Budaya selamatan setelah hari kematian seseorang dengan tahlilan dan walimahan—baik dalam 7 hari, 40 hari, 100 hari atau 1000 hari—adalah salah satu daya mayoritas masyarakat kaum Muslim di Indonesia yang sangat diingkari oleh sebagian kaum Muslimin lainnya seperti oleh kaum Wahhabi dan yang sefaham dengannya serta dituduh sebagai budaya bid’ah dan sesat.
Berbagai buku yang bermuatan kritik dan hinaan terhadap budaya tersebut banyak ditulis oleh orang-orang menisbatkan dirinya penganut faham salaf atau Wahhabi. Mereka juga mengatakan dan memberi bukti tuduhannya bahwa budaya tersebut adalah warisan budaya agama Hindu, terbukti dengan diadakannya konggres yang dilakukan oleh petinggi-petinggi umat Hindu se-Asia pada tahun 2006 di Lumajang, Jawa Timur. Dan salah satu point pembahasannya adalah membicarakan tentang ungkapan syukur atas keberhasilan menyebarkan budaya acara-acara setelah kematian seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari. (Lihat buku Mantan Kyai NU Menggugat Tahlilan, Istighatsahan dan Ziarah Para Wali, karangan H. Mahrus Ali). [1]
Berikut ini, akan kami kupas hadits dan dalil tentang melaksanakan budaya di atas. Jawaban tentang masalah ini kami ambil dari kitab Qurrah al-’Ain bi Fatawi Isma’il Zain al-Yamani halaman 175 cetakan Maktabah al-Barakah dan dari kitab al-Hawi lil Fatawi karya Imam al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi juz 2 halaman 179 cetakan Darul Kutub, Beirut - Lebanon.
Syaikh Isma’il Zain al-Yamani menulis sebagai berikut (kami kutib secara garis besar) : Dalam Sunan Imam Abu Dawud hadits no. 2894 dituliskan :
حدثنا محمد بن العلاء أخبرنا ابن إدريس أخبرنا عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأة فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فمه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة قالت يا رسول الله إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة فلم أجد فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إلي بها بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعميه الأسارى
“Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi,[2] tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’”
Hadits Abu Dawud tersebut juga tercatat dalam Misykah al-Mashabih karya Mulla ‘Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan tercatat juga dalam as-Sunan al-Kubra serta Dala’il an-Nubuwwah, keduanya karya al-Baihaqi.
Komentar Syaikh Ismail tentang status sanad hadits di atas, beliau berkata bahwa dalam Sunan Abu Dawud tersebut, Imam Abu Dawud diam tidak memberi komentar mengenai statusnya, yang artinya secara kaidah (yang dianut oleh ulama termasuk an-Nawawi dalam mukaddimah al-Adzkar) bahwa hadits tersebut boleh dibuat hujjah, artinya status haditsnya berkisar antara hasan dan shahih. Al-Hafizh al-Mundziri juga diam tidak berkomentar, yang artinya bahwa hadits tersebut juga boleh dibuat hujjah.
Perawi yang bernama Muhammad bin al-‘Ala’ adalah guru Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain dan jelas termasuk perawi shahih. Abdullah bin Idris dikomentari oleh Ibnu Ma’in sebagai perawi tsiqah dan di katakan oleh Imam Ahmad sebagai orang yang tidak ada duanya (nasiju wahdih). Sementara ‘Ashim, banyak yang komentar bahwa dia adalah perawi tsiqah dan terpercaya, haditsnya tidak mengapa diterima, orang shalih dan orang mulia penduduk Kufah. Sedangkan laki-laki penduduk Madinah yang di maksud adalah shahabat Nabi yang semuanya adalah adil tanpa ada curiga sama sekali. Dari keterangan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits di atas adalah hadits hasan yang bisa dibuat hujjah.
Sedangkan dari sisi isinya, hadits tersebut mengandung beberapa faidah dan hukum penting, di antaranya:
· Menunjukkan mukjizat Rasulallah yang dapat mengetahui haram tidaknya sesuatu tanpa ada seseorang yang memberi tahu. Oleh karena itu, al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah menyebutkan hadits ini dalam bab Mukjizat.
