Latest Updates

Al-Imam Hasan al-Bashriy (w. 116 H) Dan Maulid Nabi

Al-Imam Hasan al-Bashriy (w. 116 H) Dan Maulid Nabi
Al-Imam Hasan Al-Bashriy adalah salah satu ulama terkemuka generasi tabi’in (salafush shaleh), guru besar di kota Bashrah, Irak. Seorang alim yang terkemuka dari kaum Muslimin, seorang ahli fqih yang alim, ahli ibadah, seorang yang bertakwa, dan wira’i, dikenal dengan kefasihan lisannya, penjelasannya yang indah mengharukan, ahli hikmah, zuhud, dan yang luas ilmunya. Beliau pernah berjumpa sekitar 100 sahabat Nabi pada masa hidupnya.

Ayah beliau adalah mengabdi kepada Zaid bin Thabit Al-Anshariy radliyallahu ‘anh (زيد بن ثابت الأنصاري) yaitu salah seorang sahabat Rasulullah, yang terkenal sebagai penulis wahyu Allah dan surat-surat Baginda Rasulullah. Sahabat Zaid bin Thabit Al-Anshariy wafat pada tahun 15 H dan anak beliau yang bernama Kharijah bin Zaid, menjadi salah satu generasi tabi’in besar dan merupakan satu diantara ulama-ulama fiqh Madinah pada masanya.

Sedangkan ibunda dari Al-Imam Hasan Al-Bahsriy bernama Khayrah (خَيْرَةُ) adalah pelayan kepada Ummu Salamah. Beliau (Imam Hasan)dilahirkan pada 2 tahun terakhir sebelum wafatnya Amirul Mukminin Umar al-Khattab.

Imam Hasan Al-Bashriy juga pernah memegang jabatan sebagai Qadhi di Bashrah pada tahun 102 H, namun beliau tidak mengambil upah dari jabatannya. Wafat pada tahun 116 H dalam usia 89 tahun.

Berikut adalah beberapa pendapat ulama mengenai Al-Imam Hasan Al-Bashriy,


قال محمد بن سعد كان الحسن -رحمه الله- جامعا، عالما، رفيعا، فقيها، ثقة، حجة، مأمونا، عابدا، ناسكا، كثير العلم، فصيحا، جميلا،
“Imam Muhammad bin Sa’ad (168 H) berkata, “Al-Hasan –rahimahullah- adalah orang yang suka melakukan shalat berjamaah, ‘alim, terhormat, ahli fikih, tsiqah (terpercaya), pandai berdebat (al-Hujjah), ahli ibadah, berperawakan sempurna, banyak ilmu, fasih berbicara dan tampan mempesona”.

وعن أبي بردة، قال: ما رأيت أحدا أشبه بأصحاب محمد -صلى الله عليه وسلم- منه
“dan dari Abu Burdah, dia berkata, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang menyerupai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam kecuali dia.”

حميد بن هلال: قال لنا أبو قتادة
الزموا هذا الشيخ، فما رأيت أحدا أشبه رأيا بعمر منه -يعني: الحسن
“dari Humaid bin Hilal, dia berkata, “Abu Qatadah telah berkata kepada kami, “Patuhilah (bergurulah dengan) orangtua ini, karena aku belum pernah melihat seorang pun yang menyerupai pendapat Umar bin al-Khaththab kecuali dia yakni Al-Hasan.”

وعن أنس بن مالك، قال: سلوا الحسن، فإنه حفظ ونسينا
“dan dari Anas bin Malik, berkata ; “bertanyalah kalian semua kepada Al-Hasan, sebab sesungguhnya di kuat hafalannya dan kami lupa

وقال قتادة: كان الحسن من أعلم الناس بالحلال والحرام
“dan Qatadah berkata, “Al-Hasan termasuk orang yang paling tahu tentang halal dan haram”

قال هشام بن حسان: كان الحسن أشجع أهل زمانه
“Hisyam bin Hasan berkata, Al-Hasan adalah orang yang paling pandai pada masanya”

وقال أبو عمرو بن العلاء: ما رأيت أفصح من الحسن
“dan Abu Umar bin al-‘Ala’, aku tidak pernah melihat orang yang lebih fashih dari al-Hasan”

وقال السري بن يحيى: كان الحسن يصوم: البيض، وأشهر الحرم، والاثنين، والخميس
“dan As-Sariy bin Yahya, Al-Hasan sering berpuasa pada al-Bidl (13,13,15 pada bulan Qamariyah), pada asyhur al-hurum, dan setiap senin kami”

Tentang Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anatut Thalibin,

قال الحسن البصري، قدس الله سره: وددت لو كان لي مثل جبل أحد ذهبا لانفقته على قراءة مولد الرسول
“Seandainya aku memiliki emas seumpama gunung Uhud, niscaya aku akan menafkahkannya (semuanya) kepada orang yang membacakan Maulid ar-Rasul”.

Demikianlah kalangan salafush shaleh memandang tentang peringatan Maulid Nabi, yang mana beliau menjelaskan tentang keutamaan dan keistimewaan peringatan Maulid Nabi, yang mana didalamnya dibacakan tentang Maulid Nabi. Al-Imam Hasan Al-Bashriy adalah orang yang menjadi rujukan, hingga Anas bin Malik pun mengajurkan agar jika ada persoalan hendaknya bertanya kepada Imam Hasan Al-Bashriy.

InsyaAllah kita berada dalam kebenaran ketika memperingaati Maulid Nabi, sebab generasi salafush shaleh pun banyak telah menjelaskan keutamaannya.

Wallahu subhanahu wa ta'alaa a'lam
Abdurrohim Ats-Tsauriy

Referensi :
- Kitab Siyar A'lam An-Nubala, karangan Imam Adz-Dzahabiy, Muassasah Ar-Risalah.
- Kitab I'anatuth Thalibin, karangan Al-'Allamah Asy-Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathiy, Terbitan Dar el-Firk, Beirut - Lebanon.

Download Tarjemah Kitab Safinatun Najaa (Bahtera Keselamatan) ; متن سفينة النجا في اصول الدين والفقه على المذهب الشافعي

Download Tarjemah Kitab Safinatun Najaa (Bahtera Keselamatan) ;  متن سفينة النجا في اصول الدين والفقه على المذهب الشافعي

Safinatun Najaa fiy Ushul al-Diin wa al-Fiqh 'alaa Madzhab Imam al-Syafi'i dikarang oleh seorang ulama madzhab Syafi'iyyah bernama Syaikh Salim bin Samir al-Hadlrami.

كتاب متن سفينة النجا في اصول الدين والفقه على المذهب الشافعي للشيخ سالم بن سمير الحضرمي

Kitab ini merupakan  kitab yang diperuntukkan bagi pemula dalam mempelajari madzhab Syafi'iyyah. Memaparkan secara garis besar tentang pokok-pokok bahasan dalam madzhab Syafi'iyyah yang mudah di pahami oleh para pemula. 

Berikut teks arab sekaligus terjamahan bahasa Indonesia yang bisa di download di link berikut :


Fatwa-Fatwa dan Pendapat Ulama Besar nan Agung Seputar Maulid Nabi Asy-Syarif

Fatwa-Fatwa dan Pendapat Ulama Besar nan Agung Seputar Maulid Nabi Asy-Syarif
Oleh : Ats-Tsauriy (Bangkalan)

Justify Full
Ikhwah fillah yang dirahmati Allah. Ulama adalah penjaga agama ini, dari mereka dan kitab-kitab mereka kita bisa mengetahui dan memahami agama yang mulya ini, sebab mereka adalah pewaris para Nabi (إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ) yang dalam setiap kurun selalu ada sebagai pembaharu (mujaddid) yang memiliki otoritas untuk memberikan penjelasan kepada kita dan meng-ijtihadkan hukum dan permasalahan baru yang memang pada masa sebelumnya belum dikenal. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah menjelaskan melalui sabda beliau bahwa ulama mujaddid akan selalu diutus oleh Allah pada setiap akhir masa 100 tahun,


إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني
“Sungguh Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun orang yang akan memperbaharui agamanya”

Didalam kitab ‘Aunul Ma’bud (عون المعبود) karangan Al-’Allamah Abu At-Thayyib Muhammad Syams Al-Haqq bin Amir bin ‘Ali bin Maqsud ‘Ali As-Shiddiq Al-‘Adhim Abadi, kitab yang merupakan syarah dari kitab Sunan Abu Daud karangan Al-Imam Abu Daud As-Sajistaniy, didalam kitab tersebut dituturkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal (164 H – 241 H) meriwayatkan hadits senada dengan hadits diatas namun dengan redaksi berbeda,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
“Sungguh Allah ta’alaa telah menetapkan pada setiap akhir masa seratus tahun orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka”

Hadis diatas jelas menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam yang bukan hanya dari kalangan shahabat beliau saja atau para ulama salaf saja, tetapi juga para ulama pada tiap-tiap masa yang diakui keluasan ilmunya. Artinya, memahami al-Qur'an dan hadits (sunnah) secara langsung tanpa melalui pemahaman dan penjelasan para ulama tersebut adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus ke dalam kesesatan. Itulah rahasia kenapa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau dan sangat berbeda kualitas keimanannya dibandingkan para shahabat atau para tabi'in. Dan kita yakin, hadits itu pasti dilatarbelakangi oleh wahyu Allah, dan ini bisa dikatakan sebagai salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan. Otoritas penjelasan ulama di setiap generasi dalam berijtihad, legalitasnya tidak hanya ditunjukkan oleh dalil di atas, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam secara umum menyebut mereka sebagai pewaris Nabi (وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ).

Jikalau ada yang bertanya, ulama yang manakah yang termasuk kategori mujaddid atau yang pantas mendapat label "pewaris para Nabi (وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ)” itu ? Nama-nama para Mujaddid dan para Ulama yang terkenal seperti berikut ini dapat dikategorikan ke dalam golongan "pewaris para Nabi (وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ)” sebagaimana pengakuan umat terhadap keutamaan mereka, yaitu : Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Mujaddid abad ke-I), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i (Mujaddid abad ke-II), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abul Hasan Asy'ari, Imam Isfarayini, Imam Rafi'i, Imam Abul-'Abbas bin Suraij (Mujaddid abad ke-III), Imam Sahl Ash-Sha'luki (mujaddid abad ke-IV), Imam Ghazali (mujaddid abad ke-V), Imam Fakhruddin Ar-Razi (mujaddid abad ke-VI), Imam Nawawi (mujaddid abad ke-VII), dan para ulama lain yang mengikuti jejak mereka ilaa yaumil Qiyamah. Mujaddid lainnya seperti Imam Suyuthiy, Imam Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalaniy, Imam Al-Baqilaniy dan lain sebagainya.

