arba’ah (hukum shalat ‘ied dan waktunya)
[15] Lihat ; al-Majmu’ an-Nawawiyah (5/3).
[16] Raudlatuth Thalibin wa ‘Umd atul Muftiin (1/192) ; lihat juga : al-Majmu’ 5/1),.
[17] Mukhtashar al-Muzanni (1/30) ; Fathul Wahab (1/145) ; Asnal Mathalib (4/97) ; Mughniy al-Muhtaj (4/113).
[18] Al-Majmu’ an-Nawawiyah (5/3).
Perkataan Imam asy-Syafi’I yang dinukil dalam kitab Mukhtashar al-Muzanni juga dinukil dalam kitab Madzhab Hanbali yaitu dalam Fathul Bari li-Ibni Rajab al-Hanbali (3/77) yang sering di kutip oleh beberpaa kalangan saat ini untuk penguat wajib ‘ainya shalat ‘ied. Sebelumnya dalam Fathul Bari li-Ibni Rajab disebutkan bahwa ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat ‘ied. Pertama : hukumnya sunnah yang dianjurkan, ini adalah qoul ats-Tsauriy, Malik, asy-Syafi’i, Ishaq, Abi Yusuf dan diceritakan juga merupakan qaul Imam Ahmad pada satu riwayat. Kedua, hukumnya fardlu kifayah, apabila dalam sebuah wilayah tidak ada yang mengerjakannya maka mereka berdosa dan mereka dibunuh karena meninggalkannya. Ini adalah dhahir dari madzhab Imam Ahmad, dan juga qoul segolongan ulama dalam madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyyah. Ketiga, wajib ‘Ain sebagaimana shalat Jum’at. Ini adalah qaul Abu Hanifah, tetapi beliau tidak menamakannya fardlu. Diceritakan oleh Abul Faraj asy-Syairaziy –min ashhab al-hanafi- bahwa juga qaul Imam Ahmad pada satu riwayat.
Kemudian mengenai perkataan Imam asy-Syafi’i (didalam Mukhtashar al-Muzanni), yaitu “barangsiapa yang berkewajiban shalat Jum’at, maka wajib baginya hari pada hari raya”. Dituturkan dalam Fathul Bari ; ini sharih bahwa shalat ‘ied adalah wajib ‘ain. Sedangkan mengenai penjelasan ulama-ulama Syafi’iyyah cenderung di nafikan dan dianggap sebagai takwilan yang melenceng. Misalnya, dikatakan “bahwa itu bukan menyelisihi ijma’ kaum Muslimin sebagaimana anggapan sebagian dari mereka (Syafi’iyyah), dan banyak dari ulama-ulama Syafi’iyyah yang mentakwilnya dengan takwilan-takwilan yang jauh (melenceng) sampai ada diantara mereka yang perpendapat bahwa shalat Jum’at adalah fardlu kifayah seperti shalat ‘ied. Namun yang dekat takwilannya tentang hal ini adalah bahwa shalat ‘ied adalah fardlu kifayah, karena fardlu kifayah adalah seperti fardlu ‘ain yang pada asalnya adalah wajib, kemudian kewajiban fardlu kifayah gugur sebab ada sebagian yang mengerjakannya selain fardlu ‘ain. Maka sungguh dikatakan, “sesungguhnya Imam asy-Syafi’i ingin untuk mengaitkan kewajiban pada shalat ‘ied dengan orang yang terikat pada kewajiban Jum’at maka gugur kewajiban shalat ‘ied dengan hadinya sebagian manusia”, ini mirip dengan takwil sebagian ulama Syafi’iyyah, namun takwilannya menyelisihi dhahir kalam Imam Syafi’I dan jauh. Maka yang sharih bahwa kewajiban hadir pada hari raya adalah seperti hari shalat Jum’at”.
[19] Lihat : al-Iqna’ fiy Halli Alfadz Abi Syuja’ (1/186).
[20] Ma’rifatus Sunani wal Atsar lil-Baihaqiy (2/381), sebelumnya (2/194 & 195) ; lihat jga : Musnad Imam Syafi’I (84), Shahih Bukhari (44), Shahih Muslim (12), Muwatha’ Imam Malik (382), Sunan at-Turmidzi (561), Sunan an-Nasaa’i (454), Musnad Ahmad (1314), al-Mustadrak Imam Hakim (1069), Shahih Ibnu Hibban (1754).
