Latest Updates

Saksi Mata Kenduri Arwah 7 Hari Di Makkah dan Madinah Didalam Kitab Kasyful Astaar dan al-Hawi lil-Fatawi

Didalam kitab Kasyful Astaar (كشف الأستار), sebuah kitab khusus membahas tentang hadits terkait kenduri arwah (tahlilan) seperti hadits yang dianggap sebagai larangan makan di kediaman keluarga orang mati dan hadits yang memperbolehkannya dengan disertai komentar-komentar para ulama Ahl Sunnah wal Jama’ah. Kitab ini dikarang oleh salah seorang ulama besar Indonesia yakni al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis.

Beliau lahir pada 7 Desember 1932 M didesa Langkean kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Setelah taman Voikshool tahun 1941, kemudian beliau masuk pesantren. Tahun 1947 – 1958 berangkat ke tanah suci Makkah untuk menuntut ilmu Islam ke sumber aslinya yang murni. Tahun 1375 Hijriyah beliau tamat menghafal al-Qur’an di Madrasah Ulumul Qur’an Makkah, juga tamat dari Madrasah Fakhriyyah Utsmaniyyah tahun 1958 M dan Madrasah Darul ‘Ulum ad-Diniyyah hingga mendapatkan gelar “Asy-Syaikh al-Fadlil” dan mendapatkan ijazah untuk mengajar di Madrasah Darul ‘Ulum Makkah al-Mukarramah. Beliau juga mendapatkan ijazah silsilah hadits melalui guru beliau yang merupakan para ulama besar di zamannya, antara lain :

1. Syaikh Hasan al-Yamani
2. Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutubi
3. Syaikh Sayyid Alwi Abbas al-Maliki
4. Syaikh ‘Ali al-Maghribi al-Maliki
5. Syaikh Hasan al-Masysyath
6. Syaikh Alimuddin Muhammad Yasiin al-Fadani

Dari ijazah silsilah ini beliau diberi gelar “al-Allamah al-Jalil KH. Muhammad Nur Bughis”. Setelah kembali dari Makkah al-Mukarramah, beliau memberikan pengajian di masjid-masjid Ujuang Pandang sekaligus mendirikan serta memimpin Perguruan Islam Ma’had Dirasaati Islamiyah wal ‘Arabiyyah Ujung Pandang. Pada tahun 1988 membuka sebuah pesantren dengan nama Ma’had an-Nur fiy Ulumil Qur’an di Maccopa kabupaten Maros. Beliau juga merupakan ketua Majelis Ulama Indonesia wilayah Sulawesi Selatan.

Didalam kitabnya, Syaikh Muhammad Nur menyebutkan hadits-hadits Shahih riwayat Thawus disertai komentar beberapa Imam kaum Muslimin tentang anjuran memberikan hidangan makanan selama 7 hari, kemudian beliau pun memberikan informasi sebagai berikut :

أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.
“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan gertakannya”. []

Begitulah informasi kenduri makan 7 hari, dan juga faktanya di Makkah dan Madinah pun sampai saat ini masih tetap ada, yang dilakukan oleh non-Wahhabiyah, demikian juga di negeri-negeri kaum Muslimin lainnya termasuk di Indonesia. Adapuan selengkapnya mengenai sakti mata dari salah satu pengarang Tafsir al-Jalalain yakni al-Imam al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi sebagai berikut :

 أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول
"Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka faktanya, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam"

Untuk memahami dalil diperlukan penguasaan berbagai disiplin ilmu, namun melihat fakta dapat dengan mudah disaksikan tanpa memerlukan penguasaan berbagai disiplin ilmu dan juga tidak mungkin siapapun bisa mengingkarinya kecuali orang-orang yang memang buta mata hatinya. Dari itu juga, perlu di ketahui bahwa kegiatan-kegiatan yang telah mendarah daging di lingkungan masyarakat Muslimin pada dasarnya memiliki landasan dari sisi syariat, hanya saja kurangnya waktu luang kita serta masih awamnya kita dalam meneliti, mengkaji dan memahami dalil-dalil al-Qur’an, As-Sunnah serta komentar-komentar para Ulama Ahl Sunnah menjadikan kita tidak mengetahui landasannya. Sehingga taqlid adalah jalan satu-satunya jika tidak mampu menguasai berbagai disiplin ilmu Islam.

Oleh karena itu juga, tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Islam berbeda dengan tradisi yang ada pada masyarakat non-Islam, dan tidak boleh di qiyaskan (disamakan), sebab dari asasnya sudah berbeda. Wallahu A’lam []


Oleh : Ats-Tsauriy (Bangkalan); terima kasih kepada al-Akh Luqman Firmansyah atas kitab Kaysful Astaar yang telah di share.

Media Islam

Thariqat Sarkubiyah

NU Online