Keawaman seseorang ditambah rasa tidak tahu malu yang bersemayam dalam diri seseorang akan menjadi faktor pendorong cukup ampuh dalam menebarkan kebencian dan fitnah terhadap amaliyah kaum Muslimin yang sudah masyhur serta diakui oleh para Imam kaum Muslimin. Tanpa rasa malu pun akan memamerkan kejahilan dirinya yang kemudian akan diperparah dengan hadirnya orang-orang sejenis yang meng-amini-nya. Sungguh ini kondisi dan orang-orang yang sangat dicintai oleh dajjal.
Membakar uang kertas yang dilakukan oleh orang Budhaa sama sekali tidak ada sangkut paut dengan Islam, bahkan dari asasnya pun sudah jelas berbeda. Ini sesuatu yang terang bederang yang diketahui bahkan oleh orang awam sekalipun, namun tidak bagi orang yang tertutup hatinya. Tidak ada pembenaran sama sekali menyamakan amalan kaum Budhaa dengan amalan kaum Muslimin, ini adalah sebuah qiyas yang bathil (qiyas ma’al fariq) yang hanya dilakukan oleh orang-orang jahil. Amalan Budhaa, dikaji dan ditelurusi dari segi manapun maka asasnya kembali ajaran Budhaa itu sendiri serta tidak ada kaitannya dengan Islam (syariat Islam). Sedangkan amaliyah yang ada pada kaum Muslimin, jika ditelusuri dan dikaji maka akan terlihat dalil atau landasannya dari sisi syariat Islam,apalagi terkait dengan mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an atau amal-amal kebajikan lainnya kepada orang mati yang memang sudah dikaji oleh ulama Islam yang kredibel dan telah nampak dengan jelas landasannya. Hanya saja, keawaman seseorang terhadap sebuah masalah kadang menjadi batasan pengetahuan dirinya untuk mengetahui dalil maupun qaul para ulama terkait masalah tersebut. Diharapkan bagi orang semacam ini lebih baik diam daripada berbicara atas dasar ketidak tahuannya. Sebuah syair arab yang bisaksana menyebutkan :
الصَّمْتُ أَزْيَنُ بِالْفَتَى ... مِنْ مَنْطِقٍ فِي غَيْرِ حِينِهِ"Diam lebih berharga bagi seorang pemuda... daripada berbicara pada yang bukan bidangnya"
IMAM ASY-SYAFI’I DAN MEMBACA AL-QUR’AN UNTUK ORANG MATI
Mereka (non-madzhab) yang anti (benci) terhadap amaliyah membaca al-Qur’an untuk orang mati yang hingga menebar-nebar fitnah dimana-mana kebanyakan menyandarkannya pada qaul Imam asy-Syafi’i yang juga dinukil oleh Imam Ibnu Katsir (seorang imam mufassir bermadzhab Syafi’i) didalam kitab tafsirnya. Padahal qaul Imam asy-Syafi’i tidak hanya itu saja, lebih jauh lain masih banyak qaul para Imam lainnya yang menyatakan sampainya pahala bacaaan al-Qur’an untuk orang mati serta memberi manfaat kepada orang mati, bahkan pendapat ini bisa katakan juga sebagai Ijma’ sukuti serta tidak ada yang mengingkarinya pada setiap masa.[1] Apakah yang seperti ini yang oleh para dajjal itu katakan sebagai amalan Budhaa ? ataukah mereka akan katakan kalau para Imam kaum Muslimin menggali hukum dari Budhaa (syirik) ?.
Ataukah non-madzhab atau orang jahil itu akan mengatakan “oo itu cuma pendapat, jadi bukan dalil, dalil adalah al-Qur’an dan As-Sunnah”. Ini adalah ucapan yang sangat dangkal, seolah-olah qaul ulama hanya dihasilkan dari sekedar omongan belaka yang tidak ada nilainya serta tidak berdasarkan ilmu dan dianggap bukan digali dari dalil-dalil al-Qur’an dan As-Sunnah. Perlu diketahui, bahwa ulama berpendapat atau mengistinbath suatu hukum adalah berlandaskan pada dalil dan kaidah-kaidah ushul dengan keilmuannya yang luas (bukan dengan kedangkalan). Masing-masing ulama memang dimungkinkan berbeda dalam memahami suatu permasalahan maupun dalil yang dijadikan landasannya, sebab kaidah penggaliannya pun kadang berbeda, maka dalam hal itu di tuntut untuk bisa saling tolerir terhadap hasil ijtihad satu dengan yang lainnya.
Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i menyebutkan qaul Imam Syafi’i didalam tafsirnya terkait QS. An-Najm : 39 sebagai berikut :
“Dan dari ayat ini, Imam asy-Syafi’i dan orang yang mengikutinya beristinbat bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai menghadiahkan pahalanya kepada mayyit, karena itu bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka”.[2]
Masalah : apakah qaul Imam asy-Syafi’i ini mutlak bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada orang mati ? atau terkait situasi atau kondisi tertentu ? Bagaimana penjelasan para ulama Syafi’iyah terkait qaul Imam asy-Syafi’i ini ?.
Perlu diketahui bahwa qaul Imam asy-Syafi’i yang diatas ini telah di istilahkan oleh pembesar madzhab Syafi’iyah yakni Imam an-Nawawi dan para imam lainnya sebagai qaul masyhur, sedangkan qaul yang menyatakan sampainya pahala bacaan al-Qur’an untuk orang mati diistilahkan sebagai qaul Mukhtar yakni pendapat yang muktamad (kuat) yang dipilih atau dijadikan sebagai fatwa Madzhab, pendapat inilah yang juga dipegang oleh Imam tiga (Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal). [3]
Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Muhaddits al-Baihaqi (Ahl hadits bermadzhab Syafi’i) didalam Ma’rifatus Sunani wal Atsar :
“Imam asy-Syafi’i berkata : aku menyukai seandainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” [4]
Imam al-Mawardi asy-Syafi’i telah menyebutkan didalam al-Hawi al-Kabiir :
“adapun membaca al-Qur’an disisi qubur maka sungguh Imam asy-Syafi’i telah berkata : “aku memandang orang yang berpesan agar dibacakan al-Qur’an disamping quburnya adalah hasan (bagus) menurut kami”.[5]
Imam an-Nawawi juga telah menyebutkan didalam kitab al-Adzkar :
“Imam asy-Syafi’i dan sahabatnya (ulama lainnya) berkata : “disunnahkan untuk membaca sesuatu dari al-Qur’an disamping kubur”, mereka berkata : “apabila mengkhatamkaan al-Qur’an seluruhnya maka itu bagus”. [6]
Ini adalah qaul Imam asy-Syafi’i yang justru menganjurkan membaca al-Qur’an untuk orang mati di samping kuburan. Oleh karena itu, para ulama Syafi’iyah seperti Syaikhul Islam Imam Zakariyya al-Anshari (Imam bermadzhab Syafi’i) dalam menyikapi qaul masyhur mengomentari sebagai berikut :
“Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”. [7]
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (Imam bermadzhab Syafi’i) didalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa:
“dan perkataan Imam asy-Syafi’i ini (membaca al-Qur’an disamping qubur) memperkuat pernyataan ulama-ulama Mutaakhkhirin dalam membawa pendapat masyhur diatas pengertian apabila tidak dihadapan mayyit atau apabila tidak mengiringinya dengan do’a”. [8]
Lagi, dalam Tuhfatul Muhtaj :
“sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit”.[9]
Oleh karena itu Syaikh Sulaiman al-Jumal (Imam bermadzhab Syafi’i) didalam Futuuhat al-Wahab (Hasyiyatul Jumal) mengatakan sebagai berikut :
“dan tahqiq bahwa bacaan al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh, atau mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga. Intahaa”.[10]
“(Cabang) pahala bacaan al-Qur’an adalah bagi si pembaca dan pahalanya itu juga bisa sampai kepada mayyit apabila dibaca dihadapan orang mati, atau meniatkannya, atau menjadikan pahalanya untuk orang mati setelah selesai membaca menurut pendapat yang kuat (muktamad) tentang hal itu,.... Frasa (adapun pembacaan al-Qur’an –sampai akhir-), Imam Ramli berkata : pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit apabila telah ada salah satu dari 3 hal : membaca disamping quburnya, mendo’akan untuknya mengiringi pembacaan al-Qur’an dan meniatkan pahalanya sampai kepada orang mati.”[11]
Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (Imam bermadzhab Syafi’i)rahimahullah:
“Dan yang dipilih agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.[12]
Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri (Imam bermadzhab Syafi’i) didalam As-Siraaj :
“’Ulama mutaakhkhirin berpendapat atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, dan sepatutnya mengucapkan : “ya Allah sampaikan apa apa yang kami baca untuk fulan”, bahkan ini tidak khusus untuk qira’ah saja tetapi juga seluruh amal kebaikan boleh untuk memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, sungguh orang yang bershadaqah untuk mayyit tidak mengurangi pahalanya dirinya”.[13]
Dari beberapa keterangan ulama-ulama Syafi’iyah diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaul masyhur pun sebenarnya menyatakan sampai apabila al-Qur’an dibaca hadapan mayyit termasuk membaca disamping qubur, juga sampai apabila meniatkan pahalanya untuk orang mati yakni pahalanya ditujukan untuk orang mati, dan juga sampai apabila mendo’akan bacaan al-Qur’an yang telah dibaca agar disampaikan kepada orang yang mati.
