Latest Updates

Hal-Hal Yang Disetujui dan Diperselisihkan Oleh Internal Ulama Wahhabiyah Tentang Mendapat Manfaat Dari Amal Orang Lain (Amalan Yang Ada Dalam Tahlilan)

MENYEDERHANAKAN BAHASAN 

Mayyit (orang mati) tentunya tidak mungkin bisa melakukan perbuatan (amal) tertentu karena sudah meninggal. Namun, mayyit tetap bisa mendapatkan manfaat dari amalnya sendiri (perbuatan si mayyit sendiri) yakni berupa :

1. Shadaqah Jariyah.
Jika seseorang menshadaqahkan hartanya misal untuk pembangun masjid, madrasah dan lainnya, itu adalah amalnya (pebuatan) ketika masih hidup, yang mana ia pahalanya akan terus mengalir kepadanya serta memberikan manfaat kepadanya baik ketika masih hidup maupun ketika ia mati. Itu amalnya sendiri.

2. Ilmu Yang Bermanfaat.
Seseorang yang ketika hidupnya menyebarkan ilmu semisal dengan cara mengajar ilmu Fiqh, hadits dan lain sebagainya, maka ia akan mendapatkan pahala yang bermanfaat baginya baik ketika ia hidup maupun ketika ia mati. Pahala akan terus mengalir seiring dengan dimanfaatkannya ilmu yang ia telah ajarkan. Itu termasuk dari amalnya sendiri.

3. Anak Shalih Yang Berdo’a Untuknya.
Adanya seorang anak karena adanya kedua orang tuanya, dimana kedua orang tuanya yang berusaha atas adanya seorang anak, oleh karena itu amal seorang anak merupakan bagian dari usaha (amal) dari kedua orang tua. Maka apabila seseorang memiliki anak dan anak tersebut berdo’a untuknya, maka itu termasuk dari amal seseorang itu sendiri (bukan orang lain).

Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“apabila seorang manusia mati maka terputus darinya amalnya (perbuatanya) kecuali yang berasal dari tiga hal yakni : shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang berdo’a untuknya”. []

Dari tiga hal tersebut akan terus mengalir pahalanya yang akan memberikan manfaat kepada orang mati. Namun bagaimana jika orang lain yang beramal untuknya atau ditujukan kepadanya ?

AMAL DARI ORANG LAIN BERUPA DO’A (DO’A ORANG LAIN)

Do’a dari orang lain adalah do’a yang dilakukan oleh orang lain (bukan si mayyit) yang ditujukan kepada orang mati. Misal, seorang muslim berdo’a untuk sahabatnya yang meninggal dunia. Maka itu adalah do’a yang berasal dari orang lain, sekaligus itu adalah amal orang lain (bukan amal si mayyit). Ini adalah salah satu bagian yang ada dalam tahlilan (kenduri arwah).

Amal dari orang lain yang berupa do’a ini akan memberikan manfaat kepada mayyit (orang mati) yang dido’akan. Orang lain yang dimaksud adalah selain diri mayyit juga selain anak kandung dari si mayyit sendiri, misalnya seperti saudara, paman, bibi, sepupu, teman dan sebagainya. Ulama Ahl Sunnah telah sepakat bahwa do’a bermanfaat bagi mayyit meskipun itu berasal dari amal orang lain. Demikian juga ulama dari aliran Wahhabiyah menyetujui bahwa orang mati bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa do’a.

Fatawa al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Iftaa Menyetujui Bahwa Mayyit Bisa Mendapatkan Manfaat dari Amal Orang Lain Berupa Do’a, yakni pada pertanyaan ke-13 dari fatwa no. 3323 yang anggota antara lain : Syaikh Abdullah bin Qu’ud,  Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua.

س13: ما قولكم في الدعاء للميت؛ هل هو نافع أم لا؟
“Soal : apa komentar kalian tentang do’a untuk orang mati ; apakah itu bermanfaat atau tidak ?”

ج13: الدعاء الشرعي ينفع الميت بإجماع أهل السنة والجماعة؛ لقوله تعالى: وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
jawaban : “do’a syar’i memberikan manfaat bagi orang mati berdasarkan ijma’ (kesepakatan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yakni berdasarkan firmah Allah Ta’alaa { Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang}"

AMAL DARI ORANG LAIN BERUPA SHADAQAH

Shadaqah dilakukan oleh yang hidup untuk orang yang mati, yang berarti bahwa shadaqah tersebut merupakan amal orang lain (bukan amal si mayyit). Amal orang lain yang masih hidup berupa shadaqah yang pahalanya untuk orang mati itu memberikan manfaat bagi mayyit. Hal ini telah disepakati dan menjadi ijma’ ulama Ahl Sunnah wal Jama’ah, dimana aliran Wahhabiyah pun telah menyetujuinya. Artinya aliran Wahhabiyah menyetujui bahwa mayyit bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa shadaqah orang yang hidup. Berikut diantara pernyataannya :

Fatawa al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Iftaa Tentang Amal Dari Orang Lain Untuk Mayyit Berupa Shadaqah yaitu pada sebuah jawaban dari pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 501 yang anggotanya sebagai berikut : Syaikh Abdullah bin Mani’, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua.