FATWA DAN PENDAPAT ULAMA BESAR NAN AGUNG SEPUTAR MAULID NABI

Berikut ini beberapa pendapat dan fatwa dari ulama kaum Muslimin yang kami kutip dari kitab-kitab ulama muktabar, namun masih banyak lagi yang belum sempat kami kutipkan ;

Pendapat Al-Imam Hasan Al-Bashriy Qaddasallahu Sirrah (wafat 116 H) yaitu generasi salafush shaleh dan ayah beliau adalah pelayan Sahabat Zaid bin Tsabit (penulis wahyu). Imam Hasan Al-Bashriy pernah berjumpa sekitar 100 sahabat Nabi. Menurut Qatadah, Imam Hasan paling tahu tengtang jala dan haram, pendapatnya seperti Sahabat Umar bin Khatththab radliyallahu ‘anh, menjadi rujukan dalam bertanya. Menurut Hisyam bin Hasan, Imam Hasan Al-Bashriy adalah paling pandai dimasanya dan menurut Abu Umar bin al-‘Ala’, orang yang sangat fashih. Beliau mengatakan tentang betapa istimewanya Maulid Nabi,


قال الحسن البصري، قدس الله سره: وددت لو كان لي مثل جبل أحد ذهبا لانفقته على قراءة مولد الرسول
“Seandainya aku memiliki emas seumpama gunung Uhud, niscaya aku akan menafkahkannya (semuanya) kepada orang yang membacakan Maulid ar-Rasul”. [1]


Pendapat Al-Imam Ma’aruf Al-Kharkhiy Qaddasallahu Sirrah (wafat 200 H), beliau juga termasuk generasi salafush shaleh yang alim, zuhud dan terkenal dikalangan fukaha’ sebagai orangyang fakih. Beliau mengungkap peringatan Maulid Nabi yang terjadi dimasa beliau, keistimewaan serta balasan bagi orang yang memperingati Maulid Nabi,


قال معروف الكرخي قدس الله سره: من هيأ لاجل قراءة مولد الرسول طعاما، وجمع إخوانا، وأوقد سراجا، ولبس جديدا، وتعطر وتجمل تعظيما لمولده حشره الله تعالى يوم القيامة مع الفرقة الاولى من النبيين، وكان في أعلى عليين
“Al-Imam Ma’aruf Al-Kurkhiy Qaddasallahu sirrah, barangsiapa menyajikan makanan untuk pembacaan Maulid ar-Rasul, mengumpulkan saudara-saudaranya, menghidupkan pelita dan memakai pakaian yang baru dan wangi-wangian dan menjadikannya untuk mengagungkan kelahirannya (Maulid Nabi), maka Allah akan membangkitkan pada hari qiyamat beserta golongan yang utama dari Nabi-Nabi , dan ditempatkan pada tempat (derajat) yang tinggi”. [2]


Pendapat Al-Imam Agung Nashirus Sunnah Asy-Syafi’i Rahimahullah (wafat 204 H). Beliau menuturkan bahwa peringatan Maulid Nabi dilakukan dengan berjamaah dan disediakan makanan sebagai rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, serta beliau juga menuturkan keutamaan orang yang memperingatinya,


قال الشافعى رحمه الله من جمع لمولد النبى صلى الله عليه وسلم اخوانا وتهياء لهم طعاما وعملا حسانا بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين
“Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم) karena kecintaan (ikhwanan) secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin”.[3]


Pendapat Al-‘Arif Billah Al-Imam As-Sirriy As-Saqathiy Qaddasallahu Sirrah (wafat 257 H). Termasuk generasi salafush shaleh yaitu generasi tabiut tabi’in, seorang yang sangat berpendirian teguh, wara, sangat alim dan ahli ilmu tauhid. Beliau mengungkapkan keutamaan memperingati Maulid Nabi karena kecintaan kepada Rasulullah dan kelak akan bersama dengan Rasulullah,


وقال السري السقطي: من قصد موضعا يقرأ فيه مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) فقد قصد روضة من رياض الجنة لانه ما قصد ذلك الموضع إلا لمحبة الرسول. وقد قال عليه السلام: من أحبني كان معي في الجنة
“Imam As-Sirry As-Saqathiy berkata, barangsiapa yang menyediakan tempat untuk dibacakan Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم), maka sungguh dia menghendaki “Raudhah (taman)” dari taman-taman surga, karena sesungguhnya tiada dia menghendaki tempat itu melainkan karena cintanya kepada Rasul. Dan Sungguh Rasul (صلى الله عليه وسلم) bersabda : “barangsiapa mencintaiku, maka dia akan bersamaku didalam surga”. [4]


Pendapat Al-Imam Junaid Al-Baghdadiy Rahimahullah (wafat 297 H), masih termasuk generasi shalafuh shaleh. Beliau menuturkan beruntungnya keimanan seseorang yang menghadiri Maulid Nabi,


قال الجنيدي البغدادي رحمه الله: من حضر مولد الرسول وعظم قدره فقد فاز بالايمان
“Imam Junaid al-Baghdadiy rahimahullah berkata, barangsiapa yang menghadiri Maulid ar-Rasul dan mengagungkannya (Rasulullah), maka dia beruntung dengan keimanannya” [5]


Pendapat Al-Imam Ibnu Jauziy Rahimahullah, beliau menuturkan tentang keutamaan Maulid Nabi sebagai berikut,


قال ابن الجوزي رحمه الله تعالى من خواصه أنه أمان في ذلك العام وبشرى عاجلة بنيل البغية والمرام
“Al-Imam Ibnu Jauziy Rahimahullah berkata, diantara keistimewaan Maulid Nabi adalah keadaan aman (pencegah mushibah) pada tahun itu, kabar gembira serta segala kebutuhan dan keinginan terpenuhi” [6]


Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermadzhab Syafi’i dan merupakan guru besar dariAl-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan,


قال الامام أبو شامة شيخ المصنف رحمه الله تعالى: ومن أحسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل في كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده (صلى الله عليه وسلم): من الصدقات والمعروف وإظهار الزينة والسرور، فإن ذلك مع ما فيه من الاحسان إلى الفقراء يشعر بمحبة النبي (صلى الله عليه وسلم) وتعظيمه وجلالته في قلب فاعل ذلك، وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسوله الذي أرسله رحمة للعالمين
“dan sebagus-bagusnya apa yang diada-adakan pada masa sekarang ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” [7]


Pendapat Al-Imam Al-Muhaddits Al-Hafidz Al-Musnid Al-Jami’ Abul Khair Syamsuddin Muhammad Ibnu Abdullah Al-Jazariy Asy-Syafi’i (wafat 660 H). Beliau adalah guru dari para Qurra’ (Ahli baca Al-Qur’an) dan Imam Qira’at pada zamannnya. Beliau memiliki karya Maulid yang masih berupa manuskrip (naskah tulisan tangan) yang berjudul “ ‘Arfut Ta’rif bi Al-Maulidi Asy-Syarif”. Beliau mengatakan bahwa orang yang memperingati Maulid Nabi sangat pantas untuk menampati surga yang penuh kenikmatan,


فإذا كان أبو لهب الكافر الذي نزل القرآن بذمه جوزي في النار بفرحه ليلة مولد النبي صلى اله عليه وسلم به فما حال المسلم الموحد من أمة النبي صلى الله عليه وسلم يسر بمولده ويبذل ما تصل إليه قدرته في محبته صلى الله عليه وسلم، لعمري إنما يكون جزاؤه من الله الكريم أن يدخله بفضله جنات النعيم
“maka jika Abu Lahab yang kafir yang diturunkan ayat al-Qur’an untuk mencelanya masih diberi ganjaran kebaikan didalam neraka karena bergembira pada malam Maulid Nabi, lantas bagaimana dengan seorang Muslim yang mentauhidkan Allah, yang merupakan umat dari Nabi (صلى اله عليه وسلم) yang senang dengan kelahiran Beliau dan menafkahkan apa yang dia mampu demi kecintaannya kepada Nabi (صلى اله عليه وسلم). Demi Allah, sesungguhnya yang pantas bagi mereka berupa balasan dari Allah yang Maha Pemurah adalah memasukkan mereka dengan keutamannya kedalam surga yang penuh kenikmatan”[8]


Pendapat Al-Imam Yafi'i Al-Yamaniy Rahimahullah (wafat 768 H) turut menuturkan keutamaan Maulid Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam,


وقال الامام اليافعي اليمنى: من جمع لمولد النبي (ص) إخوانا وهيأ طعاما وأخلى مكانا وعمل إحسانا وصار سببا لقراءة مولد الرسول بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم
“Dan berkata Imam Al-Yafi’iy Al-Yamani : “Barangsiapa yang mengumulkan saudara-saudaranya untuk (merayakan) Maulid Nabi, menyajikan makanan, beramal yang baik dan menjadikannya untuk pembacaan Maulid ar-Rasul, maka Allah akan membangkitkan pada hari Kiamat bersama para Shadiqin, Syuhada, Shalihin dan menempatkannya pada tempat yang tinggi” [9]


Pendapat Al-Hafidz Al-Imam Al-Muhaddits Syamsuddin bin Nashiruddin Ad-Damasyqiy (777 H - 842 H) yang telah mengarang kitab Maulid, diantaranya kitab Jami’ul Atsar fi Maulidin Nabiyyil Mukhtar (terdiri dari 3 jilid), Al-Lafdzur Roiq fi Maulidi Khayril Khalaiq (bentuknya ringkas), Mauridush Shadi fi Maulidil Had. Beliau mengatakan (dalam sebuah syair),


إذا كان هـذا كافرا جـاء ذمـه
وتبت يـداه في الجحـيم مخـلدا
أتى أنـه في يـوم الاثنين دائـما
يخفف عنه للسـرور بأحــمدا
فما الظن بالعبد الذي طول عمره
بأحمد مسرورا ومات موحـــدا
“Jika orang kafir yang telah datang (tertera) celaan baginya (yakni) “dan celakalah kedua tangannya didalam neraka Jahannam kekal didalamnya” ; “Telah tiba pada (setiap) hari senin untuk selamanya diringankan (siksa) darinya karena bergembira ke (kelahiran) Ahmad ; “lantas bagaimanakah dugaan kita terhadap seorang hamba yang sepanjang usia, karena (kelahiran) Ahmad, lantas ia selalu bergembira dan tauhid menyertai kematiannya ???”[10]


Fatwa Al-Imam Asy-Syeikhul Islam Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Ahmad Ibnu Hajar Al-Asqalaniy (773 H - 852H), yang telah mensyarah kitab monumental Imam Bukhari (Shahih Bukhari), dan beliau beri nama dengan kitabnya tersebut dengan nama Fathul Bari ‘alaa Shahih Bukhari. Beliau memfatwakan bahwa amal Maulid termasuk ke dalam bid’ah Hasanah (perkara baru yang bagus) dan beliau juga mendapati dasar syara’ yang sangat terang mengenai peringatan Maulid Nabi,


أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة، وإلا فلا
“Asal amal Maulid adalah bid’ah, tidak pernah ada perkataan (perbincangan) dari salafush shaleh dari kurun ke tiga, dan akan tetapi bersamanya mencakup (mengandung) kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka barangsiapa yang mengambil kebaikan-kebaikannya pada amal Maulid dan menjauhi keburukannya maka itulah bid’ah Hasanah (بدعة حسنة), dan jika tidak (menjauhi keburukannya) maka tidak (bukan bid’ah Hasanah)” [11]


Lebih lanjut lagi, beliau memfatwakan dasar yang sangat jelas tentang peringatan Maulid Nabi,


وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت، وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم؟ فقالوا: هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى، فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما مَنَّ به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع نقمة، ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة، والشكر لله يحصل بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة، وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم
“dan sungguh telah jelas bagiku bahwa apa yang dikeluarkan (diriwayatkan) atas asal penetapan (hokum Maulid), sebagaimana yang ditetapkan didalam Ash-Shahihayn bahwa sesungguhnya Nabi datang ke Madinah, maka (beliau) menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’, Rasulullah bertanya kepada mereka (tentang puasa tersebut)? Maka mereka menjawab : “Padanya adalah hari dimana Allah telah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan (Nabi) Musa, maka kami berpuasa untuk bersyukur kepada Allah Yang Maha Tinggi (atas semua itu)”. Maka faidah yang bisa diambil dari hal tersebut adalah bahwa (kebolehan) bersyukur kepada Allah atas sesuatu (yang terjadi) baik karena menerima sebuah kenikmatan yang besar atau penyelamatan (terhindar) dari bahaya, dan bisa diulang-ulang perkara (syukuran) tersebut pada hari (yang sama) setiap tahun. Adapun syukur kepada Allah dapat dilakukan dengan bermacam-macam Ibadah seperti sujud (sujud syukur), puasa, shadaqah dan tilawah (membaca al-Qur’an). dan sungguh adakah nikmat yang paling agung (besar) dari berbagai nikmat (yang ada) selain kelahiran Nabi (Muhammad) Nabi yang penyayang pada hari (peringatan Maulid) itu ?” [12]