IMAM ABU HANIFAH, IMAM MALIK DAN IMAM AHMAD
Al-‘Allamah Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi menuturkan didalam kitab I’anatuth Thalibin :
“Sesungguhnya pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada orang mati seperti Madzhab Imam tiga (Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad). Selesai. [14]
Imam Syamsuddin al-Khathib asy-Syarbini pun menuturkan didalam Mughni al-Muhtaj :
“Mushannif (pengarang) telah menceritakan didalam Syarah Muslim dan al-Adzkar tentang sebuah pendapat, bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit seperti Madzhab Imam 3 (Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad), dan jamaa’ah dari Ashhab (Syafi’i) telah memilihnya, diantaranya Ibnu Shalah, al-Muhib, ath-Thabari, Ibnu Abid Dam, shahibu adz-Dzakhair, Ibnu Abi ‘Ashrun serta dengannya manusia (umat Islam) beramal, dan apa yang dipandang oleh kaum Muslimin sebagai sebuah kebaikan maka disisi Allah itu baik, Imam As-Subki berkata : dan yang menunjukkan atas hal itu adalah khabar (hadits) berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila di qashadkan (ditujukan) dengannya niscaya akan memberikan manfaat kepada mayyit (orang mati) serta meringankan (siksanya) dengan manfaat tersebut, apabila telah tsabit bahwa sudah al-Fatihah tatkala di seorang qari’ mengqashadkannya maka memberikan manfaat kepada orang yang terkena sengatan, dan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam taqrir terhadap hal itu dengan sabdanya “siapa yang memberi tahu bahwa surah al-Fatihah adalah ruqiyah ?”, maka apabila memberikan manfaat kepada orang hidup dengan mengqashadkannya maka manfaat kepada orang mati dengan mengqashadkanya itu lebih utama” Selesai.[15]
‘ULAMA WAHABI TENTANG MEMBACA AL-QUR’AN UNTUK ROH MAYYIT (ORANG MATI)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin merupakan salah satu ulama yang oleh sebagian kaum Muslimin dianggap sebagai ulama wahabi, walaupun ada sedikit orang yang mengatakan bahwa beliau adalah ulama Hanabilah (Madzhab Hanbali) dan jika ini benar, maka patut diapresiasi sebab ternyata masih bermadzhab walaupun kenyataanya tidak demikian. Beliau wafat beberapa tahun yang lalu yakni 1421 Hijriyah.
Ada hal menarik, ketika beliau ditanya tentang hukum tilawah (membaca al-Qur'an) untuk roh mayyit, yang mana selama ini dari pengikut wahabi sendiri selalu gencar membid’ahkan kaum Muslimin termasuk juga pengikut madzhab Syafi’i yang ada di Indonesia. Akan tetapi, ternyata salah satu ulama yang dianggap beraliran wahabi ini malah berlawanan dengan mereka yang hobi membid’ahkan. DidalamMajmu' Fatawa wa Rasaail karya Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin [w. 1421 H] termaktub sebagai berikut :
سئل فضيلة الشيخ: عن حكم التلاوة لروح الميت؟Fadlilatusy Syaikh ditanya tentang hukum tilawah (membaca al-Qur’an) untuk orang mati ?
