Latest Updates

Hukum Tilawah (Membaca al-Qur’an) Untuk Ruh Orang Mati Menurut Syaikh al-Utsaimin

HUKUM TILAWAH (MEMBACA AL-QUR'AN) UNTUK ROH ORANG MATI

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin merupakan salah satu ulama yang oleh sebagian kaum Muslimin dianggap sebagai ulama wahabi, walaupun ada sedikit orang yang mengatakan bahwa beliau adalah ulama Hanabilah (Madzhab Hanbali) dan jika ini benar, maka patut diapresiasi sebab ternyata masih bermadzhab walaupun kenyataanya tidak demikian. Beliau wafat beberapa tahun yang lalu yakni 1421 Hijriyah.

Ada hal menarik, ketika beliau ditanya tentang hukum tilawah (membaca al-Qur'an) untuk roh mayyit, yang mana selama ini dari pengikut wahabi sendiri selalu gencar membid’ahkan kaum Muslimin termasuk juga pengikut madzhab Syafi’i yang ada di Indonesia. Akan tetapi, ternyata salah satu ulama yang dianggap beraliran wahabi ini malah berlawanan dengan mereka yang hobi membid’ahkan.
سئل فضيلة الشيخ: عن حكم التلاوة لروح الميت؟
Fadlilatusy Syaikh ditanya tentang hukum tilawah (membaca al-Qur’an) untuk orang mati ?

فأجاب قائلًا: التلاوة لروح الميت يعني أن يقرأ القرآن وهو يريد أن يكون ثوابه لميت من المسلمين هذه المسألة محل خلاف بين أهل العلم على قولين: القول الأول: أن ذلك غير مشروع وأن الميت لا ينتفع به أي لا ينتفع بالقرآن في هذه الحال. القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبًا أو غير قريب.
Jawaban : Tilawah  untuk roh orang mati yakni membaca al-Qur’an karena ingin memberikan pahalanya untuk mayyit (orang mati) yang muslim, masalah ini terdapat perselisihan diantara ahlul ilmi atas dua pendapat : Pertama, sungguh itu bukan perkara yang masyru’ (tidak disyariatkan) dan sungguh mayyit tidak mendapat manfaat dengan hal itu yakni tidak mendapatkan manfaat dengan pembacaan al-Qur’an pada perkara ini. Kedua, sesungguhnya mayyit mendapatkan manfaat dengan hal itu, dan sesungguhnya boleh bagi umat Islam untuk membaca al-Qur’an dengan meniatkan pahalanya untuk fulan atau fulanah yang beragama Islam, sama saja baik dekat atau tidak dekat (alias jauh).

والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت، كما في حديث سعد ابن عبادة -رضي الله عنه- حين تصدق ببستانه لأمه، وكما في قصة الرجل الذي قال للنبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: «إن أمي افْتُلِتَت نفسها وأظنها لو تكلمت لتصدقت أفأتصدق عنها؟ قال النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: "نعم» وهذه قضايا أعيان تدل على أن صرف جنس العبادات لأحد من المسلمين جائز وهو كذلك، ولكن أفضل من هذا أن تدعو للميت، وتجعل الأعمال الصالحة لنفسك لأن النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قال: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» . ولم يقل: أو ولد صالح يتلو له أو يصلي له أو يصوم له أو يتصدق عنه بل قال: - «أو ولد صالح يدعو له» والسياق في سياق العمل، فدل ذلك على أن الأفضل أن يدعو الإنسان للميت لا أن يجعل له شيئًا من الأعمال الصالحة، والإنسان محتاج إلى العمل الصالح، أن يجد ثوابه له مدخرًا عند الله -عز وجل-.
Dan yang rajih (yang kuat) : adalah qaul (pendapat) yang keduasebuah jenis ibadah yang boleh memindahkan pahalanya untuk mayyit (orang mati) karena sesungguhnya telah warid sebagai , sebagaimana pada hadits Sa’ad bin ‘Ubadah radliyallahu ‘anh ketika ia menshadaqahkan kebunnya untuk ibunya, dan sebagaimana kisah seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan aku menduga seandainya ia sempat berbicara ia akan meminta untuk bershadaqah, maka bolehkah bershadaqah untuknya ? Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : iya”, ini sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa memindahkan pahala jenis ibadah untuk salah seorang kaum Muslimin adalah boleh, dan demikian juga terkait membaca al-Qur’an. Akan tetapi yang lebih utama dari perkara ini agar mereka berdo’a untuk mayyit, serta menjadikan amal-amal shalih untuk dirimu sendiri karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “Apabila bani Adam mati maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selali mendo’akannya”. Tidak dikatakan, “atau anak shalih yang melakukan tilawah untuknya, atau shalat untuknya, atau puasa untuknya, atau shadaqah untuknya, akan tetapi Nabi bersabda : “atau anak shalih yang berdo’a untuknya”,