ج2: الصدقة عن الميت من الأمور المشروعة، وسواء كانت هذه الصدقة مالا أو دعاء، فقد روى مسلم في الصحيح، والبخاري في الأدب المفرد، وأصحاب السنن عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له  » فهذا الحديث يدل بعمومه على أن ثواب الصدقة يصل إلى الميت ولم يفصل النبي صلى الله عليه وسلم بين ما إذا كانت بوصية منه أو بدون وصية، فيكون الحديث عاما في الحالتين، وذكر الولد فقط في الدعاء للميت لا مفهوم له بدليل الأحاديث الكثيرة الثابتة في مشروعية الدعاء للأموات، كما في الصلاة عليهم، وعند زيارة القبور، فلا فرق أن تكون من قريب أو بعيد عن الميت. وفي الصحيحين عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم «أن رجلا قال: يا رسول الله إن أمي ماتت ولم توص، أفلها أجر إن تصدقت عنها؟ قال صلى الله عليه وسلم: نعم 
“Jawaban : shadaqah untuk mayyit termasuk perkara yang disyariatkan, sama saja baik shadaqah tersebut berupa harta atau do’a. Sungguh Imam Muslim telah meriwayatkan didalam Ash-Shahih, al-Bukhari didalam Adabul Mufrad dan Ashhabus Sunan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘’anh, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : {apabila cucu Adam mati maka terputus amalnya kecuali 3 hal yakni shadaqah Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang berdo’a untuknya}, hadits ini menujukkan keumumannya atas sampainya pahala shadaqah kepada mayyit dan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak merincikan apakah dengan cara wasiat atau tanpa wasiat, maka keberadaan hadits ini umum pada dua hal tersebut, penyebutan anak saja pada do’a untuk orang mati bukan mafhum untuknya berdasarkan dalil hadits-hadits yang banyak serta tsabit tentang disyariatkannya do’a untuk orang mati, sebagaimana pada shalat jenazah atas mereka, ketika ziarah kubur, dan tidak ada perbedaan baik keberadaaanya itu dekat atau jauh dari mayyit. Dan didalam Ash-Shahihain dari Aisyarah radliyallahu ‘anhaa dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {bahwa seorang laki-laki bertanya : wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan tidak berwasiat, apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bershadaqah untuknya ?, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : iya”}.

Pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 2634 yang anggota nya sebagai berikut : Syaikh Abdullah bin Qu’ud,  Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua.

س2: هل صدقة الحي عن الميت ينتفع بها الميت؟ ج2: نعم ينتفع الميت بصدقة الحي عنه بإجماع أهل السنة والجماعة؛ لما رواه البخاري ومسلم من حديث عائشة رضي الله عنها؛ «أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إن أمي افتلتت نفسها ولم توص، وأظنها لو تكلمت تصدقت، أفلها أجر إن تصدقت عنها؟ قال: نعم  » ، ولما رواه البخاري من حديث عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، «أن سعد بن عبادة رضي الله عنه توفيت أمه وهو غائب عنها، فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن أمي توفيت وأنا غائب عنها فهل ينفعها إن تصدقت عنها؟ قال: "نعم" قال: إني أشهدك أن حائطي المخراف صدقة عنها  » . إلى غير ذلك من الأحاديث الصحيحة في الصدقة عن الميت وانتفاعه بها.
“Soal ; apakah shadaqah orang yang hidup untuk orang mati bisa bermanfaat bagi orang mati ?” Jawaban : “Iya, orang mati bisa mendapatkan manfaat dari shadaqah orang yang hidup untuknya berdasarkan ijma’ (kesepakatan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari hadits Aisyah radliyallahu ‘anhaa {bahwa seornag laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan berkata : wahai Rasulullah, sesungguhnya nafas ibuku sesak namun ia tidak berwasiat, dan aku menduga seandainya ia masih bisa bicara ia akan bershadaqah, apakah ia akan mendapat pahala jika aku bershadaqah untuknya ? Nabi menjawab : iya}. Al-Bukhari meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhaa {Sungguh Sa’ad bin Ubadah radliyallah ‘anh ketika ibunya wafat, ia tidak ada disana, maka ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam kemudian berkata : wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku wafat, sedangkan aku tidak ada disampingnya, apakah bermanfaat jika aku bershadaqah untuknya ? Nabi menjawab : “iya”, maka Sa’ad berkata : “Sesungguhnya saksikanlah olehmu ya Rasulullah bahwa aku menshaqahkan isi kebunku untuknya} dan lain sebagainya seperti hadits-hadits yang shahih tentang shadaqah untuk mayyit dan bermanfaat bagi mayyit”.

Jawaban soal ke-1 dari fatwa no. 4669 yang anggotanya adalah Syaikh Abdullah bin Qu’ud,  Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua

ج1: تشرع الصدقة عن الميتين من المسلمين، وثبت شرعا أنها تنفعهم، وهذا هو مذهب أهل السنة، لكن ليس لها وقت معين، بل في أي وقت تصدق المسلم عن ميت مسلم نفعه ذلك، وإذا تصدق في أوقات الفضائل كرمضان وعشر ذي الحجة كان ذلك أفضل
Jawab : “disyariatkan shadaqah untuk orang-orang muslim yang mati, dan tela’h tsabit secara syariat bahwa itu bermanfaat bagi mereka, inilah madzhab Ahl Sunnah wal Jama’ah, tetapi tiada baginya waktu tertentu, sebaliknya kapan pun seorang muslim bershadaqah untuk mayyit yang muslim niscaya itu bermanfaat, dan apabila bershadaqah pada waktu-waktu yang utama seperti bulan Ramadhan dan 10 Dzulhijjah maka itu lebih utama”.

Sebuah jawaban dari fatwa no. 8975 yang anggotanya adalah Syaikh Abdullah bin Qu’ud,  Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua. Ini jawaban dari pertanyaan seseorang tentang shadaqah untuk anaknya yang wafat dan bulan apa yang utama untuk bershadaqah.

ج: إن صدقتك عن والدك المتوفى عمل طيب، وأفضل الشهور شهر رمضان، والعشر الأول من شهر ذي الحجة، لما ورد في ذلك من الأحاديث الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Jawaban : sungguh shadaqah anda untuk orang tua anda yang wafat merupakan amal yang bagus, dan bulan yang utama adalah bulan Ramadhan dan sepuluh pertama dari bulan Dzul Hijjah, telah warid tentang hal itu didalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam”.

dan masih banyak fatwa-fatwa lainnya yang menyetujui bahwa mayyit bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa shadaqah.