فأجاب قائلًا: التلاوة لروح الميت يعني أن يقرأ القرآن وهو يريد أن يكون ثوابه لميت من المسلمين هذه المسألة محل خلاف بين أهل العلم على قولين: القول الأول: أن ذلك غير مشروع وأن الميت لا ينتفع به أي لا ينتفع بالقرآن في هذه الحال. القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبًا أو غير قريب.Jawaban : Tilawah untuk roh orang mati yakni membaca al-Qur’an karena ingin memberikan pahalanya untuk mayyit (orang mati) yang muslim, masalah ini terdapat perselisihan diantara ahlul ilmi atas dua pendapat : Pertama, sungguh itu bukan perkara yang masyru’ (tidak disyariatkan) dan sungguh mayyit tidak mendapat manfaat dengan hal itu yakni tidak mendapatkan manfaat dengan pembacaan al-Qur’an pada perkara ini. Kedua, sesungguhnya mayyit mendapatkan manfaat dengan hal itu, dan sesungguhnya boleh bagi umat Islam untuk membaca al-Qur’an dengan meniatkan pahalanya untuk fulan atau fulanah yang beragama Islam, sama saja baik dekat atau tidak dekat (alias jauh).
والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت، كما في حديث سعد ابن عبادة -رضي الله عنه- حين تصدق ببستانه لأمه، وكما في قصة الرجل الذي قال للنبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: «إن أمي افْتُلِتَت نفسها وأظنها لو تكلمت لتصدقت أفأتصدق عنها؟ قال النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: "نعم» وهذه قضايا أعيان تدل على أن صرف جنس العبادات لأحد من المسلمين جائز وهو كذلك، ولكن أفضل من هذا أن تدعو للميت، وتجعل الأعمال الصالحة لنفسك لأن النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قال: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» . ولم يقل: أو ولد صالح يتلو له أو يصلي له أو يصوم له أو يتصدق عنه بل قال: - «أو ولد صالح يدعو له» والسياق في سياق العمل، فدل ذلك على أن الأفضل أن يدعو الإنسان للميت لا أن يجعل له شيئًا من الأعمال الصالحة، والإنسان محتاج إلى العمل الصالح، أن يجد ثوابه له مدخرًا عند الله -عز وجل-.Dan yang rajih (yang kuat) : adalah qaul (pendapat) yang kedua karena sesungguhnya telah warid sebagai sebuah jenis ibadah yang boleh memindahkan pahalanya untuk mayyit (orang mati), sebagaimana pada hadits Sa’ad bin ‘Ubadah radliyallahu ‘anh ketika ia menshadaqahkan kebunnya untuk ibunya, dan sebagaimana kisah seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan aku menduga seandainya ia sempat berbicara ia akan meminta untuk bershadaqah, maka bolehkah bershadaqah untuknya ? Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : iya”, ini sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa memindahkan pahala jenis ibadah untuk salah seorang kaum Muslimin adalah boleh, dan demikian juga terkait membaca al-Qur’an. Akan tetapi yang lebih utama dari perkara ini agar mereka berdo’a untuk mayyit, serta menjadikan amal-amal shalih untuk dirimu sendiri karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “Apabila bani Adam mati maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selali mendo’akannya”. Tidak dikatakan, “atau anak shalih yang melakukan tilawah untuknya, atau shalat untuknya, atau puasa untuknya, atau shadaqah untuknya, akan tetapi Nabi bersabda : “atau anak shalih yang berdo’a untuknya”,
Maka ini menunjukkan bahwa seorang manusia berdo’a untuk mayyit itu lebih utama (afdlal) dari pada menjadikan amal-amal shalihnya untuk mayyit, dan manusia membutuhkan amal shalih agar pahalanya menjadi simpanan disisi Allah ‘Azza wa Jalla.” ........