Pendapat A-Imam Al-Hafidz Muhammad bin Abdurrahman Al-Qahiriy, dikenal dengan nama Al-Imam As-Sakhawiy (831 H – 902 H), beliau juga dikenal sebagai Ahli sejarah di Madinah, penulis kitab Adh-Dhaw’ul Lami’. Beliau juga telah menyusun sebuah karya Maulid yang diberi judul “Al-Fakhrul ‘Ulwi fil Mawlidin Nabawiy”


لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ
“Tidak pernah dikatakan (perbincangkan) dari salah seorang ulama Salafush Shaleh pada kurun ke tiga yang mulya dan sungguh itu baru ada setelahnya. Kemudian umat Islam diseluruh penjuru daerah dan kota-kota besar senantiasa memperingati Maulid Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ) dibulan kelahiran Beliu. Mereka mengadakan jamuan yang luar biasa dan diisi dengan perkara-perkara yang menggembirakan serta mulya, dan bershaqadah pada malam harinya dengan berbagai macam shadaqah, menampakkan kegembiraan, bertambahnya kebaikan bahkan diramaikan dengan pembacaan (buku-buku) Maulid Nabi yang mulya, dan menjadi teranglah (jelaslah) keberkahan dan keutamaan (Maulid Nabi) secara merata dan semua itu telah teruji.[13]


Selanjutnya,


ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ
“Kemudian (beliau) berkata : “aku katakan : adanya (tanggal) kelahiran Nabi Asy-Syarif yang paling shahih adalah pada malam Senin, 12 Rabi’ul Awwal. Dikatakan (qoul yang lain) : pada malam tanggal 2, dikatakan juga pada tanggal 8, 10 dan lain sebagainya. Maka dari itu, tidak mengapa mengerjakan kebaikan pada setiap hari-hari ini dan malam-malamnya dengan persiapan (kemampuan) yang ada bahkan bagus dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan (Rabi’ul Awwal)”[14]


Fatwa Al-Imam Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthiy (849 H - 911 H), didalam kitabnya beliau menuturkan bahwa sangat jelas dasar syara’ mengenai peringatan Maulid Nabi,


وقد ظهر لي تخريجه على أصل آخر، وهو ما أخرجه البيهقي عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعد النبوة، مع أنه قد ورد أن جده عبد المطلب عق عنه في سابع ولادته،
والعقيقة لا تعاد مرة ثانية فيحمل ذلك على أن الذي فعله النبي صلى الله عليه وسلم إظهار للشكر على إيجاد الله إياه رحمة للعالمين، وتشريع لأمته كما كان يصلي على نفسه، لذلك فيستحب لنا أيضا إظهار الشكر بمولده بالاجتماع وإطعام الطعام ونحو ذلك من وجوه القربات وإظهار المسرات
“dan sungguh sangat jelas bagiku yang dikeluarkan (diriwayatkan) atas asal yang lain (dari pendapat Imam Ibnu Hajar) yaitu apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Baihaqiy dari Anas bahwa sesungguhnya Nabi (صلى الله عليه وسلم) mengaqiqahkan dirinya sendiri sesudah (masa) kenabian, (padahal) sesungguhnya telah dijelaskan (riwayat) bahwa kakek beliau Abdul Mutthalib telah mengaqiqahkan (untuk Nabi) pada hari ke tujuh kelahirannya. adapun aqiqah tidak ada perulangan dua kali, maka dari itu sungguh apa yang dilakukan oleh Nabi (صلى الله عليه وسلم) menerangkan tentang (rasa) syukur beliau karena Allah telah mewujudkan (menjadikan) beliau sebagai rahmat bagi semesta alam, dan sebagai landasan bagi umatnya. Oleh karena itu, maka juga boleh (mustahab/patut) bagi kita untuk menanamkan (menerangkan) rasa syukur kita dengan kelahirannya (Rasulullah) dengan mengumpulkan (kaum Muslimin), menyajikan makanan dan semacamnya dari (sebagai) perwujudan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) dan menunjukkan kegembiraan (karena kelahiran beliau)”. [15]


Fatwa beliau lainnya menyatakan bahwa orang yang memperingati Maulid Nabi akan mendapatkan pahala dan peringatan Maulid Nabi termasuk kedalam bid’ah hasanah. Beliau ditanya tentang Maulid Nabi,


فقد وقع السؤال عن عمل المولد النبوي في شهر ربيع الأول، ما حكمه من حيث الشرع؟ وهل هو محمود أو مذموم؟ وهل يثاب فاعله أو لا؟ الجـــــواب عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من الآيات ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف وأول من أحدث فعل ذلك صاحب اربل الملك المظفر أبو سعيد كوكبرى بن زين الدين علي بن بكتكين أحد الملوك الأمجاد والكبراء الأجواد، وكان له آثار حسنة، وهو الذي عمر الجامع المظفري بسفح قاسيون
“Sungguh telah ada pertanyaaan tentang peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul awwal, tentang bagaimana hukumnya menurut syara’ dan apakah termasuk kebaikan atau keburukan serta apakah orang yang memperingatinya mendapatkan pahala ?” Jawabannya, menurutku pada dasarnya amal Maulid itu adalah berkumpulnya manusai, membaca apa yang dirasa mudah dari Al-Qur’an, riwayat hadits-hadits tentang permualaan perintah Nabi serta tanda-tanda yang datang mengiringi kelahiran Nabi kemudian disajikan beberapa hidangan bagi mereka selanjutnya mereka bubar setelah itu tanpa ada tambahan-tambahan lain, itu termasuk kedalam Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) yang diberi pahala bagi orang yang merayakannya. Karena perkara didalamnya adalah bagian dari pengagungan terhadap kedudukan Nabi dan merupakan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran yang Mulya (Nabi Muhammad, dan yang pertama mengadakan hal semacam itu (perayaan besar) adalah penguasa Irbil, Raja al-Mudhaffar Abu Sa’id Kaukabri bin Zainuddin Ali Ibnu Buktukin, salah seorang raja yang mulya, agung dan demawan. Beliau memiliki peninggal yang hasanah/baik (آثار حسنة), dan beliau lah yang membangun al-Jami’ al-Mudhaffariy dilembah Qasiyun”. [16]


Al-Imam As-Suyuthiy juga memfatwakan ketika ada syubhat yang menyatakan bahwa memperingati wafatnya Nabi itu lebih pantas daripada memperingati Maulid Nabi, dalam hal ini beliau membantahnya sebagai berikut,


إن ولادته صلى الله عليه وسلم أعظم النعم علينا، ووفاته أعظم المصائب لنا، والشريعة حثت على إظهار شكر النعم، والصبر والسلوان والكتم عند المصائب، وقد أمر الشرع بالعقيقة عند الولادة، وهي إظهار شكر وفرح بالمولود، ولم يأمر عند الموت بذبح ولا غيره، بل نهى عن النياحة وإظهار الجزع، فدلت قواعد الشريعة على أنه يحسن في هذا الشهر إظهار الفرح بولادته صلى الله عليه وسلم دون إظهار الحزن فيه بوفاته
“Sesungguhnya kelahiran Nabi (صلى الله عليه وسلم) adalah paling agungnya kenikmatan bagi kita semua, dan wafatnya Beliau (صلى الله عليه وسلم) adalah musibah yang paling besar bagi kita semua. Adapun syariat menganjurkan (menampakkan) untuk mengungkapkan rasa syukur dan kenikmatan. Dan bersabar serta tenang ketika tertimpa mushibah. Dan sungguh syari’at memerintahkan untuk (menyembelih) beraqiqah ketika (seorang anak) lahir, dan supaya menampakkan rasa syukur dan bergembira dengan kelahirannya, dan tidak memerintahkan untuk menyembelih sesuatu atau melakukan hal yang lain ketika kematiannya, bahkan syariat melarang meratap (an-niyahah) dan menampakkan keluh kesah (kesedihan). Maka (dari sini) jelas bahwa kaidah-kaidah syariat menunjukkan yang baik baik (yang paling layak) pada bulan ini (bulan Maulid) adalah menampakkan rasa gembira atas kelahirannya (Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم) dan bukan (malah) menampakkan kesedihan (mengungkapkan) kesedihan atas wafatnya Beliau" [17]


Bantahan beliau, sebagaimana juga pernyataan Al-Imam Ibnu Rajab,


وقد قال ابن رجب في كتاب اللطائف في ذم الرافضة حيث اتخذوا يوم عاشوراء مأتما لأجل قتل الحسين: لم يأمر الله ولا رسوله باتخاذ أيام مصائب الأنبياء وموتهم مأتما فكيف ممن هو دونهم
“dan sungguh telah berkata Ibnu Rajab di dalam kitab “al-Lathif” (اللطائف) tentang celaan terhadap ‘Ar-Rafidlah’ bahwa mereka telah menjadikan hari Asyura sebagai hari berkabung (bersedih) karena bertepatan dengan hari (pembunuhan) wafatnya sayyidina Husain : Sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari-hari mushibah dan kematian para Nabi sebagai hari bersedih, maka bagaimana dengan orang derajatnya berada dibawah mereka ?” [18]


Lebih jauh lagi, Al-Imam As-Suyuthiy menjelaskan keutamaan tempat dan orang yang memperingati Maulid Nabi,


قال سلطان العارفين جلال الدين السيوطي في كتابه الوسائل في شرح الشمائل: ما من بيت أو مسجد أو محلة قرئ فيه مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) هلا حفت الملائكة بأهل ذلك المكان وعمهم الله بالرحمة والمطوقون بالنور - يعني جبريل وميكائل وإسرافيل وقربائيل وعينائيل والصافون والحافون والكروبيون - فإنهم يصلون على ما كان سببا لقراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم
“Berkata Shulthan Al-‘Arifin Jalaluddin As-Suyuthiy didalam kitabnya “al-Wasail fiy Syarhi Asy-Syamil” : "tiada sebuah rumah atau masjid atau tempat pun yang dibacakan didalamnya Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم) melainkan dipenuhi Malaikat yang meramaikan penghuni tempat itu (menyelubunyi tempat itu) dan Allah merantai Malaikat itu dengan rahmat dan Malaikat bercahaya (menerangi) itu antara lain Malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Qarbail, 'Aynail, ash-Shaafun, al-Haafun dan al-Karubiyyun. Maka sesungguhnya mereka (malaikat) itulah yang mendo’akannya karena membaca Maulid Nabi" [19]


Lanjut lagi,


قال: وما من مسلم قرئ في بيته مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) إلا رفع الله تعالى القحط والوباء والحرق. والآفات والبليات والنكبات والبغض والحسد وعين السوء واللصوص عن أهل ذلك البيت، فإذا مات هون الله تعالى عليه جواب منكر ونكير، وكان في مقعد صدق عند مليك مقتدر
“tiada seorang Muslim pun yang didalam rumahnya dilakukan pembacaan Maulid Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kecuali Allah akan mengangkat wabah kemarau, kebakaran, karam, kebinasaan, kecelakaan, kebencian, hasad dan pendengaran yang jahat, (terhindar) dari pencuri ahli-ahli rumah tersebut. Maka jika apabila mati, Allah akan memudahkan baginya dalam menjawab (pertanyaan) Malaikat Munkar dan Nakir. Dan mereka akan ditempatkan didalam tempat yang benar pada sisi-sisi raja yang berkuasa” [20]