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan didalam Majmu’ Fatawa [1/375]:

، والصدقة عمل صالح ويصل ثوابها إلى من تتصدق عنه فلا بأس بذلك
“dan shadaqah merupakan amal shalih sedangkan menyampaikan pahalanya kepada orang yang dishadaqahkan maka tidak apa-apa dengan hal itu”.

AMAL DARI ORANG LAIN BERUPA TILAWAH (MEMBACA AL-QUR’AN)

Membaca al-Qur’an untuk orang mati maksudnya orang lain beramal dengan membaca al-Qur’an untuk orang mati agar orang mati bisa mendapatkan manfaat dengan hal tersebut. Dalam masalah ini, diantara Ulama Wahhabiyah terdapat perselisihan, misalnya antara komisi fatwa Lajnah Daimah VERSUS Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Kebanyakan fatwa yang mudah dikeluarkan oleh komisi fatwa Wahhabiyah yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Iftaa di Arab Saudi tidak menyetujui pembacaan al-Qur’an untuk orang mati :

PERNYATAAN DARI YANG TIDAK MENYETUJUI

Pertanyaan ke-12 dari fatwa no. 5005 yang terdiri dari Syaikh Abdullah Ghudayyan sebagai anggota dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai ketua. Fatwa ini sepertinya di keluarkan tanpa ke ikut sertaan syaikh lainnya.

س12: هل يجوز قراءة سورة الفاتحة وسورة الإخلاص في مكان وسكن متوفى بعد ثلاثة أيام أم هي بدعة سيئة؟ ج12: لا نعلم دليلا لا من الكتاب ولا من السنة يدل على مشروعية قراءة سورة الفاتحة وسورة الإخلاص أو غيرهما في مكان أو سكن المتوفى بعد ثلاثة أيام، ولا نعلم أن أحدا من الصحابة أو التابعين أو تابعي التابعين نقل عنه ذلك، والأصل منعه؛ لقوله صلى الله عليه وسلم: «من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد  » ومن ادعى مشروعيته فعليه الدليل.
“Soal : apakah boleh membaca surah al-Fatihah dan surah al-Ikhlas pada suatu tempat orang mati setelah tiga hari atau itu adalah bid’ah sayyi’ah ? Jawaban : “kami tidak mengetahui dalil baik didalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menunjukkan disyariatkannya membaca surah al-Fatihah, al-Ikhlas dan surah lainnya pada sebuah tempat atau tempat orang mati setelah masa tiga hari, dan kami tidak mengetahui seorang pun dari sahabat, tabi’in, ataupun tabi’it tabi’in yang mengomentari hal tersebut, dan asalnya adalah mencegahnya (melarangnya), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan atasnya perkara kami maka itu tertolak }, dan barangsiapa yang mendakwa disyariatkannya maka harus menunjukkan dalilnya”.

Jawaban dari pertanyaan ke-3 dari fatwa no. 2634  yang anggotanya Syaikh Abdullah Qu’ud, Syaikh Abdur Razaq sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai ketua.
ج3: أولا: إذا قرأ إنسان قرآنا ووهب ثوابه للميت فالصحيح أنه لا يصل إليه ثواب القراءة؛ لأنها ليست من عمله، وقد قال تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} (1) وإنما هي من عمل الحي، وثواب عمله له، ولا يملك أن يهب ثواب قراءة لغيره
“Jawaban : apabila seorang manusia membaca al-Qur’an dan memberikan pahalanya untuk orang mati, maka yang shahih sesungguhnya pahala bacaan al-Qur’an itu tidak sampai, karena bukan amalnya, dan sungguh Allah telah berfirman {dan sungguh tiada bagi manusia kecuali apa yang di usahakannya} sebab itu termasuk amal orang yang hidup dan pahala amalnya baginya, pahala bacaan al-Qur’annya tidak bisa dimiliki oleh orang lain”.

dan masih banyak fatwa-fatwa lainnya yang tidak menyetujui bahwa mayyit bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa tilawah al-Qur'an.

Selain nama-nama diatas, ulama Wahhabiyah lainnya yang tidak menyetujui pembacaan al-Qur’an untuk orang mati adalah Syaikh Shalih al-Fauzan, beliau mengatakan didalam Majmu’ Fatawa[2/687] :

أما قراءة الفاتحة لروح الميت، فهذا لا أصل له في الشرع، ولم يرد به دليل عن النبي صلى الله عليه وسلم، وإنما الوارد في الكتاب والسنة هو الدعاء للميت والاستغفار له، والصلاة على جنازته، وكذلك التصدق عنه، وغير ذلك من أنواع البر، كالحج عنه والعمرة عنه، فهذه الأمور تصل إلى الميت بإذن الله إذا تقبلها الله، وكذلك الأضحية يضحى عن الميت، كل هذه الأمور ورد الشرع بأنها ينتفع بها الميت
Adapun membaca al-Qur’an untuk roh orang mati, ini tidak ada asalnya pada sisi syariat dan tidak ada dalil yang warid tentang hal itu dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, sebaliknya yang warid didalam al-Kitab dan As-Sunnah adalah do’a untuk mayyit, istighfar untuk mayyit, shalat atas jenazahnya dan demikian juga dengan shadaqah darinya untuk mayyit, serta berbagai macam perkara kebaikan lainnya seperti haji dan umrah untuk mayyit. Maka ini merupakan perkara-perkara yang sampai kepada mayyit dengan idzin Allah apabila Allah menerimanya (mengabulkannya). Seperti itu juga dengan penyembelihan (berkorban) untuk mayyit, setiap perkara ini telah warid dalam syariat oleh karena itu bermanfaat bagi orang mati.”

