Latest Updates

Memahami Dengan Sederhana 2 ; Jadilah Tahlilan

Memahami sesuatu masalah tertentu haruslah dengan pemikiran yang mustanir (cemerlang) agar kesimpulannya pun benar, sehingga nantinya tidak mudah menyesatkan kaum Muslimin sebab melakukan kegiatan tertentu. Demikian juga dalam masalah tahlilan, diperlukan pemikiran yang mustanir dan hati yang lapang serta bersih pula.

Pengkajian yang mendalam tentang tahlilan dan terhadap kebijaksaan para pendahulu/nenek moyang (ulama Islam) dalam menyebarkan Islam akan mampu menjadikan kita lebih bisa menghormati para ulama dan menjadikan kita terhindar dari menyakiti hati kaum Muslimin dari tudingan-tudingan serampangan yang pada hakikatnya hanya keluar dari mulut orang yang tidak berakhlakul karimah, bukan dari lisan muslim yang berakhlak.

Tahlilan sebagai sebuah wadah dapat di perinci seperti berikut :

•    Masyarakat berkumpul dalam sebuah majelis dzikir, perhatikan bukankah ini memang sunnah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam ?. Banyak hadits yang masyhur tentang hal ini, misalnya :
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ
“Sesungguhnya Nabi Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda : apabila kalian berjalan ke taman surga maka bergabunglah kalian”, para sahabat bertanya : “apa itu taman surga (riyadlul jannah) ?”, Nabi menjawab : “perkumpulan dzikir”.  
Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman ;
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ
“(yaitu) orang-orang yang berdzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring” (QS. Ali Imran : 3)
Ayat ini berkorelasi dengan hadits sebelumnya,  yakni juga bermakna majelis dzikir. Itu karena frasa “yadzkuruuna atau mereka berdzikir” adalah dengan lafadz jama’. Artinya berdzikir bersama-sama.

•    Membaca surah al-Fatihah, bukankah ini perkara yang masyru’ (disyariatkan).
•    Membaca surah atau ayat-ayat al-Qur’an lainnya, bukankah ini masyru’ ?. Yakni seperti membaca ayat pada surah al-Baqarah, al-Ikhlas, an-Nas, al-Falaq, Yasiin, dan lain sebagainya. Semua ayat-ayat ini mudah dibaca, sedangkan Allah berfirman :
فَاقْرَؤُا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“maka bacalah oleh kalian apa yang mudah dari al-Qur’an” (QS. Al-Muzammil : 20)
•    Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam. bukankah ini masyru' ?
•    Membaca dzikir lainnya seperti tahmid, takbir, tasybih, kalimat thayyibah Laa ilaaha ilaallah Muhammadur Rasulullah, bukankah ini perkara masyru’ ?
•    Berdo’a pada akhir tahlilan, bukanlah ini perkara masyru ‘?
•    Kemudian tuan rumah melakukan ikramud dlayf (menghormati tamu) sesuai dengan kemampuannya, dimana dalam masalah ini sangat variatif tergantung kemampuan tuan rumah.

Semuanya jika dikumpulkan dalam satu tatanan acara maka jadilah itu disebut sebagai tahlilan. Walaupun Nabi seumpaman tidak pernah mengerjakannya namuan setiap unsur dalam tahlilan tersebut adalah mengikut sunnah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, maka yang demikian inilah yang dinamakan sebagai bid’ah hasanah. Yang mana tidak keluar dari perkara syariat. Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda sebagai berikut :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“barangsiapa yang mengada-ada perkara baru didalam urusan (agama) kami yang bukan (bagian) daripadanya, maka itu tertolak”.
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam memperingatkan perkara baru yang bukan berasal dari agama Islam, maka jikalau didalamnya merupakan bagian dari agama Islam tentunya bukan masuk kategori peringatan hadits diatas, sebab bukan perkara yang lari (keluar) dari agama melainkan masih dalam perkara agama (“minhu”).

Karena tetap bukan perkara yang keluar dari agama yakni komponen yang menyusunnya adalah amaliah masyru’ yang tidak memiliki keterikan waktu dalam mengerjakannya namun Nabi tidak pernah mengerjakan demikian maka dinamakankah sebagai bid’ah hasanah.