Pendapat Al-Imam Ibnu Al-Hajj Al-Maliki Rahimahullah (ulama madzhab Malikiyyah),


قال ابن الحاج رحمه الله تعالى فكان يجب أن نزداد يوم الاثنين الثاني عشر من ربيع الأول من العبادات والخير شكرا للمولى على ما أولانا من هذه النعم العظيمة وأعظمها ميلاد المصطفى صلى الله عليه وسلم
“Menjadi sebuah kewajiban bagi kita untuk memperbanyak kesyukuran kepada Allah setiap hari Senin bulan Rabi’ul Awwal karena Dia (Allah) telah mengaruniakan kepada kita nikmat yang sangat besar dengan lahirnya Al-Musthafa Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam” [21]

وقال أيضا: ومن تعظيمه صلى الله عليه وآله وسلم الفرح بليلة ولادته وقراءة المولد
“berkata lagi, dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah gembira pada malam kelahirannya dan melakukan pembacaan Maulid Nabi” [22]


Pendapat seorang Imam yang besar, tokoh yang sangat terkenal, penjaga Islam, tumpuan banyak orang, tempat rujukan para Ahli hadits yang sangat terkenal, Al-Hafidz Abdurrahim bin Al-Husain bin Abdurrahman Al-Mishriy yang terkenal dengan Al-Hafidz Al-Iraqiy (wafat 808 H). Beliau memiliki kitab Maulid yang dinamakan dengan “Al-Mawridul Haniy fiy Mawlidis Saniy”,


إن اتخاذ الوليمة وإطعام الطعام مستحب في كل وقت، فكيف إذا انضم إلى ذلك الفرح والسرور بظهور نور النبي صلى الله عليه وسلم في هذا الشهر الشريف، ولا يلزم من كونه بدعة كونه مكروها، فكم من بدعة مستحبة بل قد تكون واجب
“Sungguh melakukan perayaan (walimah) dan memberikan makan disunnahkan pada setiap waktu, apalagi jika padanya disertai dengan kesenangan dan kegembiraan dengan kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada bulan yang mulya ini, dan tidaklah setiap bid’ah itu makruh (dibenci), betapa banyak bid’ah yang disunnahkan bahkan diwajibkan” [23]


Pendapat Al-Imam Ibnu ‘Abidin didaam kitab syarahnya atas kitab Maulid Imam Ibnu Hajar,


قال ابن عابدين في شرحه على مولد ابن حجر اعلم أن من البدع المحمودة عمل المولد الشريف من الشهر الذي ولد فيه صلى الله عليه وسلم، وقال أيضاً: فالاجتماع استماع قصة صاحب المعجزات عليه أفضل الصلوات وأكمل التحيات من أعظم القربات لما يشتمل عليه من المعجزات وكثرة الصلوات
“Ketahuilah olehmu bahwa sebagian dari perkara baru yang terpuji (bid’ah mahmudah) adalah amal Maulid Nabi Asy-Syarif pada bulan yang mana Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam di lahirkan didalamnya”,,,[24]


Pendapat Asy-Syekh Husnain Muhammad Makhluf (Syeikhul Azhar) Rahimahullah,


وقال الشيخ حسنين محمد مخلوف شيخ الأزهر رحمه الله تعالى إن من إحياء ليلة المولد الشريف، وليالي هذا الشهر الكريم الذي أشرق فيه النور المحمدي إنما يكون بذكر الله وشكره لما أنعم به على هذه الأمة من ظهور خير الخلق إلى عالم الوجود، ولا يكون ذلك إلا في أدب وخشوع وبعد عن المحرمات والبدع والمنكرات، ومن مظاهر الشكر على حبه مواساة المحتاجين بما يخفف ضائقتهم وصلة الأرحام، والإحياء بهذه الطريقة وإن لم يكن مأثور في عهده صلى الله عليه وسلم ولا في عهد السلف الصالح إلا أنه لا بأس به وسنة حسنة
“Sunggung barangsiapa menghidupkan malam Maulid Nabi Asy-Syarif dan malam-malam-malam bulan yang mulya ini yang menerangi didalamnya dengan cahaya Muhammadiy yaitu dengan berdzikir kepada Allah, bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan kepada umat ini termasuk dilahirkannya makhluk terbaik (Nabi Muhammad) ke ala mini, dan tidak ada yang demikian itu kecuali dengan sebuah akhlak dan kekhusuan serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, amalan bid’ah serta kemungkaran-kemungkaran. Dan termasuk menampakkan kesyukuran sebagai bentuk kecintaan yaitu menyantuni orang-orang tidak mampu, menjalin shilaturahim dan menghidupkan dengan cara ini walaupun tidak ada pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan tidak pula ada dimasa salafush shaleh adalah tidak apa-apa serta termasuk sunnah hasanah” [25]


Pendapat Asy-Syekh Muhammad Mutawalla Asy-Sya’rawiy Rahimahullah,


قال الشيخ محمد متولي الشعراوي رحمه الله تعالى وإكراماً لهذه المولد الكريم، فإنه يحق لنا أن نظهر معالم الفرح و الابتهاج بهذه الذكرى الحبيبة لقلوبنا كل عام، وذلك بالاحتفال بها من وقتها
“Melakukan penghormatan untuk Maulid yang mulya ini, maka sesungguhnya itu hak bagi kita untuk menampakkan kegembiraan dan ..[26]


Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah,


قد قال ابن حجر الهيثمي رحمه الله تعالى والحاصل أن البدعة الحسنة متفق على ندبها، وعمل المولد واجتماع الناس له كذلك، أي بدعة حسنة
“walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selarasa dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah” [27]


Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah,


فرحم الله امرءا اتخذ ليالي شهر مولده المبارك أعيادا، ليكون أشد علة على من في قلبه مرض وإعياء داء
“maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…”[28]

الإمام القسطلاني ت 922 هـ من جواز الاحتفال بالمولد النبوي بما هو مشروع لا منكر فيه، واستشف هذا الجواز من حديث البخاري في باب الجنائز من كون أبى بكر الصديق تمنى الموت في هذا اليوم لكونه اليوم الذي ولد فيه الرسول صلى الله عليه وسلم و فيه توفي
“sebagain dari kebolehan merayakan Maulid Nabi Nabawi dengan perkara yang masyru’ (disyariatkan) bukan dengan kemungkaran, [29]


Pendapat Al-Imam Al-Alusiy dalam kitab tafsirnya,


ما استنبطه الألوسى من تفسير قول الله تعالى "قل بفضل الله و رحمته فبذلك فليفرحوا" الآية 58 يونس. فالرسول صلى الله عليه وسلم رحمة كما قال عز و جل "وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين" الآية 107 الأنبياء. و كما جاء في الحديث: "إنما أنا رحمة مهداة" رواه الحاكم في مستدركه عن أبى هريرة. فوجب من هنا الاحتفال و الفرح بهذه الرحمة
“Firman Allah, “Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira” (Yunus : 58), dan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah rahmat sebagaimana yang di firmankan Allah ‘azza wa jallah, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”, sebagaiman juga didalam hadits, “sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan Allah” (riwayat Imam Hakim dalam ktab Mustadraknya dari Abu Hurairah), maka wajib bagi sebagian dari kita untuk merayakannya dan bergembira dengan rahmat ini” [30]


Pendapat Al-‘Allamah Asy-Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mantan Mufti Madzhab Syafi’iyyah di Mekkah,


العادة أن الناس إذا سمعوا ذكرى وضعه صلى الله عليه وسلم يقومون تعظيما له صلى الله عليه وسلم و هذا قيام مستحب لما فيه من تعظيم النبي صلى الله عليه وسلم، و قد فعل ذلك كثير من علماء الأمة الذين نقتدي بهم
“Kebiasaan manusia ketika disebut tentang Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam berdiri untuk menghormati beliau dan berdiri ini disunnahkan untuk menghormati Nabi, dan sungguh telah banyak ulama kaum Muslimin yang melakukan seperti yang demikian”’ [31]


Pendapat Al-'Allamah As-Syekh As-Sayyid Muhammad Ibnu Alwi Al-Maliki Al-Hasaniy Rahimahullah,


إننا نرى أن الاحتفال بالمولد النبوي الشريف ليست له كيفية مخصوصة لابد من الالتزام أو إلزام الناس بها ، بل إن كل ما يدعو إلى الخير ويجمع الناس على الهدى و يرشدهم إلى ما فيه منفعتهم في دينهم ودنياهم يحصل به تحقيق المقصود من المولد النبوي ولذلك فلو اجتمعنا على شئ من المدائح التي فيها ذكر الحبيب صلّىالله عليه وسلّم وفضله وجهاده وخصائصه ولم نقرأ القصة التي تعارف الناس على قراءتها واصطلحوا عليها حتى ظن البعض أن المولد النبوي لا يتم إلا بها ، ثم استمعنا إلى ما يلقيه المتحدثون من مواعظ وإرشادات وإلى ما يتلوه القارئ من آيات
“Kami memandang sesungguhnya memperingati Maulid Nabi yang mulya itu tidak mempunyai bentuk-bentuk yang khusus yang mana semua orang harus dan diharuskan untuk melaksanakannya. Akan tetapi segala sesuatu yang dilakukan, yang dapat menyeru dan mengajak manusia kepada kebaikan dan mengumpulkan manusia atas petunjuk (agama) serta menunjuki mereka kepada hal-hal yang membawa manfaat bagi mereka, untuk dunia dan akhirat maka hal itu dapat digunakan untuk memperingati Maulid Nabi, Oleh karena itu andaikata kita berkumpul dalam suatu majelis yang disitu dibacakan puji-pujian yang menyanjung Al-Habib (Sang Kekasih yakni Nabi Muhammad), keutamaan beliau, jihad (perjuangan) beliau, dan kekhususan-kekhususan yang berada pada beliau ; lalu kita tidak membaca kisah Maulid Nabi – yang telah dikenal oleh berbagai kalangan masyarakat dan mereka menyebutnya dengan istilah “Maulid” (seperti Maulid Diba’, Barzanji, Syaraful Anam, Al-Habsyi, dan lain sebagainya), yang nama sebagian orang menyangka bahwa peringatan Maulid Nabi itu tidak lengkap tanpa pembacaan kisah-kisah Maulid tersebut- kemudian kita mendengarkan mau’idzah-mau’idzoh (peringatan-peringatan), pengarahan-pengarahan, nasehat-nasehat yang disampaikan oleh para ulama dan ayat-ayat al-Qur’an yang dibacakan oleh seorang Qari" [32]

Lebih lanjut,

أقول : لو فعلنا ذلك فإن ذلك داخل تحت المولد النبوي الشريف ويتحقق به معنى الاحتفال بالمولد النبوي الشريف ، وأظن أن هذا المعنى لا يختلف عليه اثنان ولا ينتطح فيه عنـزان
"andaikan kita melakukan itu semua maka itu sama halnya dengan kita membaca kisah Maulid Nabi yang Mulya tersebut dan itu termasuk dalam makna memperingati Maulid Nabi yang Mulya. Dan saya yakin bahwa peringatan yang saya maksudkan ini tidak menimbulkan perbedaan serta adu domba antara dua kelompok"[33]


Pendapat Al-'Allamah Asy-Syaikh Ali Jumu'ah (Mufti Mesir), [34]


Sesungguhnya maulid (kelahiran) Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang mulia merupakan limpahan rahmat Ilahi yang dihamparkan bagi sejarah manusia seluruhnya. Dan Al Qur’an Al-Karim mengungkapkan keberadaan Nabi صلّى الله عليه و سلّم sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Rahmat ini tidak terbatas, ia meresap masuk ke dalam pendidikan, pengajaran, dan pensucian jiwa manusia. Rahmat tersebut jugalah yang menunjukan manusia ke jalan kemajuan yang lurus dal lingkup kehidupan mereka, baik secara materi maupun maknawi.

