Tulisan ini mengisahkan tentang dialog
terbuka antara Syaikh DR. Abdullah bin Husain al-Arfaj, salah seorang
ulama sunni yang bermazhab Syafi’i di kota Ahsa’, Saudi Arabiya, dengan
seorang tokoh wahabi terkemuka di kota yang sama. Syaikh Al-Arfaj
bercerita.
Pada hari Ahad, 7 Muharram 1430 H, saya
mendapat undangan resmi dari instansi resmi di Ahsa’, untuk menghadiri
acara pertemuan para ulama dan kalangan mahasiswa. Acara tersebut
digelar untuk mendiskusikan topik tertentu. Pada hari yang ditentukan
aku menghadiri undangan tersebut dan berjumpa dengan para ulama dan
kalangan mahasiswa. Ternyata, topik diskusi dalam acara tersebut adalah
persoalan bid’ah. Lalu terjadilah dialog antara saya dengan tokoh
terkemuka mereka (kaum wahabi), sebagai berikut.
Wahabi : Anda seorang penuntut ilmu. Aku
telah mengetahui usaha-usaha anda dalam berdakwah. Tetapi aku berpesan
agar anda menjauhi perbuatan-perbuatan bid’ah. Terutama maulid Nabi Saw.
Anda harus selalu berpegangan dengan al-Quran dan Sunnah dalam setiap
aktifitas anda.
Sunni : Apakah secara pribadi anda selalu berpegangan dengan al-Quran dan Sunnah dalam setiap aktifitas anda?
Wahabi : Ya.
Sunni : Kalau begitu tolong anda
ceritakan, anda sebagai imam masjid Jami’, apakah anda mengkhatamkan
al-Quran di bulan Ramadhan (dalam shalat Taraweh), atau cukup membaca
surat-surat pendek?
Wahabi : Tentu saja saya mengkhatamkan al-Quran secara sempurna.
Sunni : Jika anda mengkhatamkan al-Quran, lalu dimana anda membaca doa khatmil Quran, di dalam shalat atau di luarnya?
Wahabi : Tentu di dalam shalat.
Sunni :Tolong anda jelaskan dalilnya dari al-Quran dan Sunnah?
Wahabi : Baiklah akan aku jelaskan dalilku.
Sunni : Aku tidak akan menerima selain al-Quran dan Sunnah.
Wahabi : Memang aku akan menjelaskan dalilku.
Sunni : Aku tahu dalilmu sebelum anda katakan.
Wahabi : Apa itu?
Sunni : Yaitu perkataan Imam Ahmad yang
dikutip oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (Juz. 2, H. 608),
bahwa penduduk Makkah mengkhatamkan al-Quran di dalam shalat dan bahwa
Sufyan bin ‘Uyainah mengkhatamkan bersama mereka. Apakah anda mempunyai
dalil selain itu?
Wahabi : Tidak punya.
Sunni : Lalu mana dalil al-Quran dan Sunnahnya?
Wahabi : Memang tidak ada. Tetapi hal ini terjadi pada masa generasi salaf yang shaleh.
Sunni : Apakah dapat saya simpulkan dari
perkataan anda, bahwa apapun yang terjadi pada masa generasi salaf yang
Shaleh tidak apa-apa dilakukan?
Wahabi : Betul, tidak apa-apa. Karena mereka generasi yang utama.
Sunni : Tetapi sejak dua tahun ini anda
berkhotbah di atas mimbar pada hari jum’at, anda menolak keras dan
memprotes orang-orang yang berkumpul pada malam nisfu Sya’ban untuk
mengenang keutamaan malam ini dan memotivasi agar orang-orang
bersungguh-sungguh melakukan amal ibadah pada malam tersebut. Apakah
anda mengakui tindakan ini?
Wahabi : Betul.
Sunni : Kalau begitu anda meninggalkan
pendapat anda, bahwa apapun yang diterima oleh generasi salaf yang
shaleh tidak apa-apa dilakukan. Apakah anda tahu bahwa kaum tabi’in di
Syam meyakini keutamaan malam tersebut?
Wahabi : Ya saya tahu.
Sunni : Mengapa anda melakukan protes?
Padahal anda tahu bahwa kaum tabi’in tersebut hidup pada abad pertama.
Sedangkan kalangan yang berpendapat keutamaan malam nisfu Sya’ban
memiliki banyak dalil yang secara umum menjadi
perbincangan/kontroversial. Padahal al-Albani menshahihkan hadits
keutamaan malam nisfu sya’ban yang populer. Sementara doa khatmil Quran
di dalam shalat terjadi pada akhir abad kedua dan tidak memiliki dalil
apapun dari al-Quran dan Sunnah.
Wahabi : Tetapi penuntut ilmu selalu
mempertimbangkan pendapat-pendapat yang ada, lalu melakukan tarjih
terhadap pendapat yang dianggapnya benar.
Sunni : Apakah anda membolehkan
melakukan tarjih terhadap diri anda, dan mengharamkannya kepada saya?
Sekarang perkenankan saya berandai-andai. Seandainya saya berkhotbah
pada hari jum’at, lalu saya sampaikan kepada jama’ah bahwa siapapun yang
membaca khotbah dan menunaikan shalat jum’at sebelum tergelincirnya
matahari, maka shalatnya batal, dan ini pendapat mayoritas ulama.
Padahal telah dimaklumi bahwa di Ahsa’ sendiri terdapat beberapa masjid
yang membaca khotbah sebelum tergelincirnya matahari karena mengikuti
mazhabnya imam Amad bin Hanbal. Apakah anda akan menerima tindakan saya
ini?
Wahabi : Ya jelas tidak menerima, karena tindakan anda jelas mengganggu kerukunan masyarakat.
Sunni : Apa yang anda larang ini,
sebenarnya telah anda lakukan ketika anda melarang perkumpulan pada
malam nisfu Sya’ban. Apakah anda tahu bahwa khotbah-khotbah dan
fatwa-fatwa anda telah dijadikan jembatan oleh sebagian orang untuk
menyerang kami, para ulama kami dan madrasah-madrasah diniyah kami?
Wahabi (dengan agak terperangah dan
terkejut) berkata : Janganlah begitu wahai Abu Hassan, kalian penduduk
sini, orang-orang yang utama, dan para penuntut ilmu, jelas tidak ada
yang akan mengganggu atau menyerang anda.
Sunni : Apa maksud “utama dan ilmu”
dalam pernyataan anda? Sementara anda telah mencekik kami dalam
ruangan-ruangan sempit. Anda membuat orang-orang bodoh (kaum wahabi)
berani dan lancang kepada para penuntut ilmu.
Demikianlah dialog antara Syaikh DR.
Abdullah bin Husain al-Arfaj, ulama besar bermazhab Syafi’i di kota
Ahsa’ Saudi Arabiya VS ulama terkemuka kaum wahabi disana. Tampak sekali
inkonsistensi kaum wahabi dengan perkataan mereka sendiri. Semoga kisah
ini menjadi pelajaran bagi kita agar tidak mudah percaya dengan para
ulama kaum wahabi.
Wallahu a’lam.
www.idrusramli.com
http://www.idrusramli.com/2013/dialog-syaikh-dr-abdullah-al-arfaj-dengan-ulama-wahabi/