· Jual belinya seseorang yang bukan pemilik atau wakil (bai’ fudhuli) adalah tidak sah dan bathil. Oleh karennya, Abu Dawud menyebutkan hadits ini dalam Sunan-nya di bagian bab Jual Beli.
· Akad yang mengandung syubhat seyogianya dihindari agar tidak jatuh pada limbah keharaman.
· Diperbolehkannya bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimah dan mengundang orang lain untuk hadir memakannya. Bahkan, jika difahami dari hadits tersebut, melakukan walimah tersebut adalah termasuk qurbah (ibadah). Sebab, adakalanya memberi makan bertujuan mengharapkan pahala untuk si mayit -termasuk utama-utamanya qurbah- serta sudah menjadi kesepakatan bahwa pahalanya bisa sampai kepada mayit. Mungkin pula bertujuan menghormati tamu dan niat menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah agar tidak lagi larut dalam kesedihan. Baik jamuan tersebut dilakukan saat hari kematian, seperti yang dilakukan oleh istri mayit dalam hadits di atas, atau dilakukan di hari-hari berikutnya.[3]
Hadits di atas juga di nilai tidak bertentangan dengan hadits masyhur berikut :
اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد اتاهن ما يشغلهن أو اتاهم ما يشغلهم
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja‘far, karena anggota keluarga yang wanita sedang sibuk atau anggota keluarga laki-laki sedang sibuk.”.[4]
Menurut Syaikh Isma‘il, hadits tersebut (keluarga Ja'far) ada kemungkinan (ihtimal) khusus untuk keluarga Ja‘far, karena Rasulallah melihat keluarga Ja‘far tersebut sedang dirundung duka sehingga anggota keluarganya tidak sempat lagi membuat makanan. Kemudian Rasulullah menyuruh anggota keluarga beliau untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja‘far. Selain itu juga, tidak ada hadits yang sharih (jelas) yang menjelaskan bahwa Rasulullah melarang bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimahan untuk pentakziyah.
Pernyataan ini dikuatkan dengan riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari Aisyah:
أنها كانت إذا مات الميت من أهلها فاجتمع لذلك النساء ثم تفرقن إلا أهلها وخاصتها أمرت ببرمة من تلبينة فطبخت ثم صنع ثريد فصبت التلبينة عليها ثم قالت كلن منها فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول التلبينة مجمة لفؤاد المريض تذهب ببعض الحزن
“Dari Aisyah, istri Rasulullah, ketika salah satu keluarganya ada yang meninggal, para wanita-wanita berkumpul dan kemudian pergi kecuali anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Kemudian beliau memerintahkan untuk membawakannya periuk berisi sup yang terbuat dari tepung yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak. Kemudian dibuatlah bubur sarid dan sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut. Lalu beliau berkata: ‘Makanlah makanan ini karena aku mendengar dari Rasulallah bersabda bahwa bahwa sup dapat melegakan hati orang yang sedang sakit; menghilangkan sebagian kesusahan.”[5]
Orang yang mengerti kaidah syari’at berpandangan bahwa walimah yang dibuat oleh keluarga mayit adalah tidak dilarang selama mereka membuat walimah tersebut karena taqarrub kepada Allah, menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah dan menghormat para tamu yang datang untuk bertakziyah. Tentunya, semua itu jika harta yang digunakan untuk walimah tersebut tidak milik anak yatim, yakni jika salah satu keluarga yang ditinggalkan mayit ada anak yang masih kecil (belum baligh).
Adapun menanggapi perkataan (hadits) al-Jarir bin Abdillah yang mengatakan bahwa berkumpul dengan keluarga mayit dan membuatkan hidangan untuk mereka adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) yang diharamkan, Syaikh Isma‘il memberi jawaban :
“Maksud dari ucapan Jarir tersebut adalah mereka berkumpul dengan memperlihatkan kesedihan dan meratap. Hal itu terbukti dari redaksi ucapan Jarir yang menggunakan kata niyahah. Hal itu menunjukkan bahwa keharaman tersebut dipandang dari sisi niyahah dan bukan dari berkumpulnya. Sedangkan apabila tidak ada niyahah tentu hal tersebut tidak di haramkan.”