Juga sebuah jawaban pada Majmu' Fatawa [2/688] :

الجواب: الفاتحة من أعظم سور القرآن، بل هي أم القرآن، ولها فضل عظيم، ولكن قراءتها في مثل هذه الحال بأن تقرأ في بعض الأحوال للنبي، أو لغيره، أو لروح فلان، أو لروح الميت، هذا من البدع، لأنه لم يرد به دليل عن النبي صلى الله عليه وسلم
Surah al-Fatihah termasuk paling agungnya surah al-Qur’an bahkan merupakan Ummul Qur’an serta memiliki fadliyah yang agung, akan tetapi membacanya untuk Nabi atau yang lainnya, atau untuk ruh Fulan atau untuk ruh orang mati, maka ini termasuk bid’ah, karena tidak warid tentang hal itu dalil dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Membaca al-Fatihah merupakan ibadah, ibadah harus ada dalilnya maka yang mengatakan disyariatkan membaca al-Fatihah untuk Nabi dan orang mati lainnya, ucapannya itu membutuhkan dalil maka apabila mendatangkan dalil (maka diterima) kecuali tidak, maka ucapan ini tertolak, karena itu bid’ah. dan tidak warid dalil syari’i tentang membaca al-Fatihah untuk ruh Nabi juga tidak untuk yang lainnya. Ini bagian dari bid’ah.

PERNYATAAN DARI YANG MENYETUJUI

Berbeda dari hal diatas, ulama Wahhabiyah lainnya justru mengatakan sebaliknya bahkan menguatkan pendapat yang berseberangan dengan ulama Wahhabiyah lainnya, beliau adalah Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin :


س 722 سئل فضيلة الشيخ رحمه الله تعالى: عن حكم التلاوة لروح الميت؟ فأجاب فضيلته بقوله: التلاوة لروح الميت يعني أن يقرأ القرآن وهو يريد أن يكون ثوابه لميت من المسلمين، هذه المسألة محل خلاف بين أهل العلم على قولين:
القول الأول: أن ذلك غير مشروع وأن الميت لا ينتفع به أي لا ينتفع بالقرآن في هذه الحال. القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين سواء كان قريباً أو غير قريب. والراجح القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت، كما في حديث سعد بن عبادة رضي الله عنه حين تصدَّق ببستانه لأمه، وكما في قصة الرجل الذي قال للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إن أمي أفتلتت نفسها وأظنها لو تكلمت لتصدقت أفأتصدق عنها؟ قال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "نعم" وهذه قضايا أعيان تدل على أن صرف جنس العبادات لأحد من المسلمين جائز وهو كذلك، ولكن أفضل من هذا أن تدعو للميت، وتجعل الأعمال الصالحة لنفسك لأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: "إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له". ولم يقل أو ولد صالح  يتلو له أو يصلي له أو يصوم له أو يتصدَّق عنه بل قال: "أو ولد صالح يدعو له" والسياق في سياق العمل، فدل ذلك على أن الأفضل أن يدعو الإنسان للميت، لا أن يجعل له شيئاً من الأعمال الصالحة، والإنسان محتاج إلى العمل الصالح، أن يجد ثوابه له مدخراً عند الله عز وجل“Fadlilatusy Syaikh ditanya : tentang hukum tilawah (membaca al-Qur’an) untuk roh orang mati ?. Jawaban : Tilawah (membaca al-qur’an) untuk roh orang mati yakni membaca al-Qur’an karena ingin memberikan pahalanya untuk mayyit (orang mati) dari kaum muslimin, masalah ini terdapat perselisihan diantara ahlil imi atas dua pendapat : Pertama, sungguh itu bukan perkara yang masyru’ (tidak disyariatkan) dan sungguh mayyit tidak mendapat menfaat dengannya yakni tidak memberikan manfaat dengan pemabacaan al-Qur’an pada perkara ini.  Kedua, sesungguhnya mayyit mendapatkan manfaat dengan hal itu, dan sesungguhnya boleh bagi manusia untuk membaca al-Qur’an dengan niat pahalanya untuk fulan atau fulanah dari kaum muslimin, sama saja baik dekat atau tidak dekat (alias jauh). Dan yang rajih (yang kuat) : adalah qaul (pendapat) yang kedua karena sesungguhnya telah warid sebagai jenis ibadah yang boleh memindahkan pahalanya untuk mayyit, sebagaimana pada hadits Sa’ad bin ‘Ubadah radliyallahu ‘anh ketika ia menshadaqahkan kebunnya untuk ibunya, dan sebagaimana kisah seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : sesungguhnya ibuku dalam telah meninggal dunia, dan aku menduga seandainya ia sempat berbicara ia akan meminta untuk bershadaqah, maka bolehkah bershadaqah untuknya ? Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : iya”, ini sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa memindahkan pahala jenis ibadah untuk salah seorang kaum Muslimin adalah boleh, dan demikian juga dengan membaca al-Qur’an. Akan tetapi yang lebih utama dari perkara ini agar mereka berdo’a untuk mayyit, serta menjadikan amal-amal shalih untuk dirimu sendiri karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :  “Apabila bani Adam mati maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selali mendo’akannya”. Namun tidak dikatakan, anak shalih yang melakukan tilawah untuknya, atau shalat untuknya, atau puasa untuknya, atau shadaqah untuknya bahkan Nabi bersabda : “atau anak shalih yang berdo’a untuknya”,  Maka ini menunjukkan bahwa seorag manusia berdo’a untuk mayyit itu lebih utama (afdlal) dari pada menjadikan amal-amal shalihnya untuk mayyit, dan manusia membutuhkan amal shalih agar pahalanya menjadi simpanan disisi Allah ‘Azza wa Jalla.”

Lagi, dalam Majmu Fatawa wa Rasaail [17/220-221] :

وأما القراءة للميت بمعنى أن الإنسان يقرأوينوي أن يكون ثوابها للميت، فقد اختلف العلماء رحمهم الله هل ينتفع بذلك أو لا ينتفع؟ على قولين مشهورين الصحيح أنه ينتفع، ولكن الدعاء له أفضل
"pembacaan al-Qur'an untuk orang mati dengan makna bahwa manusia membaca dan meniatkan agar menjadikan pahalanya bagi orang mati, maka sungguh ulama telah berselisih pendapat mengenai apakah yang demikian itu bermanfaat ataukah tidak ? atas hal ini terdapat dua qaul yang sama-sama masyhur dimana yang shahih adalah bahwa membaca al-Qur'an untuk orang mati memberikan manfaat, akan tetapi yang lebih utama (afdlal) adalah do'a."