Maka ini menunjukkan bahwa seorang manusia berdo’a untuk mayyit itu lebih utama (afdlal) dari pada menjadikan amal-amal shalihnya untuk mayyit, dan manusia membutuhkan amal shalih agar pahalanya menjadi simpanan disisi Allah ‘Azza wa Jalla.” ........
FAIDAH YANG BISA DI PETIK :
  • Yang rajih berdasarkan pentarjihan dari Syaikh al-‘Utsaimin adalah bahwa pahala bacaan al-Qur’an boleh dihadiahkan untuk orang mati, yakni dengan meniatkan pahalanya untuk orang mati. Hal ini memberikan manfaat untuk mayyit (orang mati). 
  • Pada hakikatnya, apa yang disampaikan oleh Syaikh al-‘Utsaimin ini sama kasusnya dengan sebagian pendapat Syafi’iyah yakni dengan meniatkan pahalanya untuk orang mati. Misalnya seperti yang dikatakan oleh Syaikh al-‘Allamah Sulaiman al-Jumal :
“dan tahqiq bacaan al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh, atau mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga” [Futuhaat al-Wahab li-Syaikh Sulailman al-Jamal (2/210)]
  • Antara do’a untuk orang mati dan membaca al-Qur’an untuk orang mati, hanya masalah afdlaliyah (keutamaan) semata, dan keduanya sama-sama bermanfaat bagi orang mati. Namun, menurut Syaikh al-‘Utsaimin yang lebih utama adalah do’a untuk orang mati. 
  • Hadits tentang menshadaqahkan untuk orang mati juga bisa dijadikan sebagai dalil bahwa pembacaan al-Qur’an untuk orang mati juga boleh, sebab sama-sama termasuk jenis ibadah yang pahalanya bisa dipindahkan. Hal semacam ini pada dasarnya adalah metode qiyas.
  • Hadits tentang terputusnya amal bukan berarti menafikan perpindahan pahala untuk orang mati, demikian juga bukan berarti larangan membaca al-Qur’an untuk orang mati, melainkan hanya masalah afdlaliyah saja antara membaca al-Qur’an, shalat untuk orang mati, puasa untuk orang mati, shadaqah untuk orang mati, dan do’a untuk orang mati.  Didalam hadits tersebut menyebutkan do’a untuk orang mati, oleh karena itu do’a untuk orang mati lebih utama daripada membaca al-Qur’an untuk orang mati, shalat, puasa dan shadaqah.
  • INI PENTING : yakni bahwa tidak semua perkara baru jatuh pada status hukum haram dan pada kasus ini Syaikh al-‘Utsaimin malam memperbolehkannya. Jika memang dipandang sebagai perkara bid’ah namun diperbolehkan maka sesungguhnya yang demikian dalam istilah ‘ulama Syafi’iyah adalah bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah).
Dalam pandangan Syafi’iyah, setiap perkara baru (bid’ah) memang tidak serta merta jatuh pada status hukum haram, sebab bid’ah bukanlah status hukum didalam Islam. Status hukum didalam Islam ada 5 yakni wajib, sunnah/mandub, mubah, makruh dan haram. Oleh karena itu, bid’ah harus dikaji dan telaah secara mendalam dengan kaidah-kaidah penetapan hukum dalam Islam. Jika masuk ketegori penetapan hukum mubah, maka ulama akan menyebutkan sebagai bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah), begitu seterusnya. 

Sumber : Majmu' Fatawa wa Rasaail Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin [w. 1421 H]

Oleh : al-Faqir ats-Tsauriy Bangkalan

0 Response to "Hukum Tilawah (Membaca al-Qur’an) Untuk Ruh Orang Mati Menurut Syaikh al-Utsaimin"

Posting Komentar

Media Islam

Thariqat Sarkubiyah

NU Online