Sedangkan menjawab komentar ulama-ulama yang sering digunakan untuk mencela budaya di atas (yaitu tentang hukum sunah bagi tetangga keluarga mayit membuat atau menyiapkan makanan bagi keluarga mayit sehari semalam) yang dimaksudkan adalah obyek hukum sunah tersebut adalah bagi keluarga mayit yang sedang kesusahan seperti yang dialami keluarga Ja‘far. Oleh karena itu, tidak ada dalil tentang hukum makruh membuat walimah oleh keluarga mayit secara mutlak kecuali dari (memahami) hadits keluarga Ja‘far dan hadits Jarir di atas. Ada kemungkinan juga ulama-ulama tersebut belum pernah melihat hadits ‘Ashim di atas yang menerangkan tentang bolehnya membuat walimah bagi keluarga mayit.
Al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari mengatakan: “dhahir dari hadits ‘Ashim tersebut menentang apa yang diputuskan oleh para ulama kita (ashhabuna) tentang dimakruhkannya membuat walimah di hari pertama, ketiga atau setelah seminggu.”
Adapun dalil bahwa pahala shadaqah yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai kepadanya adalah riwayat al-Bukhari dari Aisyah :
أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم إن أمي افتلتت نفسها وأظنها لو تكلمت تصدقت فهل لها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah Saw.: ‘Ibu saya telah meninggal, dan aku berprasangka andai dia bisa berbicara pasti dia akan bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?’ Rasulallah menjawab: ‘Benar.’”[6]
Hadits shahih ini adalah hujjah tentang pahala shadaqah yang sampai kepada mayit. Maka dari itu, pembaca jangan terperdaya dengan pendangan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa hadits-hadits tentang pahala shadaqah adalah dha‘if, itu sama saja telah melemahkan hadits shahih al-Bukhari seperti diatas. Sungguh brutal dan ‘ngawur’ sekali orang yang melakukan hal demikian ! Bukan dalang tapi mendalang. Bukan ahli hadits tapi menilai hadits. Apalagi sampai mendhaifkan hadits dalam shahih Bukhari yang mempunyai sanad (bukan mu’allaq) dan sudah menjadi kesepakatan ulama termasuk hadits shahih.
Fatwa Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi :
Terdapat keterangan ulama bahwa mayit difitnah (ditanya malaikat Munkar dan Nakir) di dalam kuburnya adalah selama 7 hari (setelah hari penguburan) sebagaimana tersirat dalam hadits yang dibawakan oleh beberapa ulama. Hadits yang dibuat landasan tersebut adalah:
- Hadits riwayat Ahmad dalam az-Zuhd dari Thawus.
- Hadits riwayat Abu Nu’aim al-Ashbahani dari Thawus.
- Hadits riwayat Ibnu Juraij dalam al-Mushannaf dari ‘Ubaid bin ‘Umair (sebagian berkomentar dia adalah pembesar tabi’in dan sebagian yang lain mengatakan dia seorang shahabat). Al-Hafizh Ibnu Rajab menisbatkan pada Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair.
Hadits-hadits tersebut sebagaimana disebutkan Imam Ahmad didalam az-Zuhd dan Imam Abu Nu’aim didalam al-Hilyah dari Thawus :
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لَهُ حَدَّثَنَا هَاشِمٌ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ ابْنُ حَنْبَلَ ثَنَا أُبَيُّ ثَنَا هَاشِمٌ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قاَلَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
ذِكْرُ الرِّوَايَةِ الْمُسْنَدَةِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ: قاَلَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مَصَنَّفِهِ عَنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا
“Sesungguhnya mayit di dalam kuburnya terfitnah (ditanyai Malaikat Munkar dan Nakir) selama 7 hari. Dan mereka menganjurkan supaya membuat (walimahan) dengan memberi makan (orang-orang), (yang pahalanya dihadiahkan) untuk si mayit tersebut di hari-hari tersebut.”. [7]
Sebelum membahas isi dari hadits ini, marilah kita bahas terlebih dahulu diri sisi sanadnya, sehingga kita akan tahu layak dan tidaknya hadits ini untuk dibuat hujjah.