[21] Al-Fiqhu ‘alaa Madzahibil Arba’ah.
[22] Lihat : al-Majmu’ an-Nawawiyah (5/19).
[23] Lihat : Ma’rifatus Sunani wal Atsar lil-Baihaqiy (1918) ; al-Majmu’ (5/18) ; al-Umm (bab tidak ada adzan bagi shalat ‘ied).
[24]Lihat : al-Majmu’ an-Nawawiyah (5/19).
[25] Lihat : Ma’rifatus Sunani wal Atsar lil-Baihaqiy, (1921), hadits ini juga diriwayatkan dalam kitab ash-Shahihain.
[26] Lihat : Ibid, (1919) ; al-Majmu’ an-Nawawiyah (5/18) ; al-Umm (bab tidak ada adzan bagi shalat ‘ied).
[27] Lihat : al-Umm (bab tidak ada adzan bagi shalat ‘ied) ; al-Majmu (5/20).
[28] Lihat : al-Majmu an-Nawawiyah (5/20).
[29] Al-Fiqhu ‘alaa Madzahibil Arba’ah.
[30] Lihat : Fathul Wahab, bab Shalatul ‘Idayn ; Raudlatuth Thalibin (1/170).
[31] Lihat : As-Sirajul Wahaj (95) ; al-Majmu’ an-Nawawiyah (5/4).
[32] Fathul Qaribul Mujib , fashal Shalat ‘Idayn.
[33] Lihat ; al-Majmu’ an-Nawawiyah (5/24).
[34] Lihat : al-Fiqhu ‘alaa Madzhibil Arba’ah.
[35] Lihat : al-Fiqh al-Manhaji ‘alaa Madzhab Imam asy-Syafi’i.
[36] Raudlatuth Thalibin wa ‘Umdatul Muftiin (1/171).
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Lihat : al-Fiqhu ‘alaa Madzhibil Arba’ah (Tata cara shalat ‘Id, Hanabilah)
[40] Lihat : Ibid, (Tata cara shalat ‘Id, Syafi’iyyah & Hanabilah).
[41] Lihat : Ibid, (Tata cara shalat ‘Id, Malikiyah).
[42] Lihat : al-Fiqh al-Manhaji ‘alaa Madzhab Imam asy-Syafi’i.
[43] Sunan an-Nasaa’i no. 1548 ; Mushnaf Abdurrazaq no. 4278 ; Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1346 dan lain-lain.
[44] Sunan at-Turmidzi no. 492 ; Sunan Ibni Majah no. 1269 ; Sunan ad-Daruqutniy no. 1747 ; Musnad Imam asy-Syafi’i no. 134 ; Ma’rifatus Sunani wal Atsar lil-Baihaqiy no. 1927. Hadits ini digunakan oleh madzhab Syafi’iyyah sebagai dalil jumlah takbir tambahan pada shalat ‘ied dan diantara ulama terdapat perselisihan mengenai jumlah takbir tambahan tersebut.
[45] Lihat : al-Fiqhu ‘alaa Madzhibil Arba’ah (Tata cara shalat ‘Id, Syafi’iyyah & Malikiyah)
[46] Lihat : al-Majmu an-Nawawiyah (5/26).
[47] Lihat ; Fathul Qaribul Mujib, fashal Shalat ‘Idayn ; Fathul Wahab, bab Shalat ‘Idayn ; al-Majmu’ (5/21).
[48] Shahih Ibnu Hibban no. 2877.
[49] Lihat : Fathul Wahab, bab Shalat ‘Idayn.
[50] Shahih Muslim (878) ; lihat juga : Shahih Ibnu Hibban no. 2878.
[51] Lihat : al-Majmu’ (5/6) ; Raudlatuth Thalibin (1/171) ; al-Fiqh al-Manhaji (tempat mendirikan shalat ‘ied) ; al-Fiqhu ‘alaa Madzahibil Arba’ah.
[52] Lihat : al-Fiqhu ‘alaa Madzahibil Arba’ah (tempat melaksanakan shalat ‘ied).