Rahmat tersebut juga tidak terbatas untuk orang-orang di jaman itu saja, tetapi membentang luas sepanjang sejarah manusia seluruhnya. Allah سبحانه وتعالىberfirman,

Al-Jumu'ah (62) No. Ayat : 3

وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Merayakan peringatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم merupakan salah satu amal yang paling utama dan sebuah cara pendekatan diri kepada Tuhan. Kerena keseluruhan peringatan tersebut merupakan ungkapan kebahagiaan dan kecintaan kepada beliau صلّى الله عليه و سلّم . Dan cinta kepada Nabi صلّى الله عليه و سلّم merupakan salah satu prinsip dasar dari prinsip-prinsip iman. Sebuah hadits shahih dari Nabi صلّى الله عليه و سلّم bahwa beliau bersabda:

والذي نفسي بيده لا يؤمن أحدكم حتّى يحبّ إليه من والده وولده

”Demi dzat yang diriku berada di dalam genggaman-Nya, tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orang tua dan anaknya” 1

Di dalam hadits lain, beliau bersabda:

لا يؤمن أحدكم حتّى أكون أحبّ إليه من والده وولده والناس أجمعين

“Tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orang tua, anaknya dan manusia seluruhnya” 2

Ibnu Rajab berkata, “Cinta kepada Nabi صلّى الله عليه و سلّم termasuk prinsip-prinsip dasar Iman. Cinta ini seiring dengan cinta kepada Allah سبحانه وتعالى yang menyandingkan keduanya dan mengancam siapa saja yang lebih mengutamakan kecintaan kepada perkara-perkara lain yang sudah menjadi tabiat manusia seperti kerabat, harta benda, dan tanah air atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya. Allah سبحانه وتعالىberfirman,

At-Taubah (9) No. Ayat : : 24

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Ketika Umar رضي الله عنه berkata kepada Nabi صلّى الله عليه و سلّم ,”Engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri.” Beliau صلّى الله عليه و سلّم berkata, ”Tidak Umar, sampai aku lebih kamu cintai daripada dirimu sendiri.” Umar رضي الله عنه berkata, ”Demi Allah, Engkau sekarang lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Beliau صلّى الله عليه و سلّم berkata, ”Sekarang, wahai Umar.” 3

Merayakan peringatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم pada dasarnya adalah sambutan penghormatan terhadap beliau. Sambutan dan penghirmatan terhadap beliau صلّى الله عليه و سلّم merupakan perkara yang diisyaratkan secara pasti (Qath’i), karena termasuk prinsip utama dari segala prinsip dasar.

Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى mengetahui keistimewaan Nabi-Nya dan Allah سبحانه وتعالى memperkenalkan namanya, kebangkitan, kedudukan, dan martabatnya sebagai rahmat kepada alam semesta seluruhnya. Maka alam semesta dan segala isinya ini senantiasa bergembira dan bersuka cita terhadap beliau صلّى الله عليه و سلّم yang merupakan cahaya Allah, anugerah-Nya, nikmat dan hujjah-Nya pada semesta.

Telah menjadi kebiasaan dan tradisi di kalangan salafus saleh sejak abad ke-4 dan ke-5 merayakan peringatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang agung. Mereka menghidupkan malam maulid dengan berbagai macam ketaatan dan ibadah kepada Allah seperti memberi makan fakir miskin, membaca Al Qur’an, membaca dzikir-dzikir, melantunkan puisi-puisi dan pujian-pujian tentang Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم Hal ini ditegaskan oleh sebilangan ulama seumpama Al-Hafizh Ibnu Jauzi, Al-Hafizh Ibnu Kautsir, Al-Hafizh Ibnu Dihyah Al-Andalusi, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan Sang Penutup Huffadz (para penghapal hadits dalam jumlah yang sangat banyak) Jalaluddin Al-Suyuthi, semoga Allah سبحانه وتعالى melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka.

Banyak ulama dan fuqaha yang telah menulis buku-buku tentang anjuran merayakan peringatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang mulia. Mereka menjelaskan dalil-dalil yang shahih tentang sunnahnya kegiatan ini. Semua itu tidak menyisakan ruang bagi orang yang memiliki akal, pemahaman, dan pikiran yang sempurna untuk mengingkari apa yang ditempuh dan dilakukan oleh kalangan salafus saleh berupa perayaan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم

Dalam kitab Al-Madkhal, Ibnu Hajj menjelaskan dengan panjang lebar tentang keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengan perayaan ini dan beliau mengemukakan uraian penuh manfaat yang membuat lapang hati orang-orang yang beriman.

Perlu diketahui bahwa Ibnu Hajj sendiri menulis kitab dengan tema mencela perkara-perkara bid’ah yang diada-adakan yang tidak tersentuh oleh dalil syariat.

Sang penutup para Hafizh, Jalaluddin As-Syuyuthi, di dalam bukunya ”Husnul Maqshid fi Amalil Maulid” memberikan penjelasan tentang maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم dalam rangka menjawab pertanyaan yang diajukan kepada tentang kegiatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم pada bulan Rabi’ul awwal: Apa hukumnya dalam pandangan syariah? Apakah kegiatan itu terpuji atau tercela? Dan apakah pelakunya mendapatkan pahala? Beliau berkata, ”Jawabannya, menurutku, bahwa hukum dasar kegiatan maulid (yang berupa berkumpulnya orang-orang yang banyak; membaca Al Qur’an; menyapaikan khabar-khabar yang diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi صلّى الله عليه و سلّم dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran beliau; kemudian dihidangkan makanan untuk mereka dan mereka pun makan bersama; lalu mereka beranjak pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain) adalah termasuk bid’aah hasanah (bid’ah yang baik) dan diberikan pahala bagi orang yang melakukannya. Karena dalam kegiatan itu terkandung makna mengagungkan peran dan kedudukan Nabi صلّى الله عليه و سلّم serta menunjukan suka cita dan kegembiraan terhadap kelahiran beliau.”

Imam Syuyuthi membantah orang yang berkata, ”Aku tidak mengetahui dasar hukum perayaan maulid ini dalam Al Qur’an maupun dalam Sunnah,” dengan mengatakan, ”Ketidaktahuan terhadap sesuatu tidak lalu berarti tidak adanya sesuatu itu”. Beliau juga menjelaskan bahwa para Imam Hafizh, Abu Fadhl Ibnu Hajar رحمه الله تعالى عنه telah menjelaskan dasar hukumya dari Sunnah. Imam Syuyuthi sendiri juga mengemukakan dasar hukumnya yang kedua dan menjelaskan bahwa bid’ah tercela adalah perkara baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dalil syari’at. Adapun jika ada hubungannya yang kuat dengan dalil syari’at yang memujinya, maka perkara itu tidak tercela.

Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i رضي الله عنه bahwa beliau berkata, ”Perkara-perkara baru itu ada dua macam, yaitu pertama, perkara baru yang diada-adakan yang bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah, atsar, atau ijma’. Maka ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara-perkara baru yang tidak tercela. Umar bin Khaththab Ra berkata tentang pelaksanaan shalat tarawih pada bulan Ramadlan,

نعم البدعة هذه

”Alangkah baiknya bid’ah ini”

Yakni ini adalah perkara baru yang belum dilaksanakan sebelumnya. Namun apabila dilakukan maka kita juga tidak akan menemukannya bertentangan dengan perkara yang dahulu (terjadi di jaman Nabi صلّى الله عليه و سلّم)”. Demikianlah akhir kutipan dari Imam Syafi’i.

Imam Syuyuthi berkata, ”Kegiatan merayakan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah, atsar, maupun ijma’. Maka ini bukan perbuatan tercela sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i. Justru kegiatan itu merupakan perbuatan baik yang belum dikenal pada masa awal-awal Islam. Kegiatan memberi makan yang terlepas dari perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Dengan demikian, kegiatan maulid termasuk perkara baru yang dianjurkan sebagaimana diungkapkan oleh Sultannya para ulama, Izzuddin bin Abdissalam.”

Dan hukum dasar berkumpul untuk menyemarakkan syiar maulid adalah sunnah dan qurbah (ibadah, mendekatkan diri kepada Allah سبحانه وتعالى). Sebab kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم merupakan nikamt terbesar untuk kita, dan syariat memerintahkan kita untuk mengungkapkan syukur atas nikmat yang kita peroleh.

Inilah yang dinyatakan kuat (rajih) oleh Ibnu Hajj di dalam kitab Al-Madkhal. Beliau berkata, ”karena pada bulan ini Allah سبحانه وتعالى menganugerahkan kepada manusia di bumi tokoh junjungan untuk orang-orang terdahulu dan sekarang, maka wajib ditingkankan pada hari itu ibadah-ibadah, kebaikan dan syukur kepada Allah سبحانه وتعالى atas nikmat besar yang dilimpahkan-Nya kepada kita.”

Dasar hukum yang dikeluarkan oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar tentang kegiatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم adalah hadits yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi صلّى الله عليه و سلّم tiba ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari Asyu Ra, maka beliau menanyakan hal itu kepada mereka. Mereka pun menjawab, :”Ini adalah hari yang Fir’aun ditenggelamkan dan Musa diselamatkan oleh Allah. Maka kami berpuasa padanya sebagai ungkapan syukur kepada Allah سبحانه وتعالى .”

Ibnu Hajar berkata, ”Jadi, diambil faidah yang terkandung di dalam hadits ini yaitu melaksanakan syukur kepada Allah سبحانه وتعالى atas anugerah yang Dia berikan pada hari tertentu, pemberian nikmat atau pencegahan dari bencana. Dan. Kegiatan itu diulang pada hari yang sama setiap tahun. Kegiatan syukur itu tercapai dengan berbagai bentuk ibadah seperti sujud (shalat), puasa, sedekah, dan membaca Al Qir’an. Dan, nikmat manakah yang lebh besar daripada nikmat munculnya Nabi صلّى الله عليه و سلّم ini, Nabi rahmat, pada hari itu?”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bentuk-bentuk kegiatan di dalam perayaan tersebut dan berkata, ”Maka semestinya kita batasi bentuk-bentuk kegiatan itu pada hal-hal yang dipahami sebagai ungkapan syukur kepada Allah سبحانه وتعالى seperti yang telah disebutkan: membaca Al Qur’an, memberi makan, melantunkan puisi-puisi pujian bagi Nabi صلّى الله عليه و سلّم dan puisi-puisi zuhud yang menggerakkan hati untuk melakukan kebajikan dan amal akhirat. Perkara-perkara mubah yang mengandung nilai suka cita dan kegembiraan terhadap hari kelahiran itu tidak mengapa untuk disertakan dengannya.”