· Perawi-perawi hadits yang pertama adalah shahih dan Thawus adalah termasuk pembesar tabi’in.
· Hadits yang diriwayatkan dan tidak mungkin dari hasil ijtihad shahabat atau tabi’in, hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, seperti hadits yang menerangkan tentang alam barzakh, akhirat dan lain-lain sebagaimana yang sudah maklum dalam kaidah ushul hadits.
· Atsar Thawus tersebut adalah termasuk hadits marfu’ yang mursal dan sanadnya shahih serta boleh dibuat hujjah menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad secara mutlak tanpa syarat. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i juga boleh dibuat hujjah jika ada penguat seperti ada riwayat yang sama atau riwayat dari shahabat yang mencocokinya. Syarat tersebut telah terpenuhi, yaitu dengan adanya riwayat dari Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair dan keduanya seorang tabi’in besar (sebagian mengatakan ‘Ubaid adalah shahabat Rasulullah). Dua hadis riwayat selanjutnya adalah hadits mursal yang menguatkan hadits mursal di atas.
· Menurut kaidah ushul, kata-kata “mereka menganjurkan memberi makan di hari-hari itu” adalah termasuk ucapan tabi’in. Artinya, kata “mereka” berkisar antara shahabat Rasulullah, di zaman Rasulullah, dan beliau taqrir (setuju) terhadap prilaku tersebut atau artinya adalah shahabat tanpa ada penisbatan sama sekali kepada Rasulullah. Ulama juga berselisih apakah hal itu adalah ikhbar (informasi) dari semua shahabat yang berarti menjadi ijma’ atau hanya sebagian dari shahabat saja.
Dari hadits di atas dapat difahami dan digunakan sebagai :
- Dasar tentang keyakinan adanya fitnah kubur selama 7 hari.
- Penetapan hukum syara' tentang disunahkannya bershadaqah dan memberi makan orang lain di hari-hari tersebut. Serta, dapat dijadikan dalil bahwa budaya memberi makan sebagian kaum Muslimin saat hari pertama sampai hari ketujuh dari hari kematian adalah terdapat dalil yang mensyariatkannya.
Imam al-Hafidz as-Suyuthi juga mengatakan : “Sunah memberi makan selama 7 hari tersebut berlaku sampai sekarang di Makkah dan Madinah, dan secara dhahirnya hal itu sudah ada dan tidak pernah ditinggalkan masyarakat sejak zaman shahabat sampai sekarang. Dan mereka mengambilnya dari salaf-salaf terdahulu.”
Imam al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bahwa Nashr al-Maqdisi wafat di hari Selasa tanggal 9 Muharram tahun 490 hijriyyah di Damaskus dan kami menetap di makamnya selama 7 hari membaca al-Qur’an sebanyak 20 khataman.
Adapun melakukan acara 40 hari, 100 hari atau 1000 hari dari kematian dengan melakukan tahlilan dan bershadaqah memang tidak ada dalil yang mengatakan sunah. Namun demikian, melakukan budaya tersebut diperbolehkan menurut syariat. Dan seyogianya bagi yang mengadakan acara tersebut tidak mengi’tiqadkan bahwa hal tersebut adalah sunnah dari Rasulullah, tetapi cukup berniat untuk bershadaqah dan membacakan al-Qur’an, yang mana pahalanya dihadiahkan kepada mayit, sebagaimana keterangan sebelumnya.
Sedangkan untuk menanggapi syubhat yang mengatakan bahwa tahlilan kematian dan budaya 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari adalah budaya Hindu dan melakukannya adalah syirik karena menyerupai orang kafir (dengan bersandar pada hadits tentang tasyabbuh riwayat ath-Thabarani dan Abu Dawud), kami menjawab sebagai berikut :
Pertama : sebagian dari pernyataannya tentang acara selamatan 7 hari yang katanya adalah merupakan salah satu dakwah (ajaran syari’at) umat Hindu sudah terbantah dengan hadits-hadits di atas.