Begitulah pendapat dan perselisihan yang ada pada kelompok Wahhabiyah. Mereka menyetujui bahwa mayyit (orang mati) masih bisa mendapat manfaat dari pahala yang dihasilkan oleh amal orang lain. Namun, perselisihan diantara Wahhabiyah adalah terkait pembacaan al-Qur’an untuk orang mati.

Adapun yang rajih (pendapat yang lebih kuat) dan shahih tentang pembacaan al-Qur’an untuk orang mati menurut salah seorang ulama Wahhabiyah sendiri adalah bahwa orang mati bisa mendapatkan manfaat dari bacaan al-Qur’an yang ditujukan kepadanya. 

SERBA-SERBI ULAMA ALIRAN WAHHABIYAH

Ulama Wahhabiyah juga menyetujui bahwa mayyit bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa shalat untuk mayyit, haji untuk mayyit, umrah untuk mayyit dan amal kebajikan lainnya. Selain yang sudah disebutkan diatas, salah satu nya juga adalah pertanyaan ke-1 dari fatwa no. 11623 Lajnah ad-Daimah yang anggotanya adalah Syaikh Abdullah bin Qu’ud,  Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua :

س1: لي أقارب ماتوا منذ زمن بعيد، ولم يورثوا شيئا، وليس لهم وارث، هل يجوز لي أن أحج لهم من حلالي؟ ج1:  يجوز لك الحج عن أقاربك الميتين إن كنت قد حججت عن نفسك
Soal : aku memiliki kerabat yang telah meninggal sejak lama, tidak mewarisi sesuatu apapun juag tidak memiliki ahli waris, apakah boleh aku berhaji untuknya ?. Jawaban : “boleh bagi anda berhaji untuk kerabat anda yang telah meninggal dunia

Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif Ali asy-Syaikh [w. 1389 H]

Beliau adalah ulama Wahhabiyah yang merupakan keturunan (cucu) dari Muhammad bin Abdul Wahab. Didalam Fatawa wa Rasail [3/229], beliau tidak menyetujui pembacaan al-Qur’an untuk orang mati namun beliau menyetujui bahwa orang lain yang membaca al-Qur’an untuk orang yang menjelang mati adalah perkara masyru’ :

القراءة على الميت سواء كان في المسجد أو عند القبر أو في البيت ثم عمل طعام بعد الختمة وبعد الوفاة بثلاثة أيام يوزع على الفقراء من الأمور المبتدعة. وأما القراءة المشروعة فهي ما كان قبل الموت وعند الاحتضار كقراءة سورة "يس" أو " الفاتحة" أو " تبارك" أو غير ذلك من كتاب الله
Membaca al-Qur’an untuk mayyit sama saja baik di masjid, atau disamping kubur atau di rumah, kemudian membuat makanan setelah khataman dan setelah wafatnya mayyit selama 3 hari untuk dibagkikan kepada orang-orang faqir maka itu termasuk perkara bid’ah, adapun membaca al-Qur’an yang masyru’ adalah sebelum meninggal dunia dan disamping orang yang menjelang mati seperti membaca Yasiin atau surah al-Fatihah atau Tabarak atau surah-surah al-Qur’an lainnya

Namun terkait amal lainnya beliau mengatakan [3/230] :

أما صلاة النوافل وأهداء ثوابها إلى أقربائه، وكذلك ذبح الذبيحة والصدقة بها وإهداء ثوابها إليهم: فلا بأس بذلك إن شاء الله
Adapun shalat sunnah dan menghadiahkan pahalanya kepada kerabat-kerabatnya (yang mati) serta demikian juga menyembelih sembelihan dan menshadaqahkannya dan menghadiahkan pahalanya kepada mereka : maka tidak apa-apa dengan hal itu, InsyaAllah.

Demikian hal-hal yang sementara kami bisa sampaikan, semoga bermanfaat dan menjadi pelajaran bagi kita semua. [] Wallahu A'lam.

Oleh : Ats-Tsauriy (Bangkalan).

Penjelasan Gamblang dan Logis Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani Tentang Perkumpulan Tahlilan


Ketahuilah, hukum berkumpul dan membaca Al-Qur’an serta dzikir untuk mayit adalah boleh. al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani berkata :

العادة الجارية في بعض البلدان من الإجتماع في المسجد لتلاوة القرأن على الأموات. وكذلك في البيوت وسائر الإجتماعات التي لم ترد فى الشريعة, لاشك إن كانت خالية عن معصية سليمة من المنكرات فهي جائزة لأن الإجتماع ليس بمحرم بنفسه لاسيما اذا كان لتحصيل طاعة كالتلاوة ونحوها ولايقدح في ذلك كون تلك التلاوة مجعولة للميت فقد ورد جنس التلاوة من الجماعة المجتمعين كما في حديث اقرؤوا يـس على موتاكم وهو حديث صحيح ولافرق بين تلاوة يـس من الجماعة الحاضرين عند الميت او على قبره وبين تلاوة جميع القرأن او بعضه لميت في مسجده او بيته

Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari’at.

Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperta membaca Al-Qur’an atau lainnya.

Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shohih seperti اقرؤوايس على موتاكم (bacalah surat Yasin kepada orang yang mati di antara kamu). Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah”.