Imam Syuthi mengutip penjelasan Imam tokoh-tokoh qira’at, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Jauzi dari kitabnya ”Urf Al-Ta’rif bi Al-Maulid Al-Syarif”, ”Jelas disebutkan dalam hadis shahih bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan dari siksa neraka pada setiap malam senin karena memerdekakan Tsuwaibah setelah mendengarkan berita gembira kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang disampaikannya. Jika Abu Lahab yang kafir dan dicela dengan nyata di dalam Al Qur’an mendapatkan keringanan di dalam neraka karena suka cita dan kegembiraannya pada malam kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم maka bagaimana lagi dengan seorang muslim dan bertauhid dari umat Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang bergembira dengan kelahiran beliau dan berusaha sekuat tenaga yang ia mampu untuk mencintainya? Oh, sungguh balasannya dari Allah سبحانه وتعالى adalah Dia memasukannya kedalam surga yang penuh dengan karunia-Nya.”

Al-Hafizh Syamsuddin Ad-Dimasyqi di dalam kitabnya yang berjudul ”Mawrid Al-Shadi fi Maulid Al-Hadi” melantunkan beberapa bait syair:

Apabila orang ini kafir, baginya celaan nyata,

Dan binasa kedua tangannya, abadi di dalam neraka jahim

Telah shahih bahwa diringankan baginya senantiasa setiap hari Senin karena suka cita dengan Ahmad (Nabi صلّى الله عليه و سلّم)

Maka bagaimana kiranya dengan hamba

Yang sepanjang usianya bergembira terhadap Ahmad (Nabi صلّى الله عليه و سلّم) dan mati dalam keadaan bertauhid?! 4

Selain dasar-dasar hukum dan argumentasi yang disebutkan, bisa juga berdalil dengan umumnya firman Allah سبحانه وتعالى ,

Ibrahim (14) No. Ayat : : 5

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): "Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang DAN INGATKANLAH MEREKA KEPADA HARI-HARI ALLAH ". Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.

Tidak ragu lagi bahwa kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم termasuk hari-hari Allah, sehingga memperingattinya berarti melaksanakan perintah Allah. Perkara yang demikian bukanlah bid’ah, tetapi merupakan ”sunnah hasanah” (tradisi baik), sekalipun tidak pernah ada pada masa Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم .

Kita merayalkan kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم keran kita mencintai beliau. Dan bagaimana tidak mencintai beliau, sedangkan seluruh alam semesta mengenal dan mencintainya. Ingatlah hadits tentang sebatang kurma, betapa ia menyayangi dan menyayangi Nabi صلّى الله عليه و سلّم serta rindu untuk selalu dekat dengan Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang mulia, bahkan menangis sejadi-jadinya karena rindu kepada Nabi صلّى الله عليه و سلّم .

Hadits yang menceritakan kejadian ini mutawatir sehingg informasi yang terkandung didalamnya bersifat pasti.

Diriwayatkan dari sebagain besar sahabat Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم bahwa Nabi صلّى الله عليه و سلّم berkhutbah dengan berdiri dan mengandalkan posisi pada sebatang pohon kurma yang berdiri tegak. Apabila berdiri lama, beliau meletakkan tangan beliau yang mulia di batang kurma tersebut.

Setelah orang-orang yang shalat semakin banyak, para sahabat membuatkan mimbar untuk beliau. Suatu kali pada hari Jum’at, ketika Nabi صلّى الله عليه و سلّم keluar dari kamar yang mulia langsung menuju mimbar dan melewati batang kurma yang biasanya Nabi صلّى الله عليه و سلّم berkhutbah disisinya, tiba-tiba saja batang kurma itu mengeluarkan suara yang keras dan merintih dengan rintihan rindu yang mengharukan sehingga seluruh masjid bergetar dan batang pohon itu ’terkoyak-koyak’,

Batang pohon itu tidak menjadi tenang sampai Nabi صلّى الله عليه و سلّم turun dari mimbar dan mendatangi batang itu. Lalu beliau meletakkan tangan beliau yang mulia padanya dan mengusapnya. Kemudian beliau merengkuhnya ke dada beliau sehingga batang pohon itu pun diam. Kemudian Nabi صلّى الله عليه و سلّم mengajukan pilihan kepadanya mana yang lebih menggembirakan baginya, menjadi pohon di surga dan akar-akarnya menyerap makanan dari sungai-sungai surga, atau kembali menjadi pohon yang berbuah di dunia. Batang pohon itu memilih untuk menjadi pohon di surga. Lalu Nabi صلّى الله عليه و سلّم berkata, ”Aku lakukan, Insya Allah. Aku lakukan, Insya Allah. Aku lakukan, Insya Allah.”

Batang pohon itu pun semakin tenang. Kemudian Nabi صلّى الله عليه و سلّم bersabda, ”Demi Dzat yang diriku berada di dalam genggaman-Nya, seandainya aku tidak berjanji kepadanya, niscaya ia akan merintih sampai hari kiamat karena rindu kepada Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم .”5

Dari pendapat-pendapat para Imam seperti Ibnu Hajar, Ibnu Jauzi, Imam Syuyuthi, dan lain-lain, telah jelas bahwa itulah sikap uamt sejak abad ke-5 H. Kami berpendapat bahwa perayaan Maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang mulia itu sunnah dan dianjurkan, sesuai dengan sikap umat dan para ulama. Perayaan tersebut harus dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan seperti membaca Al Qur’an, dzikir, dan memberi makan; tidak diselingi dan disertai dengan hal-hal yang tercela seperti tari-tarian dan lain-lain.

Kami tidak setuju dengan pendapat sebagian orang yang diaanggap ganjil dan keluar dari ijma’ amali (konsensus praktis) umat ini. Dan tidak seiring dengan pendapat umum para imam dan ulama besar umat. Perayaan seperti itu belumlah cukup untuk mengungkapkan kesyukuran dan tidaklah berlebihan terhadap Nabi صلّى الله عليه و سلّم , sang rahmat yang dianugerahkan dan kekasih Tuhan semesta alam.

Pada bagian akhir, saya ingin mngutipkan bait-bait puisi pengarang Burdah (Imam al-Bushiri):


Dialah yang telah sempurna makna dan bentuknya
Kemudian dipilih menjadi kekasih oleh pencipta makhluk
Tidak ada bandingan dalam kebaikan-kebaikannya
Maka, inti kebaikan padanya tidak terbagi-bagi
Tinggalkanlah bagaimana klaim Nasrani tentang nabi meraka,
Dan simpulkan pujian baginya, sekehendakmu
Sematkan kemuliaan pada dirinya, sekehendakmu
Sematkan keagungan pada kedudukannya, sekehendakmu
Sesungguhnya tanpa batas keutamaan Rasulullah,
Sehingga dapat diungkapkan oleh penutur dengan lidah


Dan Allah سبحانه وتعالى Yang Mahatinggi lebih Mengetahui.



Demikianlah yang bisa kami sebutkan mengenai fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat ulama-ulama besar nan agung Kaum Muslimin, masih banyak fatwa ulama lainnya yang dituturkan dalam kitab mereka seperti fatwa al-‘arif billah Abu Abdullah Muhammad bin Ibad, Asy-Syekh DR. Asy-Syarbasiy, Al-Imam Taqiyuddin As-Subki, Asy-Syekh Rasyid Ridla, Al-Imam Al-Wansyarsiy termasuk juga Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah * dan lain sebagainya. Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari tipudaya para penipu yang senantiasa mengincar umat Islam untuk dijauhkan dari ulama yang benar-benar mumpuni, yang lebih paham akan agama ini. Amin..!!!

والله سبحانه وتعالى أعلم
Abdurrohim ats-Tsauriy

Catatan Kaki ;

1. Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
2. Ibid, hal. 415.
3. Kitab Madarijus Su’uud hal. 16, karangan ...Al-‘Allamah Asy-Syekh An-Nawawiy Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz)
4. Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
5. Ibid, hal. 415.
6. Ibid, hal. 416 ; kitab As-Sirah Al-Halabiyah (1/83-84) karangan Al-Imam ‘Ali bin Burnahuddin Al-Halabiy.
7. Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
8. Ibid, hal. 415 ; kitab Anwarul Muhammadiyah hal.20, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh Yusuf An-Nabhaniy. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut – Lebanon.
9. Ibid, hal. 415.
10. Kitab Husnul Maqshid fi Amal Maulid, karangan Al-Imam Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthiy
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Tercantum dalam kitab Al-Ajwibah al-Mardliyyah ; Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon ; kitab As-Sirah Al-Halabiyah (1/83-84) karangan Al-Imam ‘Ali bin Burnahuddin Al-Halabiy
14. Ibid.
15. Kitab Husnul Maqshid fi Amal Maulid, karangan Al-Imam Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthiy.
16. Ibid ; kitab Al-Hawi Al-Fatawi hal. 189, karangan Al-Imam As-Suyuthiy ; kitab I’anatut Thalibin Juz 3 Hal. 415 , karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon ; Tuhfatul Muhtaj (تحفة المحتاج في شرح المنهاج) pada fasal (فَصْلٌ فِي وَلِيمَةِ الْعُرْسِ) karangan Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy.
17. Kitab Husnul Maqshid fi Amal Maulid, karangan Al-Imam Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthiy.
18. Ibid.
19. Kitab I’anatut Thalibin Juz 3 Hal. 415 , karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
20. Ibid. ; Kitab Al-Wasail fiy Syarh Al-Masaail lis-Suyuthiy
21. Kitab Al-Madhkal, karangan Al-Imam Ibnu Al-Hajj jilid.1 hal. 261
22. Ibid.
23. Kitab Ad-Durar As-Saniyyah (الدرر السنية) hal. 190.
24. Kitab Syarah ‘Alaa Maulid Al-Imam Ibnu Hajar.
25. Kita Fatawa Syar’iyyah (1/131)
26. Kiab ‘Alaa Maidah Al-Fikr Al-Islami (على مائدة الفكر الإسلامي) hal. 25.
27. Pendapat Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy
28. Kitab Mawahid Al-Ladunniyah (1/148) –Syarh ‘alaa Shahih Bukhari-, karangan Al-Imam AL-Qasthalaniy
29. Ibid.
30. Kitab Tafsir Al-Imam Al-Alusiy
31. Lihat : Sirah An-Nabawiyah wa Atsar al-Muhammadiyah, catatan pinggir As-Sirah Al-Halabiyah .
32. Kitab Haulal Ihtifal bidzikri Maulid Nabawi
33. Ibid.
34. Kitab Bayan Al-Qawim,
**. Mengenai pendapat Imam Ibnu Taimiyah terdapat dalam kitab Iqthidha’ Shirathal Mustaqim dan perlu penjelasan lebih rinci. Secara garis besar, Imam Ibnu Taimiyah tergolong ulama yang sangat ketat dan tidak mentolerir perbedaan apapun. Beliau bukanlah wahabi (sekte yang dinisbatkan kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahulla) serta mengenai perayaan yang disyariatkan, wajib mengambilnya namun hari-hari istimewa seperti hari kemenanhan perang badar, perang Hunain, perang Khandak, hari fathul Mekkah dan sebagainya tidak wajib diambil demikian juga Maulid Nabi namun merayakannya mendapatkan pahala.

Mengenal Kitab-Kitab Fiqh Madzhab Syafi’i : Kerapian Dalam Satu Kesatuan Yang Saling Terkait

Kitab Fiqih dalam Mazhab Syafi’i rahimahullah yang dikarang oleh ulama’-ulama dari abad ke abad merupakan pusaka ilmu yang sangat berharga, kitab-kitab tersebut dikarang oleh Ashhab Imam Syafi’i (ulama-ulama pengikut Syafi’i) yang jumlahnya sudah demikian banyak. Hampir setiap ulama’ mengarang kitab fiqh syafi’i untuk dijadikan pusaka bagi murid-muridnya dan bagi pencinta-pencintanya sampai akhir zaman. Jumlahnya sudah tidak terhintung lagi banyaknya, di antaranya ada juga yang tidak sampai ke tangan kita, tidak pernah kita melihat dan bahkan kadang-kadang ada sebagian orang yang tidak pernah mendengar mengenai kitab-kitab tersebut baik dari segi nama kitabnya, pengarangnya, bahkan tidak mengetahui langsung perihal kitab tersebut dan para ulama’nya. Fenomena ini perlu kita pahami, hal demikian bagi setiap penuntut ilmu harus di teliti dan harus peka dari siapa kita menuntut ilmu dan dari kita apa mengambil rujukan hukumnya. Karena dikhawatirkan tidak adanya panduan di dalam menetapkan hukum Islam. Menjadi tanggungjawab kita mengetahui hal demikian sehingga jelas hukumnya dan cara pengambilannya pun benar.

Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai kitab-kitab syafi’iyyah, di bawah ini kami tuliskan sebuah gambar skema yang mengambarkan situasi yang telah berlangsung dalam memperjelas, memperinci dan meringkaskan kitab-kitab Syafi’iyyah dari dulu sampai sekarang.

KETERANGAN


1. Kitab-kitab Al-Imam Syafi’iy yaitu“Al-Imla” dan “al-Hujjah” adalah kitab-kitab Qaul Qadim yang TIDAK digunakan lagi, karena semua isinya sudah termasuk didalam kitab-kitab Qaul Jadid.

2. Kitab-kitab Al-Imam Syafi’iy yang digunakan sebagai kitab induk adalah kitab Al-Umm, Mukhtasar, Buwaiti dan yang lainnya.

3. Al-Imam Al-Haramain mengikhtisarkan (meringkas) kitab-kitab Al-Imam Syafi’iy dengan kitabnya yang bernama “An-Nihayah”.

4. Al-Imam Al-Ghazaliy meringkaskan juga kitab-kitab Al-Imam Syafi’iy dengan kitab-kitabnya yang bernama Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz.

5. Al-Imam Al-Ghazaliy juga mengikhtisar lagi dengan kitabnya yang bernama Al-Khulashah.

6. Al-Imam A-Rafi’iy mensyarah kitab Al-Imam Al-Ghazali yaitu Al-Wajiz dengan kitabnya yang bernama Al-‘Aziz.

7. Dan Al-Imam Ar-Rafi’iy juga meringkaskan kitab Al-Imam Al-Ghazali yaitu Al-Khulashah dengan kitabnya yang bernama Al-Muharrar.

8. Al-Imam An-Nawawiy memendekkan dan menambah penjelasan terhadap kitab Al-Muharrar itu dengan kitabnya yang bernama Minhajuth Thalibin (Minhaj). Kitab ini banyak dikaji di dunia pesantren.

9. Kitab Al-Imam An-Nawawiy yaitu Al-Minhaj disyarah oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy dengan kitabnya yaitu Tuhfat, oleh Al-Imam Ar-Ramliy disyarah dengan nama kitabnya An-Nihayah, dan oleh Al-Imam Az-Zakaria Al-Anshariy dengan kitabnya yang bernama Minhaj juga, serta oleh Al-Imam Al-Khatib Asy-Syarbainiy dengan nama Mughni Al-Muntaj. Semua kitab ini dikaji didunia pesantren.

10. Dan Al-Imam Ar-Rafi’iy pernah mensyarah kitab karangan Al-Imam Al-Ghazaliy yaitu kitab Al-Wajiz dengan kitabnya yang bernama Al-‘Ajiz.

11. Al-Imam An-Nawawi pernah memendekkan kitab Al-Imam Ar-Rafi’i denagn kitabnya yang bernama Ar-Raudhah.

12. Al-Imam Quzwainiy pernah memendekkan kitab Al-‘Ajiz dengan kitabnya yang bernama Al-Hawi.

13. Kitab Al-Hawi pernah diikhtisarkan oleh Al-Imam Ibnul Muqri dengan kitabnya yang bernama Al-Irsyad dan kitab Al-Irsyad ini disyarah oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy dengan kitabnya yang bernama Fathul Jawad dan juga dengan kitabnya yang bernama Al-Imdad.

14. Kitab Al-Imam An-Nawawiy yang bernama Ar-Raudhah pernah diiktisarkan oleh Al-Imam Ibnu Muqri dengan nama Ar-Roudh dan oleh Al-Imam Mazjad dengan nama Al-Ubab.

15. Kitab Al-Imam Ibnul Muqri yaitu Al-Irsyad pernah disyarah oleh Al-Imam Ibnu Hajar dengan kitabnya yang bernama Al-Imdad, dan dengan kitabnya bernama Fathul Jawad.

16. Kitab Ar-Roudh dari Al-Imam Ibnul Muqri pernah disyarah oleh Al-Imam Az-Zakaria Al-Anshariy dengan nama Asnal Mathalib.

17. Al-Imam Az-Zakaria Al-Anshariy pernah mensyarah kitabnya yang bernama Al-Minhaj dengan kitabnya yang bernama Fathul Wahab.

Demikianlah keterangan ringkas dari jalur kitab-kitab dalam Mazhab Syafi’i yang sangat teratur rapi, yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. (Ibaratnya, bagaikan sebuah keluarga dari jalur keturunan, sanad yang bersambung, -pen).

Kemudian banyak lagi kitab-kitab fiqih Syafi’iyyah yang dikarang oleh ulama’-ulama Mutaakhirin Madzhab Syafi’iyyah yang tidak mungkin untuk disebut semuanya dalam jalur ini karena terlalu banyak, seperti kitab-kitab Al-Mahalli karangan Al-Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Kitab Fathul Mu’in karangan Al-Malibariy, Kitab I’anahtut Thalibin karangan Al-Imam Said Abu Bakar Syatha dan lain-lain yang banyak sekali.

Dengan wasilah (pesantara) kitab-kitab inilah kita dapat memahami dan mengamalkan fatwa fiqih dalam Mazhab Syafi’iyyah secara teratur dan secara rapi dan terperinci, yang kesimpulannya sudah dapat mengamalkan syari’at dan ibadah Islam dengan sebaik-baiknya.


Sumber rujukan : “SEJARAH DAN KEAGUNGAN MADZHAB SYAFI’I”, oleh KH. Sirajuddin Abbas, Pustaka Baru, Jakarta, 2007. [disalin dari blog "SABILUR RASYAD"].

Nasehat al-Imam adz-Dzahabi kepada Ibnu Taimiyah ; Nasehat Seorang Murid Kepada Gurunya

Nasehat al-Imam adz-Dzahabi kepada Ibnu Taimiyah ; Nasehat Seorang Murid Kepada Gurunya
Semoga Allah 'azza wa jalla menerangi kuburmu wahai Syaikh ... (Imam Ibnu Taimiyah)!!!

Al-Hâfizh adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, --terutama dalam masalah akidah--, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah pengikut madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan faham-faham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Untuk ini kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.

Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi Ibn Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9/ bukunya ada sama saya]:

“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.

Adapun nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11]:


“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam diriku.

Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!

Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!

Oh... Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!

Oh... Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!


Oh... Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan. Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!

Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)


Hai Syekh…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)

Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.

Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka dengan logika kita??

Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.

Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.

Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!

Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!

Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!

Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!

Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!

Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.

Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.

Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.

Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.

Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya sekalian.

Disalin dari catatan Al-Ustadz Abou Fateh, atas rekomendasi izin "halal" untuk disebarkan.

Detik-Detik Maulid Baginda Nabiyullah Muhammad

Detik-Detik Maulid Baginda Nabiyullah Muhammad
Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah swt telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi "saksi penting" kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.

Diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab r.a., beliau berkata : saya bersama Rasulullah s.a.w sedang duduk-duduk. Rasu shallallahu 'alayhi wa sallam bertanya kepada para sahabat, "Katakan kepadaku, siapakah yang paling besar imannya?" Para sahabat menjawab; 'Para malaikat, wahai Rasul'. Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab, “Para Nabi yang diberi kemuliaan oleh Allah subhanahu wa ta'alaa wahai Rasul”. Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam . bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab lagi, “Para syuhada yang ikut bersyahid bersama para Nabi, wahai Rasul”. Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah telah memberikan mereka tempat”.

“Lalu siapa, wahai Rasu l?”, tanya para sahabat.

Lalu Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda, “Kaum yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama di antara orang-orang yang beriman”. [Musnad Abî Ya’lâ, hadits nomor 160]

DETIK-DETIK MAULID NABI MUHAMMAD

Waktu yang ditunggu-tunggu itu belum datang juga, namun beberapa orang masih terus mencari. Mereka menelusuri ujung-ujung kota Mekkah. Dari satu tempat ke tempat lain, orang-orang yang merindukan kehadiran seorang pembebas itu tak lupa bertanya kepada orang-orang yang mereka jumpai di setiap tempat. Mereka bertanya begini kepada setiap orang, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Namun tak seorang pun mengiyakan pertanyaannya. Orang awam tentu tidak memahami maksud pertanyaan itu, namun orang-orang itu tidak juga berhenti untuk mencari dan menanyakan dimana gerangan bayi laki-laki yang dilahirkan. Semuanya ini dilakukan untuk membuktikan kepercayaan yang selama ini diyakininya. Bahwa dunia yang telah rusak sedang menanti kedatangannya.

Hingga pada suatu pagi.

Sebagaimana aktifitas yang telah diberlakukan semenjak zaman nabi Ibrahim a.s, setiap bayi yang lahir pada saat itu segera di-thawaf-kan. Ini tidak lain untuk mendapatkan hidup yang penuh barokah, yakni bertambahnya kebaikan lahir dan batin, serta mengharapkan kemuliaan dan petunjuk dari Allah s.w.t. Tidak terkecuali bagi seorang sayyid Abdul Muththalib, yang terkenal masih bersih dalam urusan teologi. Begitu mengetahui cucu laki-lakinya lahir, maka segeralah beliau membawa bayi itu menuju Ka’bah, lalu Thawaf, membawa bayi itu mengelilingi Ka’bah tujuh kali sambil berdoa kepada Allah s.w.t.

Tepat sesaat setelah sayyid Muththalib memasuki rumah setelah men-thawaf-kan cucunya, lewatlah seseorang yang selama beberapa hari ini mencari kelahiran seorang bayi laki-laki. Saat itu, orang yang sudah cukup tua tersebut masih menanyai kepada setiap orang yang dia temui, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Pada saat itulah sayyid Muththalib menyadari ada seorang tua yang mencari bayi laki-laki.


Dipanggilnya orang tua itu, lalu beliau berkata kepadanya, “Saya punya bayi laki-laki, tapi, tolong katakan, apa kepentingan anda mencari bayi laki-laki?”.

“Saya ingin melihat bayi laki-laki yang baru lahir. Itu saja”, jawab orang tua tersebut yang sekonyong-konyong muncul semangat baru dalam dirinya. Tanpa memberikan kesulitan apapun, sayyid Muththalib mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumahnya untuk melihat bayi yang dimaksud.

Apa yang terjadi saat orang tua itu melihat bayi yang ditanyakannya, adalah hal yang tidak pernah dibayangkan oleh sayyid Muththalib. Sang sayyid memang tidak pernah berpikir apa pun. Sebagai layaknya seorang kakek yang berbahagia mempunyai cucu, beliau cukup bersyukur sang cucu dilahirkan dalam keadaan sehat wal afiat. Namun, bagi orang tua yang sedang mencari sesuatu itu tidak demikian. Begitu melihat bayi dan menemukan ciri-ciri sebagaimana disebutkan dalam kitab yang dia baca, serta informasi dari orang-orang terdahulu, orang tua itu berseru, “Benar, benar sekali ciri-cirinya, inilah bayi yang akan menjadi Nabi akhir zaman kelak…”. Dalam kebengongan sayyid Muththalib, pingsanlah orang tua yang selama ini mencari-cari bayi laki-laki tersebut, lalu wafat pada saat itu juga.