Siapa yang pertama kali memulai bid’ah hasanah ? Tidak lain adalah Sayyidina ‘Umat bin Khaththab radliyallah ‘anh, yakni dikala beliau mengajarkan tentang shalat tarawih 20 raka’at di bulan Ramadhan. Namun, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam melaksanakannya di masjid sendirian, setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksanakan 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para shahabat pun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat kekhalifahan Sayyidina Umar bin al-Khaththab radliyallahu ‘anh, beliau berinisiatif mengumpulkan semua masyarakat untuk shalat Tarawih dengan berjamaah, dilaksanakan 20 rakaat penuh di dalam masjid Nabawi, seraya berkata :
نعمت البدعة هذه
“Ni'matul bid'atu haadzihi/sebaik-baik bid’ah adalah ini”,
Yakni pelaksanaan tarawih 20 rakaat dengan berjamaah di dalam masjid sebulan suntuk. Ini adalah bid’ah namun selaras dengan sunnah,  oleh karena itulah pada hakikatnya bid’ah hasanah merupakan sunnah. Namun untuk membedakan mana yang berasal dari Nabi dan yang bukan, yakni hanya berasal dari inisiatif sahabat atau ijtihad ‘ulama. Bid’ah Sayyidina Umar bin al-Khaththab radliyallahu ‘anh ini terus lestari hingga saat ini, malahan yang melestarikan adalah tokoh-tokoh pengingkar tahlilan seperti Wahhabi/Salafi Saudi Arabiah seperti Syaikh Bin Baaz, Bin Shaleh, Sudais, dan lains sebagainya. Hal ini sama lestarinya dengan bid'ahnya para Walisongo yang mengajarkan tahlilan di masyarakat Muslim Indonesia.

Jadi baik Sayyidina Umar bin al-Khaththab radliyallahu ‘anh dan pelanjut shalat tarawih di masjid-masjid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan para pengikutnya umat Islam Indonesia, adalah pelaku bid’ah hasanah, yang dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah hasanah (ketetapan/kebiasaan baik) maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah sayyi'ah (ketetapan/kebiasaan buruk) maka atas dia dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun".
Jadi sangat jelas baik Sayyidina Umar bin al-Khaththab radliyallahu ‘anh maupun para Walisongo telah mengumpulkan pundi-pundi pahala yang sangat banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran bid'ah hasanahnya mereka. Baik itu berupa bid'ahnya Tarawih berjamaah maupun bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya.

PENGAMAL BID’AH HASANAH LEBIH GIAT MELAKUKAN SUNNAH

Selama ini tudingan serampangan dialamatkan kepada pelaku bid’ah hasanah sebagai yang mematikan sunnah, seakan pelaku bid’ah hasanah hanya giat melakukan bid’ah hasanah dan meninggalkan sunnah. Ini sebenarnya merupakan persepsi yang salah yang memang dihembuskan oleh mereka yang hatinya penuh benci.

Sebaliknya kalau dilihat secara cermat maka sesungguhnya kebanyakan palaku bid’ah hasanah inilah yang lebih giat mengamalkan sunnah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dibandingkan mereka yang katanya anti bid’ah yang tiap hari sibuk membid’ahkan dan menyakiti hati kaum Muslimin dengan tudingan-tudingan mereka.

Sebagai ilustrasi : Jika mengamal Maulid Nabi dengan membaca buku Diba' (istilahnya Dibaan) atau semacamnya termasuk yang dianggap bid'ah (masudnya bid’ah hasanah), karena dinilai Nabi dan para shahabat tidak pernah berkumpul bersama-sama untuk membaca kitab Diba', maka perlu diingat bahwa orang-orang yang mengamalkan diba'an itu, mayoritas amalannya adalah membaca shalawat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang amalan ini disunnahkan, mayoritas tuan rumahnya menyuguhkan makanan untuk undangan sesuai dengan kemampuannya, layaknya orang yang punya hajatan semisal aqidah, kumpul keluarga, kedatangan tamu, dan lain sebagainya. Padahal memberi suguhan seperti ini adalah amalan sunnah yang sangat menyenangkan hatinya orang-orang yang dermawan, tapi sangat berat dan merisaukan hatinya orang-orang yang pelit. Membaca al-Quran yang umumnya dilakukan di awal acara diba'an, adalah jelas-jelas sunnah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam, bahkan membaca dan mendengarkan bacaan al-Quran itu di samping sunnah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam tetapi juga perintah Allah, demikian dan sebagainya.

Dengan sekali saja orang itu mengamalkan bid'ah hasanah seperti diba’an atau semacamnya, ternyata secara otomatis dia telah mengamalkan sunnah-sunnah Nabi Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam yang cukup banyak jika dirinci satu persatu. Coba bandingkan dengan orang-orang yang anti bid'ah hasanah. Tentu jauh berbeda nominal pundi-pundi pahala yang dikumpulkan oleh para pelaku sunnah yang diamalkan dalam diba’an dibanding yang anti bid'ah hasanah.

Padahal perilaku bid'ah hasanah itu sendiri adalah implementasi dari perintah Nabi Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah hasanah (ketetapan/kebiasaan baik) maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun”
Demikian, semoga dalam memahami sesuatu bisa lebih bijak, cermat dan mustanir (semerlang) sehingga menghasilkan sesuatu yang baik dan bukan hanya kerjaannya membuat resah umat Islam seperti kelompok sempalan yang merongrong persatuan kaum Muslimin. Amin Allahumma Amiin.
Disarikan dari komentar Ustadz H. Luthfi Bashori dalam situsnya dengan beberapa tambahan oleh al-Faqir ats-Tsauriy

0 Response to "Memahami Dengan Sederhana 2 ; Jadilah Tahlilan"

Posting Komentar

Media Islam

Thariqat Sarkubiyah

NU Online