Sumber : Ar-Rasail As-Salafiyah, Hal. 46

al-Fatawa al-Kubra : Sebuah Bingkisan Fashal Khusus Dari Ibnu Taimiyah Membenarkan Sampainya Pahala Membaca al-Qur'an






فصل
SEBUAH PASAL

وأما القراءة، والصدقة وغيرهما من أعمال البر، فلا نزاع بين علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية، كالصدقة والعتق، كما يصل إليه أيضا الدعاء والاستغفار، والصلاة عليه صلاة الجنازة، والدعاء عند قبره
bacaan al-Qur'an dan shadaqah serta selain keduanya seperti amal-amal kebajikan : tidak ada perselisihan diantara ‘ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama'ah tentang sampainya pahala ibadah-ibadah maliyah, seperti shadaqah, memerdekakan budak, sebagaimana sampainya do’a dan istighafar kepada orang mati, shalat untuk orang mati yakni shalat jenazah, dan do’a disamping kubur orang mati.

وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم، والصلاة، والقراءة، والصواب أن الجميع يصل إليه
ulama Ahlussunnah wal Jama'ah telah berselisih pendapat tentang sampainya amal-amal badaniyah, seperti puasa, shalat dan pembacaan al-Qur’an, namun yang shawab (benar) bahwa semuanya sampai kepada orang mati,

"..NAMUN YANG BENAR (YANG SHAWAB) BAHWA SEMUANYA SAMPAI KEPADA ORANG MATI"

 فقد ثبت في الصحيحين عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: «من مات وعليه صيام صام عنه وليه» وثبت أيضا: «أنه أمر امرأة ماتت أمها، وعليها صوم، أن تصوم عن أمها» . وفي المسند عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال لعمرو بن العاص: «لو أن أباك أسلم فتصدقت عنه، أو صمت، أو أعتقت عنه، نفعه ذلك» وهذا مذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي
sungguh telah tsabit didalam Ash-Shahihain (Bukhari Muslim) dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau bersabda : “barangsiapa yang wafat dan masih memiliki tanggungan puasa, maka hendaknya walinya berpuasa untuknya”, dan telah tsabit juga “bahwa Nabi memerintahkan perempuan yang ibunya wafat sedangkan masih memiliki tanggungan puasa, agar berpuasa untuknya”, dan didalam al-Musnad dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau berkata kepada ‘Amru bin ‘Ash “seandainya ayahmu masuk Islam maka engkau bershadaqahlah menggantikannya (untuknya), atau engkau berpuasa, atau memerdekan budak untuknya, niscaya itu bermanfaat untuknya”, dan inilah madzhab Imam Ahmad, Abu Hanifah, sekelompok dari Ashhab Malik dan asy-Syafi’i.

وأما احتجاج بعضهم بقوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] فيقال له قد ثبت بالسنة المتواترة وإجماع الأمة: أنه يصلى عليه، ويدعى له، ويستغفر له وهذا من سعي غيره. وكذلك قد ثبت ما سلف من أنه ينتفع بالصدقة عنه، والعتق، وهو من سعي غيره. وما كان من جوابهم في موارد الإجماع فهو جواب الباقين في مواقع النزاع. وللناس في ذلك أجوبة متعددة
adapun sebagian mereka yang berhujjah dengan firman Allah Ta'alaa {tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} maka dikatakan kepadanya (jawaban untuknya), sungguh telah tsabit berdasarkan Sunnah yang Mutawatir dan Ijma’ Umat : bahwa sesungguhnya mayyit dishalatkan atasnya, dido’akan untuknya, di istighfarkan (dimohonkan ampun) untuknya dan ini dari usaha orang lain, dan sebagaimana juga telah tsabit pada salafush shaleh seperti mayyit mendapatkan manfaat dengan shadaqah untuknya dan membebaskan budak, dan semua itu dari usaha orang lain, dan jawaban mereka didalam masalah yang bersifat ijma' merupakan jawaban yang telah berlalu sebelumnya terhadap yang diperselisihkan, dan masalah tersebut bagi umat Islam terdapat jawaban yang bermacam-macam.

لكن الجواب المحقق في ذلك أن الله تعالى لم يقل: إن الإنسان لا ينتفع إلا بسعي نفسه، وإنما قال: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] فهو لا يملك إلا سعيه، ولا يستحق غير ذلك. وأما سعي غيره فهو له، كما أن الإنسان لا يملك إلا مال نفسه ونفع نفسه. فمال غيره ونفع غيره هو كذلك للغير؛ لكن إذا تبرع له الغير بذلك جاز
akan tetapi jawaban ulama ahli Tahqiq terhadap masalah tersebut (an-Najm : 39) adalah yakni Allah Ta'alaa tidak berfirman : "bahwasanya manusia tidak bisa mendapatkan manfaat kecuali dengan amalnya sendiri", sebaliknya Allah Ta'alaa berfirman : "dan tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan", maka ia tidak memiliki kecuali yang diusahakannya dan juga tidak berhak selain yang demikian. adapun usaha orang lain maka itu untuk orang lain tersebut, sebagaimana manusia tidak memiliki (harta) kecuali harta yang ia usahakan sendiri dan memanfaatkannya sendiri, maka harta orang lain dan manfaat orang lain itu sebagaimana untuk orang lain itu sendiri, akan tetapi jika orang lain memberikan untuknya dengan hal yang demikian maka itu boleh

وهكذا هذا إذا تبرع له الغير بسعيه نفعه الله بذلك، كما ينفعه بدعائه له، والصدقة عنه، وهو ينتفع بكل ما يصل إليه من كل مسلم، سواء كان من أقاربه، أو غيرهم، كما ينتفع بصلاة المصلين عليه ودعائهم له عند قبره
dan seperti itu juga apabila orang lain memberikan untuknya dengan usaha orang tersebut niscaya Allah memberikan manfaat dengan hal tersebut, sebagaimana bermanfaatnya do'a orang tersebut untuknya, juga shadaqah untuknya, dan itu berarti mendapatkan manfaat dengan setiap yang sampai kepadanya yang berasal dari setiap muslim, sama saja baik yang berasal dari kerabatnya atau orang lain, sebagaimana mendapatkan manfaat dengan shalat umat Islam atas mayyit dan do'a umat islam untuk mayyit disamping quburnya. []

Sumber : Al-Fatawa al-Kubra [3/63-64] karya Ibni Taimiyah [w. 728 H]

Ibnu Taimiyah Ditanya Tentang QS. an-Najm 39 dan Hadits Terputusnya Amal (Inqatha'a Amaluhu)


سئل: عن قوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى}  وقوله - صلى الله عليه وسلم -: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فهل يقتضي ذلك إذا مات لا يصل إليه شيء من أفعال البر؟
Ibnu Taimiyah di tanya tentang firman Allah {tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} dan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {apabila anak adam wafat maka terputuslah amalanya kecuali 3 hal yakni shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat untuknya dan anak shalih yang berdo’a untuknya}, apakah hal itu menunjukkan apabila seseorang wafat tidak perbuatan-perbuatan kebajikan tidak sampai kepadanya ?