Kedua, andai anggapan tersebut benar adanya, bahwasannya budaya walimah kematian 7 hari, 40 hari dan sebagainya tersebut adalah bermula dari budaya warisan umat Hindu Jawa. Sebagaimana yang di yakini oleh beberapa Kyai dan ahli sejarah babat tanah Jawa, dan di saat ajaran Islam yang di bawa Wali Songo datang, budaya tersebut sudah terlanjur mendarah daging dengan kultur masyarakat Jawa kala itu. Kemudian dengan dakwah yang penuh hikmah dan kearifan dari para wali (ulama), budaya yang berisi kemusyrikan tersebut di giring dan di arahkan menjadi budaya yang benar serta sesuai dengan ajaran Islam, yaitu dengan diganti dengan melakukan tahlilan, kirim do’a untuk orang yang telah meninggal atau arwah laluhur dan bersedekah. Maka sebenarnya jika kita kembali membaca sejarah Islam bahwasannya metode dakwah wali 9 yang mengganti budaya Hindu tersebut dengan ajaran yang tidak keluar dari tatanan syariat adalah sesuai dengan apa yang di lakukan oleh Rasulullah yang mengganti budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi yang di lahirkan dengan darah hewan sembelihan dan diganti dengan melumuri kepala bayi dengan minyak zakfaran. Apa yang di lakukan Rasulullah tersebut tersirat dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abu Dawud dalam Sunan-nya, Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra yang semuanya di riwayatkan dari shahabat Abu Buraidah al-Aslami berikut :
كنا في الجاهلية إذا ولد لأحدنا غلام ذبح شاة ولطخ رأسه بدمها فلما جاء الله بالإسلام كنا نذبح شاة ونحلق رأسه ونلطخه بزعفران
“Saat kami masih hidup di zaman Jahiliyyah; saat salah satu dari kami melahirkan seorang bayi, maka kami menyembelih seekor kambing dan kepala bayi kami lumuri dengan darah kambing tersebut. Namun saat Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, kami cukur rambut kepala bayi dan kami lumuri kepalanya dengan minyak zakfaran”.[8]
Dengan demikian, jika budaya walimah kematian di atas yang di isi dengan berbagai kebaikan seperti shadaqah penghormatan kepada tamu dan bacaan ratib tahlil atau dzikir-dzikir lain di anggap sebagai sesuatu yang keluar dari jalur syariat dan bid'ah yang sesat, maka sebenarnya anggapan tersebut sama dengan menganggap dakwah wali songo tersebut tidak benar dan mereka adalah pendakwah yang sesat. Na'udzu billah min dzalik.
Tasyabbuh dengan orang kafir yang dihukumi kufur adalah jika tasyabbuh dengan kelakuan kufur mereka, memakai pakaian ciri khas mereka, atau sengaja melakukan syiar-syiar kekufuran bersama-sama dengan mereka. Atau ringkasnya, tasyabbuh yang menjadikan kufur adalah tasyabbuh dengan mereka secara mutlak (zhahiran wa bathinan). Sedangakan tasyabbuh yang dihukumi haram adalah jika tasyabbuh tersebut diniatkan menyerupai mereka di dalam hari-hari raya mereka. [9] Padahal kita tahu, acara selamatan sudah ada sejak dulu dan juga selamatan tidak pernah tasyabbuh dengan kekufuran dan hari-hari raya mereka. Andaipun tuduhan itu benar, bahwa selamatan merupakan budaya Hindu, maka juga tidak bisa dihukumi kufur atau haram karena kaum Muslimin yang melakukannya sama sekali tidak ada niat tasyabbuh dengan budaya mereka (kafir). Selain dari pada itu, umat Hindu tidak pernah mengenal tahlilan sama sekali. Lalu kenapa dikatakan tasyabbuh dan dihukumi haram ?.
Oleh :Ustadz (klik http://www.facebook.com/Alfaqir.ila.rohmati.Robb), di repost dengan beberapa penambahan dan penjelasan oleh ats-Tsauriy.