[53] Lihat : al-Fiqhu ‘alaa Madzahibil Arba’ah (Hukum Khutbah ‘Idayn).
[54] Lihat : Hasyiyah al-Bujairami ‘alaa al-Khatib (5/417) ;Fathul Wahab (bab ‘Idayn) ; al-Fiqhu al-Manhaji (Khubat ‘Ied) ; al-Majmu ‘(5/30) ; Nihayatul Muhtaj (2/391) .
[55] Lihat : al-Umm Imam asy-Syafi’i (1/235) ; al-Majmu’ (5/30).
[56] Shahih Muslim no. 888.
[57] Shahih Bukhari no. 962.
[58] Lihat ; al-Majmu’ an-Nawawiyah (5/26-27). Hadits tersebut diriwayatkan dalam Sunan at-Turmidzi (1441) . Abu ‘Isaa berkata hadits tersebut gharib min hadzal wajhi, dikatakan tidak didengar dari Jabir. Juga diriwayatkan dalam Sunan ad-Daruquthniy (4823). Dalam Fathul Bari li-Ibni Rajab (7/70) dikatakan kalau hadits tersebut gharib dan kacau, dan dikatakan pula tidak didengar dari Jabir. Dalam Tuhfatul Ahwadi (4/174) dikatakan hadits gharib min hadzal wajh, Imam Abu daud mentakhijnya dengan sanad at-Turmidzi dan mendiamkannya (tidak mengomentarinya) –sakata ‘anhu-.
[59] Lihat : Fathul Wahab (bab ‘Idayn) ; al-Fiqhu ‘alaa Madzhibil Arba’ah (Rukun Khutbah ‘Id) ; al-Majmu’ (5/28) ; al-Fiqhu al-Manhaji (Khutbat ‘Ied).
[60] Lihat : al-Fiqhu ‘alaa Madzhibil Arba’ah (Rukun Khutbah ‘Id).
[61] Musnad Imam asy-Syafi’i no. 319 ; Ma’rifatus Sunani wal Atsar lil-Baihaqiy no. 1956 ; as-Sunan al-Kubraa lil-Baihaqiy (3/299) ; dan juga tercantum dalam kitab al-Umm Imam asy-Syafi’i (fashal baiynal khutbatayn).
[62] Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1367 ; Sunan ad-Darimiy no. 1610 ; Sunan ad-Daruquthniy no. 1649 ; Sunan an-Nasaa’i no. 1399. Hadits ini bersifat umum, sebab tidak menyebut khutbah pada shalat tertentu, namun Imam asy-Syafi’I didalam al-Umm mengatakan bahwa semua khutbah adalah seperti itu baik khutbah shalat Istisqa’, khutbah Kusuf , khutbah Haj dan semua khutbah [lihat : al-Umm pada fashal diantara 2 khutbah].
[63] Lihat : al-Majmu’ an-Nawawiyah (5/28).
[64] Lihat : al-Umm Imam asy-Syafi’i (fashal baynal Khutbatayn).
[65] Lihat : Nihayatul Muhtaj (2/392).
[66] Lihat : Hasyiyah al-Bujairamiy ‘alaa al-Khatib (5/420) ; al-Majmu’ (5/28) ; Nihayatul Muhtaj (2/392) ; al-Iqna’ lil-Mawardi (1/53).
[67] Lihat : al-Umm Imam asy-Syafi’i (at-Takbiru fil Khutbah fil ‘Idayn) ; al-Fiqhu al-Manhaji (Khutbah fil ‘Ied) ; al-Majmu’ (5/29).
[68] Lihat : al-Majmu’ (5/29) ; al-Umm (Istima’ul khutbah fil ‘Idayn) .
[69] Lihat : al-Adzkar an-Nawawiyah hal. 155 ; Fathul Qarib (fashal Shalat ‘Idayn) ; Raudlatuth Thalibin (juz 2 hal. 79 -80) ; as-Sirajul Wahaj (bab shalat ‘Idayn) hal. 95 ; Mughiy Muhtaj (juz 1, hal. 315) ; al-Iqnaa’ lil-Mawardi (bab shalat ‘Idayn) ; Fathul Wahab (bab shalat ‘Idayn) ; Fathul Mu’in (Shalat yang disunnahkan berjama’ah) ; I’anatuth Thalibin (3/303-304) ; al-Fiqh al-Manhaji (Juz 1) ; al-Iqna’ fiy Alfadz Abi Syuja’ (1/189) ; Fathul ‘Aziz Syarah al-Wajiz (juz 5, hal. 12-13) ; Nihayatul Muhtaj (juz 2, hal. 399-400) ; Ma’rifatus Sunani wal Atsar (2002) ; al-Umm (Kayfa at-Takbir) dan lain-lain.