Orang-orang yang mencari bayi laki-laki saat itu, termasuk seorang tua yang akhirnya mendapatkannya dan pingsan, adalah para agamawan yang meyakini akan kehadiran seorang Nabi akhir zaman. Mereka sangat teguh memegang berita akan kemunculan nabi akhir zaman ini. Semakin kuat keyakinan mereka, semakin mereka meninggalkan urusan-urusan dunianya guna menanti atau mencari nabi akhir zaman itu. Penantian nabi akhir zaman itu, selain berkat informasi dari kitab-kitab mereka, saat itu, mereka juga sangat merasakan bahwa keadaan membutuhkan kehadiran sang Nabi.

Sedang sang bayi yang ditunggu adalah bayi Muhammad Shalla-llâhu ‘alayhi wa sallama, bayi yang kelak menjadi nabi terakhir.

Demikianlah, akhir dari kisah pencarian pendeta-pendeta serta segenap agamawan pada zaman pra Nabi Muhammad s.a.w. Pencarian atas apa yang diisyaratkan dalam kitab-kitab mereka, bahwa akan diutusnya nabi akhir zaman untuk meluruskan kembali aqidah-aqidah yang telah bengkok.

Dari kisah ini, kita mengetahui betapa pada waktu itu masyarakat mengelu-elukan kehadiran Nabi Muhammad s.a.w. ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin’. (QS. 9:128). Hampir setiap kaum tahu bahwa ketika situasi sudah sangat rusak, nabi akhir zaman akan muncul. Namun, dari mana dia lahir, hal itu yang tidak pernah diketahui secara pasti. Yang diketahui pada saat itu adalah ciri-ciri tempat, posisi bintang, ciri-ciri bayi, dan lain sebagainya.

Dalam kitab-kitab lama, ciri-ciri tersebut ditulis secara jelas. Hingga masyarakat yang membaca kitab-kitab itu pun akan mengetahui pula. Tidak sekedar mengetahui, tapi mereka juga berkeinginan untuk dekat dengan nabi akhir zaman tersebut.

Salah satu yang diimpikan oleh berbagai kaum saat itu, adalah harapan agar nabi akhir zaman itu muncul dari keturunannya. Hal demikian tentu sangat manusiawi. Maka, untuk mewujudkan impian itu, banyak kaum yang melakukan migrasi dari kampung halamannya, untuk mencari tempat yang disebutkan ciri-cirinya oleh kitab-kitab lama.

Ada beberapa tempat yang saat itu menjadi pilihan para pencari nabi akhir zaman. Tempat-tempat itu antara lain adalah Mekkah, Madinah (Yathrib) serta Yaman. Salah satu dari tiga tempat itu diyakini menjadi tempat nabi akhir zaman dilahirkan. Banyak juga para agamawan yang menduga nabi akhir zaman masih akan muncul dari kawasan Jerusalem atau Damaskus.

Untuk kasus Mekkah, orang-orang atau kaum non Quraisy yang minoritas adalah kaum pendatang yang sengaja tinggal di Mekkah untuk menanti kedatangan nabi akhir zaman. Sedangkan kasus migrasi di Madinah, orang-orang Yahudi-lah yang banyak menempati kota tersebut waktu itu. Suku bangsa seperti Bani Nadhir, Quraizah, Qainuqa’ dan suku-suku kecil lainnya, yang sering muamalahnya menghiasi sejarah Islam dan târîkh Nabi s.a.w, adalah keluarga-keluarga Yahudi yang bermigrasi dari berbagai kawasan, baik dari Jerusalem, Yaman, maupun yang lainnya, ke daerah Madinah untuk menanti nabi akhir zaman. Migrasi-migrasi itu terjadi dengan harapan nabi akhir zaman muncul dari keturunan mereka, selain, tentunya, mengharapkan barokah tadi. Migrasi ke Madinah ini dilakukan sudah cukup lama, setidaknya mereka telah mendiami Madinah sekitar 100 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.

Banyak sekali suku-bangsa yang percaya akan datangnya nabi akhir zaman. Mulai dari Ethiopia (Al-Habsyi) hingga Damaskus (Dimasyqa), serta dari Yaman hingga negeri-negeri Rusia. Semuanya menanti kedatangannya.

Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah s.w.t telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi kunci” kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad s.a.w. hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.

Memang, kasus-kasus wafatnya para agamawan setelah melihat tanda-tanda adanya kenabian, seperti yang terjadi pada orang tua itu, bukanlah yang pertama kali. Dalam rekaman sejarah, banyak sekali informasi yang membahasnya, bahkan sejak zaman sayyid Abdullah—ayahanda Nabi Muhammad s.a.w.—belum menikah dengan sayyidah Aminah, dan juga pada masa-masa dalam kandungan sayyidah Aminah. Hingga pada suatu waktu di kemudian hari, tepatnya 40 tahun setelah kelahiran nabi, sejarah juga kehilangan seorang agamawan-monotheis yang informasi spiritualnya sangat berharga bagi keberlangsungan keyakinan terhadap adanya nabi akhir zaman.

Dalam hadits yang diriwayatkan sayyidah ‘Aisyah r.a. disebutkan bahwa setelah mendapatkan wahyu, sayyidah Khadîjah r.a.—bersama nabi—mendatangi pamannya, Waraqah bin Naufal, untuk meminta advis atas apa yang baru saja terjadi pada nabi. Waraqah bin Naufal adalah seorang agamawan ahli kitab suci.

Setelah Nabi Muhammad s.a.w. menceritakan semua yang terjadi kepada beliau—di gua hira itu—langsung saja Waraqah terperanjat dan menjawabnya,”Itu adalah Namûs yang diturunkan Allah s.w.t. kepada Musa a.s. Ya Tuhan, semoga saja aku masih hidup ketika orang-orang mengusir nabi ini…”.

Waraqah tahu, bahwa yang menemui Nabi Muhammad s.a.w adalah Namûs, alias malaikat Jibril a.s., yang pernah menemui Nabi Musa a.s. dulu. Pengakuan Waraqah ini mirip dengan peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian, saat Nabi Muhammad s.a.w. membacakan ayat al-Qur’an di hadapan jin, maka jin itu berkomentar, “Mereka berkata, ’Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (yaitu al-Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. [QS. 46:30].

Dan Waraqah tahu, bahwa yang ada di depannya saat itu adalah seorang nabi, yang di kemudian hari akan diusir oleh kaumnya sendiri dari tanah kelahirannya. Tapi, harapan Waraqah untuk menjadi saksi perilaku orang-orang terhadap Nabi Muhammad s.a.w. tidak kesampaian. Beberapa hari setelah itu, beliau wafat. Untuk ke sekian kalinya, Allah s.w.t memanggil hambanya yang bisa menjadi “saksi spritiual” atas kenabian Muhammad s.a.w. Tapi, itulah, Allah s.w.t tentu memiliki kehendak-kehendak tersendiri yang tidak pernah kita ketahui.

Dengan wafatnya beberapa agamawan yang menjadi saksi kebenaran kelahiran sang nabi, terputus pula informasi-informasi ini. Situasi informasi tentang nabi akhir zaman kembali ke titik nol. Namun inti berita yang ada dalam kitab-kitab tentang akan diutusnya nabi akhir zaman saat itu masih ada. Karena realitas teologis memang membutuhkannya. Hanya berita ini yang telah diketahui oleh para agamawan di berbagai tempat, sebagaimana berita akan kelahirannya. Dan mereka hanya bisa memegang keyakinannya, tanpa ada kemampuan untuk mencarinya, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka menemukan waktu saat-saat dilahirkannya Nabi Muhammad s.a.w. Nampaknya, agamawan yang baru membaca kitab-kitab suci itu lebih percaya bahwa nabi akhir zaman sudah benar-benar lahir di dunia ini.

Memang banyak ditemukan beberapa anak laki-laki yang memiliki nama Ahmad atau Muhammad pada masa pra kenabian. Menamakan Ahmad atau Muhammad karena orang tuanya sangat berharap anaknya menjadi nabi. Tetapi, para agamawan tentu sudah memiliki wasilah atau cara tersendiri untuk menentukan “validitas stempel” yang ada pada seorang nabi, apa lagi nabi akhir zaman. Maka, mereka tinggal menanti detik-detik kedatangan risalah dan deklarasi kenabian sang nabi akhir zaman itu.

Secara umum, bisa dikatakan bahwa kebanyakan para agamawan saat itu sudah mengetahui bahwa nabi akhir zaman akan diturunkan dari keluarga tertentu, dan di tempat tertentu. Ada saja yang mengetahui, atau setidaknya meyakini, bahwa nabi akhir zaman itu muncul dari keluarga Bani Hasyim, di daerah Mekkah, dan lain sebagainya. Ini misalnya terjadi kepada seorang pedagang dari Mekkah yang berjulukan Atîq, saat berdagang ke Yaman. Sebagai pedagang yang juga intelektual, kemana pun pergi beliau tidak lupa untuk berkunjung ke kalangan agamawan.

Saat beliau menemui seorang agamawan di Yaman, dan beliau ditanya tentang asal daerah serta dari keluarga apa, maka setelah mendapatkan jawaban, sang agamawan itu menyatakan, “Nanti akan ada nabi akhir zaman dari daerah kamu dan dari keluarga kamu”. Beliau—Atîq—percaya atas informasi yang disampaikan agamawan Yaman itu. Begitu sang nabi muncul dan mendakwahkan kembali ajaran-ajaran Tauhîd [monotheisme] yang hilang, dia –Atîq– pun segera bersaksi atas kebenaran ajaran itu. Beliau menjadi laki-laki pertama yang membenarkan risalah yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Saat masuk Islam itu, beliau mengganti nama menjadi Abû Bakar, yang kelak menjadi sahabat utama sang nabi akhir zaman dan mendapatkan gelar Ash-Shiddîq, yang senantiasa membenarkan. Ini adalah jawaban atas pertanyaan, kenapa Abû Bakar r.a. selalu saja membenarkan kebenaran Muhammad.

Dalam al-Qur’an, Allah s.w.t. berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?". Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [QS. 3:81]

Para nabi berjanji kepada Allah s.w.t. bahwa bilamana datang seorang Rasul bernama Muhammad mereka akan iman kepadanya dan menolongnya. Perjanjian nabi-nabi ini mengikat pula para ummatnya. Namun, manusia selalu melakukan penentangan terhadap keputusan-keputusan Allah s.w.t. Para manusia itu ingkar, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, “Dan setelah datang kepada mereka Al Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka—maksudnya kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat dimana diterangkan sifat-sifatnya—, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”.(QS. 2:89)

Itulah manusia yang sangat tidak beruntung dengan melakukan penolakan terhadap kenabian Muhammad s.a.w. Maka, sangat tepat jika Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dalam hadits yang penulis nukil pada permulaan di atas. Bahwa orang yang menjadi saudara Nabi s.a.w. adalah orang yang tidak pernah melihat Nabi s.a.w. namun percaya akan kenabian dan selalu membenarkan sabda-sabda beliau. Orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi s.a.w. tapi selalu membenarkan beliau itulah yang merupakan orang-orang paling utama di antara orang-orang beriman. Ya Allah, tetapkanlah kami untuk selalu beriman kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.

Amin...!!!

Disarikan dari beberapa buku, terutama kitab Syarah Al-Barzanji.
(Disalin dari : Pesantren Virtual)

Media Islam

Thariqat Sarkubiyah

NU Online