[1] Sekilas tentang H. Mahrus Ali, silahkan klik disini
[2] Sebagian riwayat menyebutkan Naqi (tempat pembelian kambing), misalnya sebagaimana tercantum dalam as-Sunan al-Kubro lil-Imam al-Baihaqiy asy-Syafi’i (5/335) ;
فأرسلت المرأة انى ارسلت إلى النقيع يشترى لى شاة فلم توجد
[3] . Mungkin maksud Syaikh Ismail adalah hari ke-7, 40, 100 dan 1000. Sebab itulah hari-hari berikutnya.
[4] . Lihat : as-Sunan al-Kubra lil-Imam al-Baihaqiy asy-Syafi’i (4/61) ; Sunan Abi Daud (2725) ; Sunan Ibn Majah (1599) ; Musnad Imam Ahmad (1660) ; Mustadrak ‘alaa ash-Shahihain lil-Imam Hakim (1325) ; Musnad al-Hamidi (565) , Sunan Imam ad-Daruquthni (1872) dan lain sebagainya.
[5] Lihat : Shahih Bukhari no. 4997 ; Shahih Muslim no. 4106 dan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal no. 24062.
[6] Lihat : Shahih Bukhari no. 1299 ; Shahih Muslim no. 1672 ; Muwatha’ Imam Malik no. 1255 ; as-Sunan al-Kubra lil-Imam al-Baihaqiy (4/64) ; dan lain sebagainya. Mengenai pahala shadaqah untuk mayyit, Ulama juga telah bersepakat (ijma’) bahwa hal itu sampai, sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Imam Nawawi asy-Syafi’i ketika mengomentari hadits tersebut dalam kitab Syarah Shahih Muslim (3/444) ;
وفي هذا الحديث : أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها ، وهو كذلك بإجماع العلماء ، وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ، ويصح الحج عن الميت إذا كان حج الإسلام ، وكذا إذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا ، واختلف العلماء في الصواب إذا مات وعليه صوم ، فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه . والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها ، وقال جماعة من أصحابنا : يصله ثوابها ، وبه قال أحمد بن حنبل . وأما الصلاة وسائر الطاعات فلا تصله عندنا ولا عند الجمهور ، وقال أحمد : يصله ثواب الجميع كالحج .
“dan di dalam hadits ini, bahwasanya bershadaqah atas nama mayit ini bisa memberi manfaat kepada mayit dan pahala shadaqahnya bisa sampai padanya, dan demikianlah sesuai dengan kesepakatan para ulama (Ijma’ Ulama), dan juga ulama bersepakat atas sampainya doa, membayar hutang yang telah terwarid di dalam kesemuanya. Dan sah juga menghajikan haji atas mayit apabila hajinya itu haji islam dan begitu juga sah apabila mayit mewasiyatkan agar dihajikan dengan haji sunnah, ini menurut pendapat yang lebih shah menurut kami. Dan ulama berselisih pendapat di dalam masalah puasa, apabila seseorang mati dan dia masih mempunyai tanggungan puasa, maka pendapat yang rajih (unggul) itu bolehnya berpuasa atas nama mayit karena adanya hadits-hadits yang shohih, dan yang masyhur di madzhab kami bahwa bacaan al-Quran tidak sampai pahalanya kepada mayit, dan berkata jama’ah ashab kami bahwa pahala bacaan al-Quran bisa sampai kepada mayit, dan dengan ini, Imam Ahmad bin Hanbal telah berpendapat. Adapun shalat dan semua bentuk amal keta'atan maka menurut pendapat kami dan pendapat jumhur ulama pahalanya tidak sampai kepada mayyit, dan imam Ahmad berkata, pahala semua bentuk keta'atan bisa sampai kepada mayyit sebagaimana pahala haji".