الجواب: الحمد لله رب العالمين. ليس في الآية، ولا في الحديث أن الميت لا ينتفع بدعاء الخلق له، وبما يعمل عنه من البر بل أئمة الإسلام متفقون على انتفاع الميت بذلك، وهذا مما يعلم بالاضطرار من دين الإسلام، وقد دل عليه الكتاب والسنة والإجماع، فمن خالف ذلك كان من أهل البدع
Jawab ; al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamiin, tiada didalam ayat dan tidak pula didalam hadits bahwa mayyit (orang mati) tidak mendapat manfaat dengan do’a untuknya dan dengan apa yang amalkan (kerjakan) untuknya seperti kebajikan bahkan para Imam telah sepakat bahwa mayyit (orang mati) mendapatkan manfaat atas hal itu, dan ini diketahui dengan jelas dari agama Islam, dan sungguh al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah dan Ijma’ telah menunjukkannya, oleh karena itu barangsiapa yang menyelisihi hal itu maka ia termasuk dari ahli bid’ah.

Karena panjangnya bahasan inii (ulasan Ibnu Taimiyah) yang intinya baik ibadah maliyah dan badaniyah bisa sampai kepada mayyit dan memberikan manfaat bagi orang mati, telah tersebar pembahasan ini dalam kitab-kitab beliau, maka kami singkatkan (cukupkan) untuk menyoroti hadits Inqatha'a Amaluhu menurut Ibnu Taimiyah [3/31] :

أما الحديث فإنه قال: «انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فذكر الولد، ودعاؤه له خاصين؛ لأن الولد من كسبه، كما قال: {ما أغنى عنه ماله وما كسب} [المسد: 2] . قالوا: إنه ولده. وكما قال النبي - صلى الله عليه وسلم -: «إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه، وإن ولده من كسبه» . فلما كان هو الساعي في وجود الولد كان عمله من كسبه، بخلاف الأخ، والعم والأب، ونحوهم. فإنه ينتفع أيضا بدعائهم، بل بدعاء الأجانب، لكن ليس ذلك من عمله
mengenai hadits bahwa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda :

"apabila seorang manusia mati maka terputus darinya amalnya (perbuatanya) kecuali yang berasal dari tiga hal yakni : shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang berdo’a untuknya",

disini menyebutkan walad (anak) dan do'anya kepadanya secara khusus karena sungguh seorang anak termasuk dari usahanya, sebagaimana firman Allah Ta'alaa :

"Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” (QS. Al-Lahaab : 2)

Ulama telah berkata : sesungguhnya yang dimaksud itu anaknya, dan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :

"Sungguh sebaik-baiknya apa yang dimakan oleh seseorang adalah yang berasal dari usahanya dan sungguh anaknya bagian dari usahanya"

Maka ia sebagai orang yang berusaha (sa’i) didalam hal wujudnya seorang anak maka amalnya (amal anaknya) termasuk dari kasabnya (usahanya), berbeda halnya dengan saudara, paman, ayah dan seumpama mereka. Namun, mereka itu bisa memberikan manfaat juga dengan do’a mereka bahkan juga do’a yang lainnya, akan tetapi yang demikian itu bukan dari amalnya.

والنبي - صلى الله عليه وسلم - قال: «انقطع عمله إلا من ثلاث» لم يقل: إنه لم ينتفع بعمل غيره. فإذا دعا له ولده كان هذا من عمله الذي لم ينقطع، وإذا دعا له غيره لم يكن من عمله، لكنه ينتفع به
dan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda :

"terputus amalnya kecuali 3 hal"

namun tidak dikatakan : sesunggguhnya tidak mendapat manfaat dari amal orang lain. maka ketika anaknya berdo'a untuknya, itu menjadi bagian dari amalnya yang tidak terputus,sedangkan apabila orang lain yang berdo'a untuknya, maka itu tidak menjadi bagian dari amalnya, akan tetapi bisa mendapatkan manfaat dengan hal tersebut. []

Sumber : al-Fatawa al-Kubraa [3/27] karya Ibnu Taimiyah.

Ibnu Taimiyah Lagi , Hanya Masalah Afdlaliyah (Keutamaan) : Membaca al-Qur'an Untuk Kedua Orang Tua, Umat Islam dan Diri Sendiri



من يقرأ القرآن ويهدي ثوابه لوالديه ولموتى المسلمين
MEMBACA AL-QUR'AN DAN MENGHADIAHKAN PAHALANYA UNTUK KEDUA ORANG TUANYA DAN UNTUK KAUM MUSLIMIN YANG WAFAT

سئل: عمن يقرأ القرآن العظيم، أو شيئا منه، هل الأفضل أن يهدي ثوابه لوالديه، ولموتى المسلمين؟ أو يجعل ثوابه لنفسه خاصة؟
Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang membaca al-Qur’an al-‘Adhim atau sebagian dari al-Qur’an, apakah lebih utama (afdlall) agar menghadiahkan pahalanya kepada kedua orang tuanya, dan kepada orang muslim yang wafat ? atau hanya menjadikan pahalanya untuk dirinya sendiri saja ?

