Latest Updates

Tabyin Kidzb al-Muftari (Ibnu 'Asakir) ; Hanya Satu Periode (Dari Muktazilah Kepada Ahl as-Sunnah)

Lima belas hari bersunyi diri untuk beribadah dan berdoa agar diberi petunjuk oleh Allah subhânahu wa ta‘âlâ. Pada hari yang ke enam belas ia beranjak menuju masjid guna mengumumkan apa yang ia alami. Di dalam masjid, ia naik mimbar, lalu berkata;




“Jama‘ah sekalian, sesungguhnya aku “menghilang” dari kalian beberapa waktu karena aku berpikir; aku dapati banyak dalil yang balancing (sehingga menjadi samar) dan aku tidak bisa mentarjih mana yang benar dari yang salah, begitu sebaliknya. Maka aku meminta petunjuk kepada Allah tabaraka wa ta‘ala, lalu Dia memberiku petunjuk kepada akidah yang aku tuangkan dalam kitab-kitabku ini, dan aku tanggalkan semua yang pernah aku yakini sebagaimana aku menanggalkan baju jubahku ini”.

Ia menanggalkanlah jubahnya itu, kemudian dilemparkan, dan ia berikan beberapa kitab kepada jama‘ah yang di antaranya adalah kitab al-Luma‘ (al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaygh wa al-Bida‘) dan kitab yang mengungkap kecacatan (akidah) mu‘tazilah yang dinamakan dengan Kasyf al-Astâr wa Hatk al-Astâr, dll. Manakala kitab-kitab itu telah dibaca oleh ahli hadis dan ahli fikih dari kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, mereka “mengambil” dan mengikuti isi kitab-kitab itu, mereka meyakini keunggulannya dan menjadikannya sebagai Imam, sehingga madzhab mereka dinisbatkan kepadanya, (al-Asy‘ariyyah/al-Asyâ‘irah).

Catatan : Prosesi ini (menurut riwayat shahih terjadi pada tahun 300H, penghujung periode salaf) disaksikan para Ulama dari kalangan ahli hadis dan ahli fiqh. *Jika akidah Imam al-Asy‘ari masih cenderung kepada mu‘tazilah tentunya para ulama Ahl al-Sunnah saat itu tidak akan memberi nilai plus untuk Imam al-Asy‘ari seperti menjadikannya sebagai Imam, dll. *Jika Imam al-Asy‘ari masih cenderung kepada mu‘tazilah, atau meyakini Allah bertempat sebagaimana syubhat yang dilontarkan oleh Musyabbihah -berdasarkan sisipan dalam al-Ibanah-, mengapa kalangan al-Asy‘ariyyah al-Kibâr seperti Abu al-Hasan al-Bahili, al-Qâdhi al-Baqillani, Ibn fawrak, al-Hakim, Abu Manshur al-Baghdadi, al-Baihaqi, Ustadz Isfarayaini, al-Juwayni,dll tidak meyakini hal itu? Bukankah mereka muttashil sanad kepada Imam al-Asy‘ari? Wa al-‘Iyâdzu billahi, dari Iftirâ’ dan Takdzîb terhadap pewaris Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. *Juga, seandainya Imam al-Asy‘ari masih cenderung kepada mu‘tazilah, bagaimana mungkin ia menulis karya sanggahan terhadap mu‘tazilah namun masih menganut paham mu‘tazilah. Dalam beberapa riwayat, selain kitab al-Luma‘ dan Kasyf al-Astâr, Imam al-Asy‘ari juga memberikan kitab al-Ibânah kepada jama‘ah. Maka untuk menjaga dari syubhat-syubhat yang dinisbatkan kepada kitab Imam al-Asy‘ari seperti penyisipan atau pengurangan isi kitab al-Ibanah, harus disandingkan dengan kitab al-Luma‘.

al-Hafizh Ibn ‘Asakir (w.571H) meriwayatkan beberapa sya‘ir dari gurunya;

لو لم يصنف عمره # غير الإبانة واللمع لكفى
“jikalau sepanjang umurnya tidak menulis, melainkan hanya al-Ibanah dan al-Luma‘, itu sudah mencukupi -sebagai pegangan-” (al-Tabyiin, Kairo: al-Maktabah al-Azhariyyah, cet.1, 1420H, hal.134)

Apakah al-Imam al-Asy'ariy mengatakan "Allah Bertempat" ?


al-Hafizh Ibn ‘Asakir meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada al-Qâdhi Abi al-Ma‘âlî Ibn ‘Abd al-Mâlik (murid Imam al-Asy‘ari). Ia berkata tentang Imam al-Asy‘ari; “menurut sekte al-Hasyawiyyah dan al-Mujassimah bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala hulul di ‘arsy, dan menjadikannya sebagai tempat untuk diduduki, lalu Imam al-Asy‘ari mengambil jalan tengah (antara Mu‘tazilah dan Mujassimah) bahwa Allah ada (sejak azali) tanpa tempat, kemudian Dia menciptakan ‘arsy dan kursi, tanpa membutuhkan tempat. Allah tetap sebagaimana adanya sebelum menciptakan tempat“ (yaitu ada tanpa tempat).

Selanjutnya, kalangan al-Musyabbihah dan al-Hasyawiyyah berkata bahwa Nuzûl adalah Nuzûl Zat-Nya dengan bergerak dan berpindah dari tempat ke tempat lain. -Mereka pun berkata- Istiwâ’ adalah duduk di atas ‘Arsy sembari menempatinya. Lalu Imam al-Asy‘ari mengambil jalan tegah dengan mengatakan bahwa Nuzûl adalah dalah satu dari sifat-sifat Allah, dan Istiwâ’ pun merupakan salah satu dari sifat-sifat Allah. Dan Fi‘liy yang dilakukan-Nya di ‘Arasy disebut dengan Istiwâ’.

Catatan; “fi‘liy yang dilakukan-Nya di ‘Arsy disebut dengan Istiwâ’” bukan menempatinya. Sebagaimana fi‘liy yang dilakukan-Nya di Bumi dalam rangka memberi rezki disebut dengan Tarzîq, juga bukan menempati bumi. Begitu juga ketika seseorang sedang shalat, dia dilarang meludah ke arah kiblat karena Allah ada di “hadapan” orang itu, apakah keberadaan Allah di hadapannya dengan makna hakiki? Tentunya tidak, karena mempunyai konsekuensi akan keberadaan Allah di tempat.

Hadis mengenai ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan beberapa Ash-hâb al-Sunan, dari Ibn ‘Umar;

إذا كان أحدكم يصلي فلا يبصق قبل وجهه فإن الله قبل وجهه إذا صلى -أو كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم-
“apabila seorang di antara kalian melakukan shalat, maka jangan meludah ke arah depan karena sesungguhnya Allah ada di depannya”

Oleh : al-Ustadz 'Afshi Raihan Hafidhahullah

0 Response to "Tabyin Kidzb al-Muftari (Ibnu 'Asakir) ; Hanya Satu Periode (Dari Muktazilah Kepada Ahl as-Sunnah)"

Posting Komentar

Media Islam

Thariqat Sarkubiyah

NU Online