Terkait bacaan al-Qur’an kepada mayyit, Syaikhul Islam Imam Zakariyya al-Anshariy sebagaimana disebutkan dalam Hukmusy Syari'ah al-Islamiyyah fiy Ma'tamil Arba'in hal. 43 mengomentari maksud dari qoul masyhur sebagai berikut ;
إن مشهور المذهب أي في تلاوة القرأن محمول على ما إذا قرأ لابحضرة الميت ولم ينو الثواب
"Sesungguhnya pendapat masyhur madzhab (Asyafi'i) di dalam masalah bacan alqur'an itu di kondisikan apabila membacanya itu tidak di hadapan mayit (kuburnya) dan tidak niat memberikan pahala bacaan alquran itu kepada mayit atau berniat memberikan pahala bacaan tetapi tidak mendoakan "
Juga dalam Fathul Wahab (2/32) ;
وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه
“Dan perihal qoul yang Masyhur dibawa atas pengertian, (tidak sampai) jika pembacaan (al-Qur’an) tidak dihadapan mayyit dan tidak diniatkan (pula) pahalanya pembacaannya untuk mayyit atau meniatkannya.”
Pernyataan ini adalah berdasarkan prilaku Imam Syafi’i, sebagaimana disebutkan dalam kitab Adzakhirah Atsamaniyyah hal. 64 ;
والقول المذكور مبني على عمل الامام الشافعي فإنه كان يزور قبر الامام الليث بن سعد ثم يتلو الاذكار والقران الكريم : وقد تواتر أن الشافعي زار الليث بن سعد و أثنى وقرأ عنده ختمة و قال أرجو أن تدوم فكان الامر كذالك
"perkataan tersebut (qaul Imam Zakariya al-Anshariy), itu di dasarkan atas perilaku Imam Syafi'i, bahwasanya Imam Syafi'i menziarahi Makam Imam Allayts bin Sa'ad kemudian melantunkan dzikir-dzikir dan al-Qur'an, dan sungguh telah berkali-kali, bahwasanya Imam Syafii menziarahi Allayts bin Sa'ad, memujinya dan membaca (al-Quran) dengan sekali khataman, dan beliau berkata : Aku berharap ini di langgengkan, dan perkara itu demikian adanya".
Dan Imam Syafi’i bahkan pernah menganjurkan, disebutkan dalam kitab al-Adzkar Imam Nawawi hal. 147 dan kitab Dalilul Falihiin Juz 6 Hal. 103 ;
ويستحب أن يقرأ عنده شيئ من القرأن ، وإن ختموا القرأن كله كان حسنا
“di anjurkan di sisinya (qubur) di bacakan bacaan dari Alquran, maka apabila mereka mengkhatamkan alquran semuanya maka hal itu lebih bagus”.
[7] Disebutkan dalam Syarah Sunan an-Nasaa’i (3/296) dengan menukil dari Hasyiyah as-Sindi sebagai berikut ;
حاشية السندي : قوله ( فذكر الفتنة إلخ ) الفتنة هي الامتحان والاختبار والمراد هاهنا سؤال الملكين روى أحمد في كتاب الزهد وأبو نعيم في الحلية عن طاوس قال إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا وكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
Juga dinukil dari Hasyiyah as-Suyuthiy ;
حاشية السيوطي : ( قام رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكر الفتنة التي يقتن بها المرء في قبره ) روى الإمام أحمد في كتاب الزهد وأبو نعيم في الحلية عن طاوس قال : إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام وروى ابن جريج في مصنفه عن الحرث بن أبي الحرث عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا وأما المنافق فيفتن أربعين صباح
Disebutkan pula dalam ad-Diybaj ‘alaa Shahih Muslim lil-Imam as-Suyuthi 2/490 dengan dikomentari bahwa sanadnya shahih, dan dituturkan Ibnu Juraij didalam mushnafnya dari Ubaid bin Umair bahwa seorang mukmin terfitnah 7 hari sedangkan orang munafik 40 hari, ini sanadnya juga shahih. Ibnu Rajab menuturkan dari Mujahid bahwa ruh-ruh berada diatas kubur selama 7 hari sejak hari pemakamannya.
[8] Lihat : Sunan Abi Daud no. 2460 ; Sunan al-Kubra lil-Imam al-Baihaqi (9/303) ; Musnad al-Jami’ (1876) dan lain sebagainya.
0 Response to "Budaya Selamatan Setelah Kematian (Tahlil) Dalam Tinjauan"
Posting Komentar