الجواب: أفضل العبادات ما وافق هدي رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وهدي الصحابة، كما صح عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه كان يقول في خطبته: «خير الكلام كلام الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة» . وقال - صلى الله عليه وسلم -: خير القرون قرني، ثم الذين يلونهم

Jawab : Ibadah-ibadah yang lebih utama adalah yang sesuai dengan pentunjuk Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan petunjuk para sahabat, sebagaimana telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang mana beliau bersabda didalam khutbahnya : "sebaik-baiknya perkataan adalah Kalamullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sedangkan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid'ah itu sesat", Nabi shallallahu 'alayhi wa salam juga bersabda : "sebaik-baiknya qurun (generasi) adalah kurun-ku, kemudian yang datang setelah mereka".

وقال ابن مسعود: من كان منكم مستنا فليستن بمن قد مات؛ فإن الحي لا تؤمن عليه الفتنة، أولئك أصحاب محمد

Ibnu Ma'sud berkata : barangsiapa diantara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam

فإذا عرف هذا الأصل. فالأمر الذي كان معروفا بين المسلمين في القرون المفضلة، أنهم كانوا يعبدون الله بأنواع العبادات المشروعة، فرضها ونفلها، من الصلاة، والصيام، والقراءة، والذكر، وغير ذلك وكانوا يدعون للمؤمنين والمؤمنات، كما أمر الله بذلك لأحيائهم، وأمواتهم، في صلاتهم على الجنازة، وعند زيارة القبور، وغير ذلك
maka apabila telah diketahui pondasi (pokok) ini, maka perkara yang telah ma’ruf diantara kaum muslimin pada qurun mufadldlalah (penuh karunia), bahwa mereka beribadah kepada Allah dengan berbagai macam ibadah yang masyru’, baik fardlu maupun nafilah (sunnah), seperti shalat, puasa, qiraa’ah (membaca al-Qur'an), dzikir dan yang lainnya, mereka berdo’a untuk mukminin dan mukminat, sebagaimana Allah perintahkan dengan hal itu untuk orang-orang yang hidup dan orang mati, baik didalam shalat jenazah juga ketika ziarah kubur dan yang lainnya.

وروي عن طائفة من السلف عند كل ختمة دعوة مجابة، فإذا دعا الرجل عقيب الختم لنفسه، ولوالديه، ولمشايخه، وغيرهم من المؤمنين والمؤمنات، كان هذا من الجنس المشروع. وكذلك دعاؤه لهم في قيام الليل، وغير ذلك من مواطن الإجابة
telah diriwayatkan dari sekelompok salafush shaleh dimana setiap kali khatam (al-Qur’an) merupakan waktu do’a yang di ijabah, maka apabila seseorang berdo’a mengiringi khatmil Qur’an untuk dirinya sendiri, kedua orang tuanya, masyayikh-nya dan yang lainnya seperti mukminin dan mukminaat, hal ini merupakan termasuk dari jenis ibadah yang masyru’, dan sebagaimana juga do’anya untuk mereka ketika qiyamul lail (shalat malam), dan yang lainnya seperti momen-momen yang di ijabah

وقد صح عن النبي - صلى الله عليه وسلم -: أنه أمر بالصدقة على الميت، وأمر أن يصام عنه الصوم. فالصدقة عن الموتى من الأعمال الصالحة، وكذلك ما جاءت به السنة في الصوم عنهم. وبهذا وغيره احتج من قال من العلماء: إنه يجوز إهداء ثواب العبادات المالية، والبدنية إلى موتى المسلمين. كما هو مذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي
dan telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau memerintahkan bershadaqah untuk mayyit dan puasa untuk mayyit. Shadaqah untuk mayyit termasuk dari amal-amal shalih, dan demikian juga perkara yang berasal dari sunnah tentang puasa untuk mereka, dan berdasarkan hal ini serta berdasarkan yang lainnya sebagian ulama berhujjah : bahwa boleh menghadiahkan (memberikan) pahala ibadah-ibadah maliyah dan badaniyah kepada orang muslim yang meninggal, sebagaimana itu adalah madzhab Ahmad, Abu Hanifah dan sekelompok ulama dari Ashhab Malikk dan asy-Syafi’i

فإذا أهدي لميت ثواب صيام، أو صلاة، أو قراءة، جاز ذلك، وأكثر أصحاب مالك، والشافعي يقولون: إنما يشرع ذلك في العبادات المالية، ومع هذا لم يكن من عادة السلف إذا صلوا تطوعا، وصاموا، وحجوا، أو قرءوا القرآن. يهدون ثواب ذلك لموتاهم المسلمين، ولا لخصوصهم، بل كان عادتهم كما تقدم، فلا ينبغي للناس أن يعدلوا عن طريق السلف، فإنه أفضل وأكمل. والله أعلم.
Maka (oleh karena itu), apabila puasa, shalat dan qiraa’ah di hadiahkan untuk mayyit maka itu boleh, namun kebanyakan Ashhab Malik dan Ashhab asy-Syafi’i mengatakan : sesungguhnya yang demikian disyariatkan pada ibadah-ibadah maliyah saja, dan bersamaan hal ini tiada dari kebiasaan salafush shaleh ketika mereka shalat sunnah, puasa, haji atau membaca al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahala yang demikian untuk orang-orang mati diantara mereka yang muslim, tidak pula kepada orang-orang khusus diantara mereka, bahkan itu menjadi kebiasaan mereka sebagaimana (pemaparan) sebelumnya, maka tidak sepatutnya bagi manusia untuk mengadili dari jalan shalafush shaleh, sebab itu lebih utama (afdlaliyah) dan lebih sempurna. Wallahu A’lam. []

Sumber : Al-Fatawa al-Kubra [3/37-38 ] karya Ibnu Taimiyah [w. 728 H]

Media Islam

Thariqat Sarkubiyah

NU Online