[70] As-Sunan al-Kubraa lil-Baihaqiy (3/279) ; Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1352.
[71] Berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbas dan lainnya (al-Majmu’ 5/36).
عن ابن عباس أنه قال : الله أكبر ثلاثا .
“Dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau bertakbir dengan : “Allahu Akbar” sebanyak 3 kali.
وعن عبد الله بن محمد بن أبي بكر بن عمرو بن حزم قال : رأيت الأئمة رضي الله عنهم يكبرون أيام التشريق بعد الصلاة ثلاثا
“Dari Abdullah bin Muhammad bin Abdu Bakar bin ‘Amru bin Hazm, ia berkata : “aku melihat para Imam –radliyallahu ‘anhum” mereka bertakbir pada hari-hari tasyrik setelah shalat sebanyak 3 kali (Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar)”/.
[72] Sebagaimana terdapat Mushnaf Abi Syaibah (2/74). Sayyidina ‘Ali dan Abdullah bertakbir dengan lafadz yang sama,
حدثنا يزيد بن هارون قال حدثنا شريك قال قلت لابي إسحاق كيف كان يكبر علي وعبد الله قال كانا يقولان الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد
“mengabarkan kepadaku Yazid bin Harun, ia berkata mengabarkan kepadaku Syarik ia berkata ; aku mengatakan kepada Abi Ishaq , bagaimanna ; Ali dan Abdullah bertakbir ? ia berkata, kedua bertakbir dengan “Allahu Akbar Allahu Akbar Laa Ilaaha Illallahu wa-Allahu Akbar Allahu Akbar wa-Lillaahil-Hamd”
Ibnu ‘Abbas bertakbir dengan lafadz berikut ;
حدثنا يحيى بن سعيد عن أبي بكار عن عكرمة عن ابن عباس أنه كان يقول : الله أكبر كبيرا الله أكبر كبيرا الله أكبر وأجل الله أكبر ولله الحمد
“Mengabarkan Yahya bin Sa’id dari Abu Bakar dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia bertakbir dengan mengucapkan “Allahu Akbar Kabiiran Allahu Akbar Kabiiran Alllahu Akbar wa-Ajallallhu Allahu Akbar wa-Lillaahil-Hamd”
Dan juga terdapat dalam riwayat lainnya seperti dalam al-Mu’jam al-Kabir ath-Thabraniy (8/248), Sunan ad-Daruquthniy (1756) dan lainnya. Tentang takbir, diantara sahabat terdapat beberapa lafadz.
[73] Lihat : al-Fiqhu al-Manhaji ‘’alaa Madzhab Imam asy-Syafi’i ; Nihayatuz Zain lin-Nawawi al-Bantaniy ; Raudlatuth Thalibin (1/172) ; al-Majmu’ (5/8-9) ;
[74] Musnad Imam asy-Syafi’i no. 295 ; al-Umm (hal. 265) ; Muwatha’ Imam Malik no. 384 ; Ma’rifatus Sunani wal Atsar no. 1879 ;
[75] Sunan Ibnu Majah no. 1305. Disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadi (2/70) bahwa “sanad-sanadnya dlaif”. Fathul Bari li-Ibnu Rajab (7/30), “Hajjaj bin Tamim dan Jubarah bin Mughallis, keduanya dhaif”.
[76]Disebutkan dalam Fathul ‘Aziz Syarah al-Wajiz (5/23) ; al-Majmu’ an-Nawawiyah (5/8-9).
[77] Ahkam al-‘Idayni lil-Firyabiy (16 & 160).
[78] Musnad asy-Syafi’i no. 297 ; al-Umm hal. 266 ; Sunan al-Kubraa lil-Baihaqiy (3/280).