FAIDAH YANG BISA DI PETIK JAWABAN ULAMA WAHABI :
- Yang rajih berdasarkan pentarjihan dari Syaikh al-‘Utsaimin adalah bahwa pahala bacaan al-Qur’an boleh dihadiahkan untuk orang mati, yakni dengan meniatkan pahalanya untuk orang mati. Hal ini memberikan manfaat untuk mayyit (orang mati).
- Pada hakikatnya, apa yang disampaikan oleh Syaikh al-‘Utsaimin ini sama kasusnya dengan sebagian pendapat Syafi’iyah yakni dengan meniatkan pahalanya untuk orang mati. Misalnya seperti yang dikatakan oleh Syaikh al-‘Allamah Sulaiman al-Jumal :
“dan tahqiq bacaan al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh, atau mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga” [Futuhaat al-Wahab li-Syaikh Sulailman al-Jamal (2/210)]
- Antara do’a untuk orang mati dan membaca al-Qur’an untuk orang mati, hanya masalah afdlaliyah (keutamaan) semata, dan keduanya sama-sama bermanfaat bagi orang mati. Namun, menurut Syaikh al-‘Utsaimin yang lebih utama adalah do’a untuk orang mati.
- Hadits tentang menshadaqahkan untuk orang mati juga bisa dijadikan sebagai dalil bahwa pembacaan al-Qur’an untuk orang mati juga boleh, sebab sama-sama termasuk jenis ibadah yang pahalanya bisa dipindahkan. Hal semacam ini pada dasarnya adalah metode qiyas.
- Hadits tentang terputusnya amal bukan berarti menafikan perpindahan pahala untuk orang mati, demikian juga bukan berarti larangan membaca al-Qur’an untuk orang mati, melainkan hanya masalah afdlaliyah saja antara membaca al-Qur’an, shalat untuk orang mati, puasa untuk orang mati, shadaqah untuk orang mati, dan do’a untuk orang mati. Didalam hadits tersebut menyebutkan do’a untuk orang mati, oleh karena itu do’a untuk orang mati lebih utama daripada membaca al-Qur’an untuk orang mati, shalat, puasa dan shadaqah.
- INI PENTING : yakni bahwa tidak semua perkara baru jatuh pada status hukum haram dan pada kasus ini Syaikh al-‘Utsaimin malam memperbolehkannya. Jika memang dipandang sebagai perkara bid’ah namun diperbolehkan maka sesungguhnya yang demikian dalam istilah ‘ulama Syafi’iyah adalah bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah).
Dalam pandangan Syafi’iyah, setiap perkara baru (bid’ah) memang tidak serta merta jatuh pada status hukum haram, sebab bid’ah bukanlah status hukum didalam Islam. Status hukum didalam Islam ada 5 yakni wajib, sunnah/mandub, mubah, makruh dan haram. Oleh karena itu, bid’ah harus dikaji dan telaah secara mendalam dengan kaidah-kaidah penetapan hukum dalam Islam. Jika masuk ketegori penetapan hukum mubah, maka ulama akan menyebutkan sebagai bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah), begitu seterusnya.
Wallahu A'lam [] AR
Catatan Kaki :
[1] Lihat : al-Mughni li-Ibni Qudamah [2/424]
[2] Tafsirul Qur’an al-‘Adzim lil-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i [7/431].
[3] Tuhfatul Muhtaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [7/73] ; Mughni Muhtaj lil-Imam al-Khatib as-Sarbini [4/110] ; I’anathuth Thalibin lil-Imam al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [3/258].
[4] Ma’rifatus Sunani wal Atsar lil-Imam al-Baihaqi No. 7743.
[5] Lihat : al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26]
[6] Lihat : al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi
[7] Lihat : Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23].
[8] Lihat : al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [2/27].
[9] Lihat : Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].
[10] Lihat : Futuhaat al-Wahab li-Syaikh Sulailman al-Jamal [2/210].
[11] Ibid [4/67] ; Hasyiyah al-Bujairami ‘alaa Syarhi al-Minhaj [3/286].
[12] Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522].
[13] Lihat : as-Sirajul Wahaj ‘alaa Matni al-Minhaj lil-‘Allamah Muhammad az-Zuhri [1/344]
[14] I’anathuth Thalibin lil-Imam al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [3/258].