[79] Shahih Bukhari no. 896 ; Shahih Muslim no. 2068. Dituturkan dalam kitab Syarah al-Bukhari li-Ibni Bathal (4/166) bahwa berhias (memperindah) pada hari raya dengan pakaian yang bagus adalah sunnah mandub bagi setiap orang yang mampu. Demikian juga dituturkan dalam Syarah al-Bukhari li-Ibni Rajab (7/29) bahwa “hadits tersebut menunjukkan berhias pada hari raya dan itu hal yang biasa diantaara mereka, dan telah berlalu hadits tentang pakaian Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam pada hari raya yaitu burdah berwarna merah, kebanyakan ulama berpegang pada pendapat ini, diantaranya qaul Malik, asy-Syafi’i dan Ashhabusy Syafi’I serta yang lainnya”.
[80] Ma’rifatus Sunani wal Atsar lil-Baihaqiy (3/297) ; Musnad asy-Syafi’I no. 294. Syaikh Ahmad berkata, diriwayatan oleh Yahya al-Qaththan, dari Ibnu ‘Ajilan secaa mauquf, dan diriwayatkan Abu Syihab dari Ubaidillah bin Umar secara mauquf juga.
[81] As-Sunan al-Kubraa lil-Baihaqiy (3/297). Hadits ini shahih mauquf.
[82] Mushnaf Abi Syaibah (2/71).
[83] Ma’rifatus Sunani wal Atsar lil-Baihaqiy no. 1911 ; Shahih Ibnu Hibban no. 2871 ; al-Mu’jam al-Awsath lil-Thabraniy no. 5171. Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 900 didalam kitab shahihnya dari Hisyam dari Ubaidillah.
حدثنا محمد بن عبد الرحيم حدثنا سعيد بن سليمان قال حدثنا هشيم قال أخبرنا عبيد الله بن أبي بكر بن أنس عن أنس بن مالك قال
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يغدو يوم الفطر حتى يأكل تمرات. وقال مرجأ بن رجاء حدثني عبيد الله قال حدثني أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم ويأكلهن وترا.
“Mengabarkan kepadaku Muhammad bin Abdurrahim, mengabarkan kepadaku Sa’id bin Sulaiman, ia berkata, mengabarkan kepadaku Hisyam, ia berkata mengabarkan kepada’Ubaidillah bin Abu Bakr bin Anas, dari Anas bin Malik, ia berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak pergi pada ‘idul Fitri hingga beliau memakan beberapa kurma”. Marja’ bin Raja’ berkata, mengabarkan kepadaku ‘Ubaidillah, ia berkata mengabarkan kepadaku Anas dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa salllam dan beliau memakan jumlah ganjil”.
[84] Lihat ; Mukhtashar al-Muzanni (1/30) dan juga dalam al-Majmu’ (5/13). Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkannya dalam Fathu Bari (3/379) bahwa Imam asy-Syafi’I dalam al-Umm mengatakan : “telah menyampaikan kepadanya az-Zukhriy, ia berkata : “Nabi tidak berkendaraan pada hari raya juga pada shalat Jenazah”.
[85] Sunan Ibnu Majah no. 1284. Dituturkan dalam al-Majmu’ (5/14) bahwa sanad-sanadnya semuanya dhoif, kedlaifannya jelas.
[86] Disebutkan dalam al-Majmu’ (5/14) bahwa diriwayatkan oleh at-Turmidzi dan beliau mengatakan bahwa hadits tersebut hasan. ; lihat jga dalam Asnal Mathalib (4/166) Namun, dikatakan bahwa hadist tersebut tidak hasan dan qaul at-Turmidzi tidak bisa di terima dalam hal ini. ; Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathu Bari (3/379) mengatakan bahwa sanadnya dlaif.
[87] Shahih Bukhari no. 933.
[88] Lihat : al-Majmu’ an-Nawawiyah (5/11). Imam asy-Syafi’I dan juga Ashhabusy Syafi’I menganjurkan agar wanita menghadiri shalat ‘Ied.
[89] Shahih Muslim no. 890.

0 Response to "Fashlun fiy Shalah al-'Idayn (Fasal tentang Shalat Hari Raya)"

Posting Komentar

Media Islam

Thariqat Sarkubiyah

NU Online